Kalo soal air bersih perkotaan, saya kira baik model privat maupun bumd 
sama-sama kurang berhasil. Contoh yang bumd: Lima belas tahun tinggal di 
Bekasi, baru minggu lalu ada pengumuman BAKAL dipasang jaringan air 
bersih. Dulu, 1980-an, ortu saya juga "talak-3" dengan PAM Bandung 
karena airnya sering ga ngocor.

Mungkin persoalannya bukan "privat-vs-bumd". Soal tata-kota. Dengan 
pertumbuhan kota-kota di Indonesia yang seenaknya sendiri tanpa arah, 
bagaimana penyedia layanan publik (air bersih) bisa optimal? Dan tidak 
hanya air bersih, semua urusan layanan publik bermasalah: jaringan air 
kotor, transportasi masal, jalan raya, telekom kabel. Kalo telekom radio 
/ seluler sih enak, karena menggunakan medium udara sebgaia 
infrastruktur. Tapi kan air ga bisa dikirim lewat radio / udara?

Salam
Hardi

On 21/03/2010 22:49, dyahanggitasari wrote:
>
>
>
> Koran Tempo hari ini di halaman pertama atas dalam kutipan beritanya 
> di halaman A5- A9 menyatakan:
>
> "Setelah lebih dari 10 tahun, semua target yang tertuang di kontrak 
> kerja sama nyaris tak ada yang bisa dipenuhi pihak swasta"
>
> Lebih jauh lagi dari artikel di Tempo Interaktif pada Januari 2009 
> tertulis :Koordinator Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (Kruha), 
> Hamong Santono menilai rencana kenaikan tarif layanan air Jakarta 
> sebesar 22,7 persen tidak wajar. Privatisasi air dinilai gagal. 
> "Pasalnya sejak privatisasi pada 1998, tidak ada perbaikan kualitas 
> layanan air bersih dari dua operator swasta,"
>
> Jadi apa untungnya ekonomi model neo liberal diterapkan di negeri ini?
>
> e <http://docs.yahoo.com/info/terms/>
> .
>
> 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke