Saya ada cerita dari temen saya yang ternyata kenal dan melayat pada hari
pemakaman Bima. Diantara pelayat yang datang tidak satupun orang yang ada
dirumah itu yang tidak menangis, tapi ada satu (dan satu-satunya) orang yang
tidak menangis, yaitu ibunda Bima, Mbak Nova. 
Beliau tidak menangis karena sebelum meninggal Bima sudah berpesan supaya
ibunya tidak menangis. 
Mendengar ini, mau tidak mau saya jadi kembali menangis seperti waktu
membaca cerita ini pertama kali.
Saya dan keluarga ikut berduka cita atas meninggalnya Bima. 
Insya Alloh, keikhlasan mbak Nova dan keluarga melepas kepergian Bima
memudahkan jalannya ke sisi Alloh dan diberikan ketabahan kepada keluarga
yang ditinggalkan. 

Mama anung

        -----Original Message-----
        From:   Alif Yusrina [SMTP:[EMAIL PROTECTED]
        Sent:   Tuesday, February 17, 2004 6:03 PM
        To:     [EMAIL PROTECTED]
        Subject:        RE: [balita-anda] TURUT BERDUKA CITA

        Kami sekeluarga, turut berduka cita ... atas kepergian Bima, semoga
Bima diterima disisi Allah swt & keluarga yang ditinggalkannya diberikan
ketabahan. Amin ...
         
        Dan kita semua sebagai orang tua bisa mengambil hikmah dari musibah
ini.
         

        Hizban <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
         Aduh sedih banget,....
                Saya juga pernah mengalami hal seperti itu pada adik saya
..... semula dikatakan sehat oleh dokter, second opinion  juga tidak
apa-apa... tetapi karena tidakmembaik ke dokter di RS... dan keadaan sudah
gawat, sehingga adik saya harus di ICU 11 hari.. dan total di RS 1 bulan.
        Jika terlambat sedikit saja pasti sudah tidak tertolong lagi... tapi
alhamdulilah.
                Perilaku dokter yang terkadang meremehkan juga sering saya
dengar... semoga mereka  masih diberikan hidayah dan petunjuk bahwa profesi
mereka   lebih bersifat membantu  dan  menolong sesama (jadi jangan hanya
mengejar materi dengan mencari banyak tempat praktek , sehingga seperti
dikejar waktu dan tidak terkonsentrasi pada profesi)..
        Kepada rekan Dokter semoga kasus ini menjadi peringatan bagi anda
semua.
         
        Kami sekeluarga turut berduka cita...
        Semoga Bima diterima disisi Allah, SWT. dan keluarganya diberi
ketabahan. Amin
         
         
        hizban & keluarga 
        h128an
        -------Original Message-------
         
        From: [EMAIL PROTECTED]
        Date: 02/16/04 21:48:51
        To: [EMAIL PROTECTED]
        Subject: RE: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah

         
        Aduh saya sedih sekali bacanya, sampe nangis.... pelajaran berharga
buat
        kita...
         
        -----Original Message-----
        From: Arsita Laksmi Paramita [mailto:[EMAIL PROTECTED]
        Sent: 17 Februari 2004 7:59
        To: [EMAIL PROTECTED]
        Subject: [balita-anda] Korban Meninggal Demam Berdarah
         
