Waduh Pak Bambang, bisa ngamuk nanti orang Aqua kalo baca imel Bapak...
hehehehehehe.... masa air sumur yang disimpan di galon??
Setau saya, Aqua (dan beberapa produk air kemasan lainnya) adalah air mata
air yang diolah melalui proses sterilisasi terlebih dahulu... bahkan mereka
juga ada quality controlnya..

Kira-kira proses ini yang harus dijalanin oleh si air (dari Intisari):
Dari mata air atau sumur artesis, air ditandon dalam sebuah tanki. 
Air kemudian dialirkan ke dua arah: ke keran-keran di luar untuk dialirkan
ke tanki-tanki air (untuk diangkut ke pabrik di lokasi lain), dan ke pabrik
di lokasi yang sama. 
(Di Pabrik:): Air melalui filter 5 mikron untuk menyaring kotoran berupa
partikel. 
Filter karbon I untuk menyaring bau, rasa, dan warna. 
Filter karbon II 
Filter 1 mikron untuk menyaring kotoran berupa partikel. 
Ozonisasi (sterilisasi) 
Masuk ke Finished Tank. 
Pengisian ke botol-botol, sepenuhnya dilakukan oleh mesin.  
    Catatan: Filter-filter karbon dicuci seminggu sekali. Cek mikrobiologi,
kimia dan fisika dilakukan masing-masing satu kali sehari. 

Yang menurut saya berbahaya adalah air minum isi ulang... mungkin
Bapak2/Ibu2 sempet baca di koran kalau sebagian besar air minum isi ulang
tercemar bakteri e-coli. harusnya, bakteri ini mati kalau air kita masak
sampai mendidih, tapi karena alat strilisasi mereka juga mungkin tidak bagus
kualitasnya sehingga tidak aman untuk diminum.

Ini ada berita mengenai air minum dalam kemasan

Sumber: Intisari, Juni 2001.
MENCARI MUTU AIR KEMASAN
 
Pelbagai produk air minum dalam kemasan yang melenggang di pasar boleh
dibilang serupa tapi tak sama. Serupa isinya namun acap kali lain mutunya.
Tak mudah memang membedakan mutunya kalau cuma selintasan. Setidaknya,
tulisan berikut bisa membantu Anda.
 
Anda percaya kalau kita sebenarnya pantas disebut "makhluk air"? Kalau mau
hitung-hitungan persis, manusia normal membutuhkan air berkisar 2,1 l – 3,4
l per hari. Tidak sekadar menjawab rasa haus, air yang kita konsumsi harus
memenuhi kebutuhan tubuh akan cairan intraselular dan ekstraselular. Sesuai
namanya, yang intraselular adalah cairan di dalam sel yang memungkinkan sel
berfungsi. Sedangkan yang ekstraselular merendam sel-sel, mengalirkan
nutrisi, sel, dan produk buangan melewati jaringan-jaringan dalam tubuh.
Bumi sebenarnya menyediakan banyak sekali sumber air. Ada air permukaan
(sungai, danau, laut), air angkasa (air hujan, salju) ada pula air tanah
(ada air tanah dangkal, selain yang dalam). Hanya saja, tak beda dengan
produk yang berjajar di toko, masing-masing mempunyai kualitasnya sendiri.
Yang paling rentan pencemaran, ya, air permukaan. Namun, gara-gara masalah
lingkungan, air tanah dangkal pun ikutan terimbas polutan.
 
