Hi all, Sebagai sesama konsumen pelayanan medis (juga sesama ibu yang punya balita dan berdomisili di Serpong), ikut gembira melihat perkembangan dari kasus ini.
Lepas dari bahasan tentang kasus ini, saya coba posting kutipan dari bagian awal opini dr. Kartono Mohamad, mantan ketua umum PB IDI (opini lengkapnya dapat dibaca di surat kabar _Kompas_, kolom Opini, hal. 6 - Edisi Kamis, 04 Juni 2009) dengan judul "Prita 'Lawan' RS Omni" Kutipan ini sekadar gambaran bahwa ada hak2 kita sebagai pasien/konsumen pelayanan medis yang sudah diatur oleh UU Indonesia. Berharap juga ke depannya, penerapan UU tsb. berlaku merata dan nyata dinikmati semua kalangan masyarakat yang kebetulan sedang ber'status' jadi pasien suatu institusi kesehatan or provider jasa medis di negeri tercinta ini.. di samping tetap membuka diri terhadap poin2 baik lainnya yang mungkin sudah diakui oleh UU /Deklarasi hak2 pasien di negara2 lain. Semoga! cheers, Sylvia - mum to Jovan, Rena, Aleta & Luigi ------------------------- ... Secara formal, pada umumnya penyedia layanan medis mengakui bahwa pasien mempunyai hak. Tetapi, dalam praktik, tidak banyak penyedia layanan medis yang memerhatikan atau bahkan memahami hal ini. Yang lebih sering diperhatikan hanyalah kewajiban pasien, terutama kewajiban untuk membayar. Hal ini terutama akibat pola hubungan tidak seimbang antara pasien dan dokter, dengan dokter pada posisi yang lebih kuat dan dominan. Seolah sudah menjadi paradigma bagi para dokter bahwa pasien harus tunduk, menurut kata dokter, dan tidak boleh mengajukan banyak pertanyaan. Pemahaman bahwa pasien mempunyai hak tidak diperoleh ketika dalam pendidikan sehingga mereka akan merasa aneh jika dalam praktik ada pasien yang menanyakan banyak hal. Namun, kini ketentuan bahwa pasien punya hak sudah dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam pasal 52 disebutkan ada lima hak pasien, yaitu: - mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, - meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, - mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, - menolak tindakan medis, - dan mendapatkan isi rekam medis. Banyak versi mengenai hak pasien ini, baik dari yang sudah menjadi UU maupun yang berupa pernyataan atau kesepakatan perkumpulan. World Medical Association mengeluarkan Deklarasi Hak Pasien dan American Hospital Association mempunyai A Patient’s Bill of Rights. Semua pernyataan dan UU itu menyatakan, pasien mempunyai hak yang harus dihormati ketika ia berhadapan dengan penyedia layanan medis. Ada hal-hal yang disebut dalam UU atau deklarasi di Negara lain yang belum secara eksplisit diutarakan oleh UU Praktik Kedokteran kita, yaitu hak pasien untuk memperoleh pelayanan yang tidak diskriminatif, hak untuk dihormati dan dilindungi privacy-nya, dan hak untuk secepat mungkin mendapatkan solusi atas komplain yang diajukan terhadap penyedia layanan. TUJUAN Di Amerika Serikat, UU tentang hak pasien dihasilkan oleh US Advisory Commision on Consumer Protection and Quality in the Health Care Industry pada tahun 1998. Disebutkan, pada intinya tujuan Patient’s Bill of Rights adalah: - Pertama, membuat pasien merasa lebih percaya terhadap layanan kesehatan. - Kedua, menjamin bahwa penyedia layanan kesehatan akan bersikap adil (fair). - Ketiga, penyedia layanan akan berusaha memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan pasien (works to meet patient’s needs). - Keempat, membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Betapapun, keberhasilan upaya penyembuhan pasien amat bergantung pada rasa percaya yang imbal balik antara pasien dan dokter. Kepercayaan inilah yang harus selalu dijaga oleh penyedia layanan medis. Tanpa ada rasa percaya dari pasien, tidak mungkin upaya penyembuhan akan berhasil. Kecuali jika tujuan penyediaan layanan bukan untuk membantu kesembuhan pasien, tetapi semata-mata untuk mencari keuntungan sebanyak dan secepat mungkin dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Dalam mencoba memberikan layanan terbaik, penyedia layanan harus juga siap menghadapi konflik yang dapat terjadi. Konflik dapat terjadi antara perbedaan persepsi dokter dan pasien mengenai penyakit, adanya ekspektasi yang berlebihan dari pasien terhadap dokter, adanya perbedaan ‘bahasa’ dokter dengan pasien, dan ketidaksiapan dokter untuk menjalin komunikasi yang empatik. Perasaan sebagai kasta tersendiri yang berada di atas kasta pasien dapat berperanan terjadinya komunikasi yang tidak empatik tersebut. ... ------------------------- 2009/6/3 Yenni Afrianti <ye...@toyota.astra.co.id> > Alhamdulillah............. > > > > Rabu, 03/06/2009 16:07 WIB > *Prita Mulyasari Bebas dari Penjara* > *Novia Chandra Dewi, Novi Christiastuti Adiputri* - detikNews > > <deleted> >