        Korban Meninggal Demam Berdarah: "IBU, BERPELUKAN..."
        Jakarta, KCM
         
        Meski sudah 2 minggu, Nova, ibu muda yang tinggal di daerah
Kebayoran Baru,
        Jakarta Selatan, masih berduka. Rabu (3/2), dia kehilangan Bima,
anak semata
        wayangnya. Penyakit demam berdarah merenggut nyawa bocah laki-laki
berusia 6
        tahun itu.
        Sudah takdir, begitu kata sebagian orang. Tetapi, Nova merasa dokter
yang
        menangani anaknya tidak profesional. Selain salah diagnosa,
penanganan
        dokter juga tidak maksimal.
        Tidak Minta Dibacakan Buku Ceritera
        Hari itu, Kamis 29 Januari, Bima (6), bersekolah seperti biasa.
Kondisi
        tubuhnya amat sehat. Sepulang sekolah, bocah tampan yang duduk di
kelas 1
        sekolah elit High Scope Indonesia di bilangan TB Simatupang itu,
masih
        mengerjakan pekerjaan rumahnya di kamar. Seperti hari lainnya, Bima
        menyelesaikan pelajaran sekolahnya pukul 14.30. Setelah itu, ia
masih
        mengikuti kegiatan ekstra kurikuler selama 45 menit. Pukul 15.15
barulah
        Bima pulang ke rumah dijemput supir.
        "Untuk perjalanan dari sekolah ke rumah, biasanya saya bawain jus
dan snack.
        Dia suka jus apa saja terutama buah-buahan lokal seperti pepaya,
tomat,
        jeruk, mangga, pisang ambon. Cemilannya bisa nugget atau roti,"
tutur Nova,
        ibu muda yang hanya memiliki satu anak itu.
        Setengah jam setelah tiba di rumah, Bima mandi air hangat yang sudah
        disiapkan ibunya. Setelah bermain-main sejenak dan shalat maghrib,
tanpa
        disuruh Bima mengerjakan PR-nya.
        "Anak itu gampang sekali, tidak pernah membuat susah. Biar anak
tunggal
        sangat mandiri. Tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk
mengerjakan PR
        atau shalat," kata sang ibu.
        Seperti juga hari-hari lainnya, pukul 9.00 malam, Bima beranjak ke
tempat
        tidur. Entah mengapa, malam itu, dia tidak minta dibacakan buku
ceritera
        kesayangannya. Padahal, biasanya Bima tidak bisa tidur kalau belum
dibacakan
        kisah binatang kesukaannya.
        "Tumben, anak ini langsung tidur. Saya pegang badannya kok panas.
Saya ambil
        termometer, setelah diukur ternyata panasnya 38,5 derajat Celcius.
Cukup
        tinggi. Langsung saya beri obat penurun demam Proris, " ujar Nova
yang
        sempat heran setelah diberi obat, kok demam anaknya tak juga turun.
        Pukul 01.00 dinihari, Nova bangun untuk memeriksa keadaan Bima. Pipi
sang
        anak terlihat memerah. "Saya yang ada di sebelahnya saja bisa
merasakan hawa
        panasnya." Begitu diukur suhu tubuhnya mencapai 40,5 derajat
Celcius.
        Nova mulai khawatir, mengapa obat demam yang diberikannya pukul
22,00 sama
        sekali tak bereaksi. Memberi obat lagi jelas tidak mungkin, karena
harus
        diberikan setiap 8 jam. "Karena takut step, tubuhnya saya terapi
dengan
