Bung Poltak, 

Saya sependapat dengan  moral hazard yang masih menjadi masalah besar di 
perbankan. Penelitian saya menunjukkan bahwa selama periode 1999-2007 di 607 
commercial banks di 12 negara berkembang di Asia-Pasifik termasuk Indonesia, 
sumber moral hazard ternyata ada 2, yaitu : (1) bank market power yang tinggi 
akibat konsolidasi besar-besaran pascakrisis 1997 yang membuat industri 
perbankan tidak kompetitif, dan (2) akibat bank cadangan modal yang tinggi di 
perbankan. Dua regulasi ini malah bersifat prosiklis (memunculkan moral 
hazard). Jadi saya sependapat regulasi yang ketat membuat orang mencari 
terobosan baru menghindari jeratan sistem. 

Hipotesis saya adalah bukan regulasi yang bersifat direct yang bisa menekan 
moral hazard, tetapi yang incentive compatible utk mendorong bank taat pada 
regulasi. Misalnya melalui shareholder protection, law enforcement, hingga 
market discipline dimana pasar bisa menghukum bank moral hazard dng turunnya 
bank stock return atau Tobins Q value (dalam hal listed banks). Penelitian saya 
masih berlanjut melihat regulasi-regulasi yang sekiranya dapat memitigasi moral 
hazard untuk jenis-jenis bank yang berbeda. 

Mungkin ada masukan Bung, kira-kira apa lagi yang bisa dipertimbangkan selain 
shareholder protection, law enforcement, government effectiveness, activity 
restriction, market discipline? 

Salam

-Wahyu-





--- On Thu, 11/12/09, Poltak Hotradero <hotrad...@gmail.com> wrote:
Bung Lubeck,



Ya betul, masalah moral hazard ini menjadi masalah serius, karena 

sistem perbankan selalu bisa "menyandera" ekonomi makro.  Ini sama 

berlakunya baik di negara kecil maupun negara besar.



Apakah masalahnya ada pada aturan?  Belum tentu juga, karena toh 

sebelum krisis global terjadi, sektor perbankan dan keuangan sudah 

menjadi sektor yang regulasinya paling ketat dibanding sektor-sektor 

lainnya.  Tapi toh masih bisa juga terjadi.  (atau jangan-jangan 

regulasi itu sendiri yang membuat orang secara aktif mencari jalan 

terobosan untuk menghindari jeratan sistem.  Kita jangan pernah lupa 

bahwa di sini kita berurusan dengan manusia - bukan dengan kambing 

yang gampang dipagari).



Untuk sementara mungkin faktor peningkatan kecukupan modal dan 

pengawasan kualitas asset - bisa menjadi solusi sementara.  Saya 

katakan sementara, karena toh hal-hal ini juga masih bisa diakali 

lewat berbagai cara (buku Wolfgang Munchau tentang Krisis Global 

telah menggambarkan hal ini dengan teramat baik).



Kuncinya mungkin justru terletak pada grand policy bank sentral - 

untuk bukan cuma mengawasi laju inflasi - tetapi juga mengawasi 

kenaikan harga asset (mulai dari harga properti hingga harga saham) 

untuk mengerem spekulasi berlebih.



Sialnya, alternatif ini belum tentu bisa diterima secara politik... 

karena tidak ada pemerintahan yang bersedia ekonominya tumbuh 4% 

kalau ternyata bisa 8% (sekalipun beresiko terjadinya asset bubble).



>atau mungkin perlakuan bailout ini sifatnya case by case [misal 

>di-bailout krn melihat kondisi ekonomi makro yg semakin yg buruk]?



Case-by-case dan memperhatikan iklim makroekonomi yang saat ini 

terjadi -- mungkin masih bisa diterapkan.



>jika begitu, apakah GOVT bisa dijamin bisa objektif setiap akan 

>melakukan bailout?



Saya sih pesimis bisa obyektif.



Anda kan tau sendiri bahwa saya dari aliran Austrian (dan 

existensialisme) - yang tidak pernah percaya akan adanya mahluk 

bernama "pemerintah" (karena yang ada cuma kepentingan- kepentingan 

pribadi yang kebetulan menggunakan "kendaraan" bernama pemerintah.)





    
     

    
    


 



  






      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke