--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, Poltak Hotradero <hotrad...@...> wrote: > > At 03:45 PM 11/12/2009, you wrote: > > > >ga ada istilah logika terbalik. > >logika adalah ilmu utk berpikir lurus. > > > Saya mengatakan logika anda terbalik atas hal berikut: > > Dalam suatu keadaan genting - maka yang harus dilakukan oleh seorang > pengambil keputusan adalah: > - mengidentifikasi dan mengisolasi masalah > - memfokuskan diri pada potensi masalah yang lebih besar (sesuatu > berskala Milyar Dollar misalnya) > - mengisolasi potensi masalah baru dari sesuatu yang berpotensi > menjadi masalah. > > Itu semua adalah langkah dalam MENGURANGI resiko yang ada - menjadi > lebih sedikit dan lebih mudah diselesaikan. > > Dalam keadaan dimana lebih dari USD 5 MILYAR cadangan devisa > Indonesia tersedot keluar DITAMBAH > harga SUN yang jeblok 32% DITAMBAH > spread SUN yang melebar hingga 651 > poin dibanding dengan T-Bill dengan tenor sama DITAMBAH dengan CDS > Indonesia yang naik hingga 10 KALI LIPAT dari sebelum krisis (yaitu > pada posisi 1243 point!) DITAMBAH dengan ekspor yang turun sangat > tajam (karena harga nikel turun (dari $30 ribu per ton menjadi $12 > ribu per ton, CPO turun dari $1200 per ton menjadi $400 per ton, dan > batu bara yang jeblok dari $170 per ton menjadi di $80 per ton), > DITAMBAH dengan ricuh di pasar modal (akibat kasus repo Bumi > Resources) DITAMBAH dengan nilai tukar rupiah yang melemah hampir 30% > > maka menjadi sangat jelas bahwa membailout Bank Century adalah > MENGURANGI potensi masalah (atau setidaknya MENCEGAH munculnya > masalah baru terkait sekian banyak bank yang berpotensi dirush). >
Menurut saya ini adalah logika yang dipaksakan dan mengada ada. Jika memang sudah ada US 5 milyar cadangan devisa yang tersedot yang berarti 50 trilyunan plus faktor faktor di atas jelas terlalu jauh peranan bail out yang 6 trilyunan. Kalau orang Jawa bilang tindakan bail out dengan tujuan agar mengurangi potensi masalah ini adalah "nguyahi segara" alias menggaramkan lautan yang sudah asin. Dibawah ini saya kutipkan artikel di Kompasiana (Bank Century, Seberapa Sistematis, Bocah Ndeso) Alasan utama pemerintah meminta LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) untuk menyelamatkan Bank Century adalah bank tersebut memiliki risiko sistemis. Artinya, kalau saja tidak diselamatkan, justru akan memicu kegagalan di bank-bank lainnya secara serial. Yang hendak dikatakan oleh pemerintah adalah bahwa penyuntikan dana senilai Rp 6,7 triliun ke Century, tidak melulu ditujukan untuk menyehatkan kembali bank tersebut, tetapi juga terutama untuk menghindari bencana finansial yang lebih besar. Benarkah? Menteri Keuangan dalam beberapa kesempatan mengungkapkan bahwa bahaya risiko sistemis timbul karena bank tersebut memiliki jumlah nasabah yang lumayan banyak, yakni sekitar 65 ribu orang. Selain itu, ada sekitar 23 bank yang berpotensi terseret krisis kalau Bank Century dilikuidasi. Sistem pembayaran juga bisa terancam macet. Supaya bisa objektif dalam menilai apakah alasan Menteri Keuangan tersebut secara logika dapat diterima, mari kita lihat data dan fakta sebenarnya. Sebelum ditalangi oleh LPS, data keuangan yang tersedia adalah laporan keuangan bulan Oktober 2008. Pastinya, laporan ini yang menjadi dasar pengambilan keputusan dalam rapat KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan). Pada waktu itu, total aset bank tersebut adalah sekitar Rp. 15 triliun, tak lebih dari 0,75 persen dari total aset perbankan. Jumlah nasabah yang 65 ribu orang itu hanya sekitar 0,1 persen dari total nasabah perbankan. Begitupun total dana pihak ketiga yang terkumpul sekitar Rp. 10 triliun atau tak sampai satu persen dari total simpanan masyarakat yang tertampung di semua bank. Dari data di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Bank Century merupakan bank yang relatif kecil. Dan, kalangan akademisi di negara mana pun tak akan menilai bahwa bank tersebut dapat menimbulkan risiko sistemis. Biasanya, hanya bank-bank yang masuk kategori 10 besar yang dianggap too big to fail. Lagi pula, penjaminan simpanan telah mencakup nilai maksimum sebesar Rp. 2 miliar sehingga praktis mayoritas nasabah sebenarnya sudah terlindungi oleh LPS. Memang Bank Century memiliki kerentanan terhadap paniknya nasabah besar yang tidak dijamin oleh LPS. Bahkan, ada satu nasabah yang simpanannya berada di atas Rp. 2 triliun. Bila nasabah seperti ini panik, bank langsung mengalami kesulitan likuiditas. Pemerintah pada saat itu sangat mengkhawatirkan kesulitan yang sama akan merembet ke bank-bank, yang satu kelas dengan Bank Century dan jumlahnya ada sekitar 18 bank. Kekhawatiran seperti itu bisa jadi benar, tapi juga bisa salah. Persoalannya adalah pemerintah mengasumsikan bahwa karakteristik nasabah Century dengan bank lainnya adalah sama. Nasabah kakap yang terjerat di Century pada umumnya memiliki hubungan personal dengan manajemen dan pemilik tersebut. Di bank lain, belum tentu seperti itu. Lagipula, masalah yang menyebabkan Century dinyatakan sebagai bank gagal adalah murni tindak kriminal penipuan perbankan. Kalau karakteristik masalah yang dihadapi Century dengan bank lainnya berbeda, gagalnya Century tidak serta-merta menimbulkan kepanikan bank lainnya. Bank Century juga pada saat itu tidak menimbulkan risiko kebangkrutan serial karena kewajiban antar banknya hanya sekitar Rp. 750 miliar. Artinya, bank ini tidak memiliki potensi untuk menimbulkan kolapsnya sistem pembayaran. Lagipula, bank ini memiliki jumlah cabang yang relatif tidak masif, seperti bank-bank besar sekelas Mandiri atau BRI. Efeknya terhadap kelancaran transaksi masyarakat relatif minimum. Dari indikator-indikator teknis di atas, hampir tak ada alasan untuk memperlakukan Bank Century sebagai bank yang memiliki risiko sistemis sehingga perlu diselamatkan.