        alkohol. Sementara bagian yang berbahaya seperti kening, dahi,
belakang
        tengkuk, ketiak, saya kompres dengan plester penurun panas"
        Semalaman Nova tidak tidur. Ia tidak langsung membawa putra
tunggalnya ke
        dokter, karena mengira Bima hanya menderita radang tenggorokan.
Apalagi,
        Bima juga mengeluh lehernya sakit. Setelah lewat 8 jam, sekitar
pukul 04.00
        pagi, Nova kembali memberikan obat demam untuk kedua kalinya, karena
suhu
        tubuh Bima masih cukup tinggi.
        Pagi-pagi sekali, Jum'at (30/1), Nova langsung mendaftar melalui
telepon ke
        Rumah Sakit Pondok Indah untuk memeriksakan anaknya.
        "Saya baru dapat giliran jam 1.00 siang. Karena pasiennya penuh dan
dokter
        di sana baru praktik jam 10.00," tuturnya.
        Muntah-muntah
        Selama menunggu dibawa ke dokter, Bima di rumah muntah-muntah luar
biasa.
        Nova kembali menghubungi rumah sakit mengabarkan kondisi anaknya
yang
        mengkhawtirkan. Namun, petugas di rumah sakit tak bisa berbuat
apa-apa
        karena dokter baru tiba siang hari.
        Ketika itu, suhu tubuh Bima hanya turun sedikit, sekitar 39,5
derajat
        Celcius. Dia sama sekali tak mengeluh. Makan pun masih mau. Meski
sakit,
        buah apel, keju, nasi dengan lauk udang, dilahapnya.
        "Makannya jalan, tapi muntahnya juga jalan terus. Begitu muntah saya
suapi
        lagi, karena takut dehidrasi. Minumnya juga kuat. Setiap 2 jam, satu
botol
        Aqua habis. Tetapi, muntahnya semakin sering. Saya sampai kelelahan
mengejar
        antara muntah dengan memberi makanan lagi, " ujar Nova.
        Usai shalat Jum'at, begitu akan dibawa ke dokter, hujan turun sangat
deras.
        Badai melanda Jakarta, pohon-pohon besar di jalanan tumbang. "Asbes,
seng,
        terbang seperti daun di depan rumah saya," kata Nova yang tinggal di
Jalan
        Radio Dalam Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
        Siang itu, Bima batal pergi ke dokter, karena keadaan cuaca sangat
        berbahaya.
        Pukul setengah empat sore, ketika badai mereda, mereka baru bisa
berangkat
        ke rumah sakit. "Jalanan porak poranda, akibat banyak pohon tumbang.
Setelah
        menunggu pohon digergaji dan disingkirkan dari jalan raya, mobil
saya baru
        bisa lewat," ujar Nova yang sampai di rumah sakit pukul 18.30.
        Karena dokter langganannya ke luar negeri, Nova memilih dokter lain.
"Saya
        pilih dokter yang namanya sudah sangat populer dan dikenal bagus,"
ujarnya
        Setelah Nova menceriterakan keadaan Bima, dokter memeriksa bocah itu
dengan
        sangat teliti. Mulai dari telinga, hidung, mata, hingga mulut.
Paru-paru dan
        perutnya ditekan-tekan, sembari bertanya, "Sakit nak?", Bima
menggeleng,
        "Tidak".
        Usai memeriksa, dokter mengatakan, "Nggak apa-apa ini bu. Anak ibu
hanya
        menderita radang tenggorokan." Ketika Nova bertanya mengapa anaknya