Awas, produsen nakal
Padahal penduduk yang tidak terakomodasi air PAM dengan sendirinya lari ke
air tanah dangkal ini. Bagaimana pula? Memang mengesalkan tapi fakta
berbicara, air bening belum tentu sehat. Mineral yang dibutuhkan bagi
kesehatan tubuh itu, dalam kadar yang tidak pas bisa menjadi malapetaka.
Sebagai contoh, kandungan mangan (Mn) yang pas berguna dalam mengaktifkan
sejumlah enzim dalam tubuh, namun kandungan di atas 0,5 mg/l dapat
menyebabkan rasa aneh, meninggalkan noda kecoklatan pada cucian, dan yang
paling gawat, dapat menyebabkan kerusakan pada hati. Seng (Zn) dalam jumlah
kecil merupakan unsur penting dalam metabolisme sehingga kalau anak
kekurangan seng, pertumbuhannya bisa terhambat. Namun, terlalu banyak seng
akan menyebabkan rasa pahit dan sepet pada air minum.
Jadi, tak heranlah kalau kebutuhan akan air minum dalam kemasan, sebutan
resminya AMDK, sudah tercipta dan berhasil terpelihara sampai sekarang.
Konsumsinya dari tahun ke tahun terus menanjak. Dari 4,18 miliar liter di
tahun 1999 merambat terus hingga 5 miliar liter di tahun 2000. Mengingat
tingkat konsumsi itu dibandingkan dengan orang Eropa masih sepersepuluhnya,
peluang tumbuhnya jelas masih terbuka lebar.
Adanya demand yang disambut oleh supply sebenarnya wajar-wajar saja. Sayang
sekali, industri yang sedang sumringah ini belakangan belum menunjukkan
tanda-tanda telah tertata dengan baik. Salah satu yang mengintip sebagai
indikasi, misalnya, dari 270 perusahaan AMDK yang terdaftar di Deperindag
(meski yang berproduksi baru 150-an), yang menjadi anggota Asosiasi
Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) baru 70 perusahaan.
Kenapa gerangan?
"Perusahaan-perusahaan yang nakal tidak mau bergabung dengan kami," jawab
Wakil Ketua Umum Aspadin, Willy Sidharta. Meski tidak tegas-tegas
memberlakukan peraturan, apalagi keanggotaannya bersifat sukarela, ada kode
etik bagi anggota asosiasi. Taruhlah dalam hal tata cara berusaha, juga
penerapan Good Manufacturing Practice (GMP).
Tentu saja itu usaha yang bagus. Belum lama ini Aspadin melaporkan kasus
temuan mereka kepada Deperindag tentang perusahaan AMDK yang menjual
produknya tanpa kemasan. Konsumen datang ke depo mereka dengan membawa botol
kemasan bekas dari merek apa saja, untuk diisi ulang. Sangat menguntungkan,
karena menghapus ongkos yang mestinya mencakup 75 - 85% dari seluruh biaya
produksi. Tapi apakah pengemasan dengan cara demikian bisa terjaga
sterilitasnya? Lalu bila ada masalah, siapa yang harus bertanggung jawab?
Padahal Keputusan Menperindag no. 167/1997 telah memberikan definisi yang
jelas mengenai AMDK, yaitu air yang telah diolah dan dikemas serta aman
untuk diminum. Terhadap produk-produk yang kurang terjaga keamanannya ini,
seharusnya ada pengawasan.
Hanya saja, seperti yang dikeluhkan oleh Willy Sidharta, pengawasan itu
masih kurang terkoordinasi. Alangkah idealnya, begitu ia berharap, "Kalau
ada sebuah badan yang mencakup semua unsur yang berkepentingan dalam
industri ini: ya pemerintah, ya konsumen, pun dari asosiasi industri. Dengan
demikian, segala peraturan yang sudah baik akan terimplementasi dengan baik
pula."
 
Awas, bau!
Sementara itu kita sebagai konsumen mau tak mau mesti pandai-pandai bersilat
melindungi diri dari produk-produk bermasalah. Untuk menyebut contoh, pada
produk yang semestinya bening, tak berasa, tak berbau ini terkadang
ditemukan "pasir" berwarna hitam, atau putih, atau algae (ganggang) juga
berbau. Pihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang tahun lalu
menerima sembilan pengaduan produk AMDK dari merek berbeda-beda (sebagian
besar menyangkut kualitas air), menuding masalah metode penyimpananlah
kemungkinan penyebabnya.
"Banyak botol kemasan AMDK menggunakan bahan plastik poliakrilat, bahan yang
sangat tidak tahan panas dan mudah menyerap bau. Oleh karena itu cara paling
ideal menyimpan AMDK adalah di tempat sejuk yang terlindung dari matahari
dengan suhu di bawah suhu kamar," ujarnya Ilyani S. Andang, dari Bagian
Penelitian YLKI. Namun, ia menyayangkan, soal metode penyimpanan belum
diatur dalam peraturan pemerintah.
Boro-boro soal metode penyimpanan, soal tanggal kedaluwarsa saja, yang
jelas-jelas merupakan keharusan menurut Undang-Undang no. 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen di bawah judul Label Pangan, dalam berbagai tingkatan
belum sepenuhnya ditaati. Ada yang mengaku telah mencantumkan kode produksi,
"Dan itu berarti tanggal kedaluwarsanya dua tahun setelah itu," namun tak
langka pula produk-produk "gerilya" yang mencantumkan kode sulap yang sulit
dipahami konsumen.
Kepada kita yang menemukan kasus-kasus AMDK seperti ini, apalagi bila sampai
mengalami mules, misalnya, yang diduga akibat mengkonsumsi AMDK, Ilyani
mengimbau agar jangan ragu melaporkannya kepada YLKI atau Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (BPOM), dengan membawa bukti produk yang dicurigai telah
tercemar.
Bau dari luar ternyata bisa menyusupi kemasan AMDK. Kalau tidak percaya,
cobalah simpan AMDK di dekat buah durian, minyak tanah, atau kamfer. Kasus
kamfer ini memang pernah terjadi. "Akibatnya, terbentuk kristal-kristal di
dalam air," tutur Anna Djati Susanti dari bagian Penelitian & Pengembangan
Aqua.
 