muntah
        luar biasa, bahkan air dari perutnya keluar banyak sekali? Dokter
menjawab
        enteng, "Ah, anak ibu belum dehidrasi. Minumnya masih banyak kan?
Ini cuma
        radang saja kok."
        Sewaktu didesak lagi soal muntah yang berlebihan dokter hanya
mengatakan
        iritasi di tenggorokan memang menyebabkan gatal dan muntah.
"Penjelasan itu
        tidak memuaskan saya, kemudian saya tanya lagi, perlu infus apa
tidak ya?"
        Dokter menjawab enteng, "Tidak."
        Suaminya, sempat menyenggol lengannya, "Yang sekolah siapa sih?"
tanyanya
        bercanda, agar Nova menghentikan pertanyaan-pertanyaan kritisnya.
        Nalurinya sebagai ibu yang ingin melindungi anaknya, membuat Nova
terus
        mempertanyakan jawaban dokter yang menurutnya tidak meyakinkan.
        "Lalu kami ke luar ruangan. Anak saya minta jaketnya dibuka. Begitu
dibuka
        saya kaget lihat tangannya seperti orang kena tampek, ada
bercak-bercak
        hitam. Aduh anak saya nggak begini nih tangannya. Saya balik lagi.
Dok
        kenapa nih Bima, kok tangannya begini? Yang saya tahu anak saya
tangannya
        mulus banget," tanya Nova kepada dokter. "Ah nggak apa-apa, karena
panasnya
        tinggi, pembuluh darahnya lebih kelihatan," jawab dokter enteng.
        Dokter memberikan obat antibiotik cair, Velocef, 250 miligram, obat
demam
        Proris dan Parasetamol 300 miligram.
        "Nanti kalau sudah minum obat ini 3 hari, dan belum sembuh, cek
darah ya,"
        pesan dokter.
        Sesampainya di rumah, Nova langsung memberikan obat-obat itu pada
anaknya.
        Setelah minum obat pemberian dokter, muntah Bima berkurang, demamnya
pun
        turun, meski masih 38,5 derajat Celcius. "Oh obatnya bekerja, pikir
saya
        senang."
        Tapi, Nova tak lantas berhenti berikhtiar. Ia mencoba mendapatkan
second
        opinion dari dokter lain. "Saya itu orangnya paranoid. Saya tak
pernah
        percaya satu dokter. Saya cek lagi ke dokter lain."
        Entah mengapa, kali ini Nova meminta pendapat dari mertuanya yang
juga
        dokter spesialis anak. "Pa, saya kok nggak puas, tolong Bima
diperiksa
        lagi."
        Sang kakek kemudian memeriksa cucu laki-lakinya dengan teliti,
termasuk
        melihat obat yang diberikan dokter. "Nggak apa-apa. Dia radang
tenggorokan.
        Obat yang sudah diberikan dokter minum saja, habiskan. Itu sudah
benar,"
        kata sang kakek.
        Nova belum puas juga dengan jawaban itu. Dia bertanya-tanya dalam
hati,
        setahunya anak demam tidak boleh lama-lama. Ia takut otak anaknya
akan
        mengecil, atau ada efek lainnya. Namun, mertuanya meminta Nova
berpikir
        positif saja untuk anaknya.
        Beli kambing kurban
        Hari Sabtu (31/1), kondisi Bima membaik. Anak ini malah sempat
membeli
        kambing yang akan dikurbankannya pada hari raya Idul Adha. "Bu, aku
ingin
        kurban, dan kambingnya aku pilih sendiri."
        Usai memberi makan kambing yang baru dibeli bersama ibunya, Bima
bermain
        dengan sepupunya. Muntahnya sudah berhenti dan suhu tubuhnya 37,5
derajat
        Celcius.
        Keesokkan harinya, Minggu (1/2), pada hari raya Lebaran Haji, Bima
masih
        bermain seperti biasa. Hanya saja ia terlihat lemas, dan lebih
banyak
        tidur-tiduran. Nova sempat memberinya jus jambu. Namun, Bima sudah
tak mau
        makan. Ia hanya minum terus.
        Malam harinya, kira-kira pukul 21.30, kakeknya menanyakan kabar Bima
via
        SMS, "Bagaimana posisi Bima?" Dijawab Nova, panasnya masih 38,5
derajat
        Celcius. "Coba cek darah," jawab sang kakek yang diiyakan Nova.
        Menjelang sebuh, suhu badan badan Bima mendadak naik 40,5 derajat
Celcius.
        "Saya panik. Anda yang nggak beres nih. Wong panasnya sudah turun
kok naik
        lagi. Pasti ada infeksi," tutur Nova. Bima, masih sempat minta
makan. "Bu,
        aku pengin makan," kata si anak. Ibunya memberi pisang ambon. Tak
berapa
        lama, Bima malah muntah-muntah. Kali ini, muntahannya agak berbeda.
Seperti
        ada lendir coklat. "Saya tidak curiga karena saya bayangkan jika
pisang
        ambon teroksidasi warnanya berubah coklat."
        Yang mengherankan, ketika suhu badannya diukur, bagian atas
menunjukkan
        angka 40.5 derajat Celcius, namun dari pangkal paha sampai kaki,
sangat
        dingin.
        Senin sore (2/2) sekitar pukul 15.00, Bima digotong ke UGD RS Pondok
Indah.
        Setengah jam kemudian, Bima sudah tiba di RS. Melihat kondisi Bima,
dokter
        jaga UGD langsung berkomentar, "Aduh, anak ibu kayaknya DB nih."
Nova balik
        bertanya, "Apa DB dok?" ,"Demam berdarah," jawab dokter. "Saya
langsung
        lemes," ujar Nova.
        Paramedis di rumah sakit langsung panik, mereka segera melakukan cek
darah
        memastikan jumlah trombositnya. Saat itu, trombositnya masih 20.000.
        Bima disarankan segera masuk ICU. Sayangnya, ICU di rumah sakit
tersebut
        sudah penuh. Ruang ICCU pun sudah tak bisa menampung lagi. Akhirnya,
Nova
        diberi tiga pilihan, RSCM, RS Bintaro atau sebuah rumah sakit elit
di
        wilayah Jakarta Selatan.
        Berdasarkan pertimbangan mertuanya yang berprofesi dokter, Nova
memilih yang
        terakhir. Apalagi rumah sakit tersebut, jaraknya cukup dekat dari
rumahnya.
        "Tapi jujur saja, sebenarnya perasaan saya tidak setuju Bima dirawat
di
        rumah sakit tersebut," tuturnya.
        Kepada dokter di RS Pondok Indah, Nova sempat menyayangkan, mengapa
pada
        pemeriksaan pertama, anaknya tak terdeteksi demam berdarah. Malah,
menyuruh
        kembali lagi setelah 3 hari. "Dokter itu sudah nggak bisa ngomong
apa-apa
        lagi," ujar Nova.
        Ia juga kesal pada mertuanya karena sebagai dokter tak bisa
mendeteksi demam
        berdarah yang diderita Bima.
         