Pengaruh panas matahari
Namun, bahwa plastik bisa berpengaruh terhadap AMDK ternyata tidak
sepenuhnya disetujui oleh Prof. dr. Juli Soemirat Slamet, MPH., Ph.D. dari
Laboratorium Kesehatan dan Toksikologi Industri Institut Teknologi Bandung.
Botol kemasan AMDK bahkan terbukti bisa dijadikan alat sterilisasi air minum
yang sederhana. Ini pernah dipraktikkan dalam sebuah proyek Depkes di tahun
1990-an, yang dibiayai Bank Dunia di mana ia aktif di dalamnya. Di enam
propinsi di Sulawesi, penduduk desa terpencil yang kesulitan air dianjurkan
memanfaatkan botol kemasan AMDK untuk mensterilkan air minum. Caranya, botol
berisi air tanah itu dimasukkan ke dalam plastik kresek hitam (warna yang
menyerap panas), lalu dijemur di atas atap rumah tanpa batasan waktu
tertentu. Air minum yang dihasilkan cukup baik.
Juli sama sekali menepis kemungkinan pencemaran AMDK akibat adanya zat dari
kemasan yang terlarut. Kemungkinan itu tidak ada, selama prosesnya
menggunakan ozon atau UV (ultraviolet). "Itu 'kan proses dingin. Jadi,
airnya tidak mudah melarutkan senyawa dalam plastik kemasan. Tapi kalau
airnya panas, mungkin saja terjadi pelarutan senyawa kemasan. Lagi pula,
kalau air dan kemasannya sudah bersih dari berbagai bahan pengotor, termasuk
algae, kualitasnya tidak akan menurun sekalipun terkena sinar matahari,"
katanya.
Ia tidak menolak kemungkinan terjadinya reaksi pada zat plastik kemasan
akibat panas. Namun, untuk terjadinya proses reaksi pada plastik, selain
panas yang cukup juga dibutuhkan derajat keasaman yang cukup. Padahal, pH
(derajat keasaman) AMDK itu netral. Kecil sekali kemungkinan, panas matahari
 yang paling-paling menaikkan suhu air sampai 40oC akan menimbulkan reaksi
pada plastik kemasan. Kalaupun setelah kena panas matahari timbul algae, ia
mempertanyakan apakah itu bukan tanda bahwa sebelumnya produk AMDK itu sudah
terkontaminasi?
Penuturan dr. Juli Soemirat ternyata dibenarkan oleh Willy Sidharta, yang
juga Presdir PT Aqua Golden Mississippi Tbk. Diakuinya, peringatan untuk
menjauhkan dari sinar matahari itu hanya bersifat berjaga-jaga terhadap
kondisi ekstrem. Bahkan diakuinya, banyak pengecer produknya di warung kaki
lima "menjemur" produknya, namun karena dalam jangka waktu 2 – 3 hari
biasanya sudah terjual, ya, tidak ada masalah. Namun, untuk jangka panjang
ia meyakini, tetap saja kemasan plastik bisa berpengaruh pada produk AMDK.
Air tanah dalam (air artesis) diambil dari sumber air jauh di dalam tanah.
Air artesis ini mengandung pelbagai mineral, tergantung formasi yang
dilaluinya. Karenanya dia disebut air mineral. Secara mikrobiologis,
harusnya air artesis juga bersih dari mikroba. Bila proses penangkapan,
pengolahan, dan pewadahannya saniter, kualitasnya tidak akan berubah. Selain
itu ada yang disebut spring water (sering disebut mata air), yaitu air yang
benar-benar berasal dari aquifer (lapisan batuan penyimpan air), sehingga
tak mungkin terkontaminasi oleh bahan lain.
Namun, mengingat banyaknya produk asal jadi (termasuk kasus-kasus pemalsuan,
bila benar ada) bisa saja suatu produk AMDK tidak diproses sebagaimana
mestinya, sehingga ia belum bebas bakteri dan kemasannya tidak hampa udara.
Maka kalau ada AMDK yang kemasannya menggembung, dapat dipastikan di
dalamnya sudah ada gas dan mestinya juga pencemaran. Betapa pun, hati-hati
agaknya menjadi kata kunci bagi para konsumen AMDK. (Lily Wibisono/I Gede
Agung Yudana)
 
-------Original Message-------
 
From: [EMAIL PROTECTED]
Date: 13 Juni 2003 13:53:23
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: [balita-anda] Air aqua was mohon pencerahannya...
 
aqua nggak dimasak, dan bakteri masih bisa hidup dalam air yg tidak dimasak
mendidih.
ini terlepas dari aqua sudah disterilisasi, kira2x mungkin bayangannya aqua
itu air sumur yg disimpan di galon air kemudian langsung diminum.
 
b_a
 
.

Kirim email ke