        Senin malam itu, Bima dibawa dengan ambulans kerumah sakit yang
sudah
        dipilih keluarganya.
        Sebelum berangkat, Nova sempat bertanya pada dokter Hinky Hindra
Irawan
        Satari, ahli spesialis penyakit daerah tropis yang berpraktik di
RSCM, soal
        tindakan apa yang akan diambil dokter dalam keadaan Bima yang sudah
kritis.
        Diterangkan oleh dokter, Bima harus segera mendapatkan vena session,
infus
        di bagian kaki. Karena dari tangan sudah tidak bisa, darahnya sudah
membeku.
         
        "Saya bertanya lagi, apakah di rumah sakit yang akan kami tuju itu
sudah
        mengerti tindakan yang akan dilakukan. Dokter mengatakan di sana
sudah siap,
        dan begitu tiba, langsung diambil tindakan. Saya percaya saja."
        Hanya ditangani perawat
        Sesampainya di rumah sakit yang dituju, alangkah terkejutnya Nova,
karena
        Bima kembali dimasukkan ke UGD, dan menjalani pemeriksaan dari awal
lagi.
        "Saya membentak petugasnya, ini kan sudah ada file-nya dari RS
Pondok Indah,
        kok masih diperiksa ulang. Mereka nggak jawab. Entah apa memang
demikian
        prosedur rumah sakit. Lama sekali anak saya diperiksa di UGD, baru
kemudian
        dibawa ke ICU."
        "Yang lebih hebat lagi," lanjut Nova, "Sejak anak saya masuk, dia
hanya
        ditangani suster. Dokter anak, yang harusnya berjaga di ICU baru
datang
        menjelang tengah malam. Ketika dia datang, anak saya sudah rapi, dan
sudah
        diinfus oleh suster. Dia tinggal lihat-lihat aja."
        Akibat dokter datang terlambat, perawat yang menangani, sempat
berkali-kali
        salah menusukkan jarum infus ke tubuh Bima yang darahnya sudah
mengental.
        "Suster itu seenaknya tusuk sana, tusuk sini, salah- salah terus,
sampai
        anak saya teriak-teriak," tutur Nova dengan nada tinggi.
        Kepada dokter tadi, Nova sempat bertanya mengapa anaknya tidak
mendapatkan
        vena session. "Ini sudah cukup, nggak perlu lagi," kata dokter.
"Saya diam
        saja. Dia malah menyarankan foto paru-paru lagi, artinya kembali
lagi pada
        pemeriksaan awal yang sudah dilakukan di RS Pondok Indah."
        Selasa pagi (2/2), sekitar pukul 8.00, kondisi Bima drop. Ia merasa
        kedinginan luar biasa. Suhu tubuhnya 35,5 derajat Celcius. Dokter
dan
        perawat terlihat panik. "Kenapa dokter pada panik, saya nggak
ngerti. Anak
        saya kemudian dikasih pemanas. Alat itu, semacam ada lampunya, yang
dipasang
        dari bagian pinggang sampai kaki Bima."
        "Ibu masih dingin sekali, minta selimut. Empat deh bu selimutnya, "
keluh
        Bima berulang-ulang.
        Nova menanyakan kepada perawat mengapa anaknya menggigil kedinginan.
"Nggak
        apa-apa bu, pasien demam berdarah memang begitu, kadang stabil,
kadang
        shock."
        Pada saat kritis itu, barulah beberapa dokter datang, malah ada yang
        menyarankan mencari dokter anestesi untuk melakukan vena session.
"Saya
        pikir kok baru sekarang diambil tindakan vena session, padahal saya
sudah
        menanyakan hal itu sejak tadi malam," pikir Nova.
        Lebih mengherankan lagi, dokter anak yang menangani Bima, baru pagi
itu
        memeriksa seluruh catatan medis Bima. "Mana file dari RS Pondok
Indah? Mana
        foto paru-paru? Mana hasil pemeriksaan darah? Mana laporan
trombosit?" tanya
        dokter itu panik. "Semua kertas-kertas itu berserakan di atas meja.
Padahal
        kondisi anak saya sudah sangat drop, dan dokter baru mempelajari
catatan
        medisnya," tutur Nova kesal.
        Wajah-wajah dokter dan perawat terlihat panik, malah ada sebagian
yang
        berusaha menahan air mata. "Mereka kelihatan putus asa. Tetapi tetap
tidak
        ngomong apa-apa pada saya. Kenapa muka mereka begitu?" tanya Nova
dalam
        hati.
        Pagi itu juga Bima mendapatkan vena session, infus di bagian
kakinya,
        ditambah infus di bagian leher. "Ada tiga selang yang masuk ke leher
anak
        saya," kata Nova, yang berusaha memastikan apakah dokter yakin
dengan
        tindakan infus di bagian leher anaknya.
        "Ini satu-satunya kesempatan," ujar dokter itu. Alasannya, di bagian
leher
        ada pembuluh darah besar, jadi lebih gampang. Perawat juga memasang
infus di
        bagian selangkangan Bima.
        Setelah beberapa lama dipasang, infus di bagian selangkangan Bima
        menimbulkan bengkak. Ketika ditanyakan, perawat dengan enteng
berujar, "Oh,
        ternyata yang di sini nggak bisa dok, infusnya nggak masuk," kata
Nova
        menirukan ucapan suster tersebut.
        Sempat terlintas dalam pikiran Nova, memindahkan anaknya ke rumah
sakit
        lain, tapi kondisi Bima sudah terlalu parah. Satu-satunya hal yang
bisa
        dilakukannya tinggal ikhtiar dan berdoa.
        Tinja berwarna hitam
        Selasa sore, Bima buang air besar. Nova semakin cemas, karena warna
tinja
        anaknya hitam. "Saya kaget, kok tinjanya berwarna hitam. Ketika saya
tanya
        ke dokter, dijawab tidak apa-apa. Itu merupakan proses perjalanan
penyakit."
        Namun, kondisi Bima semakin parah. Sekujur tubuhnya, mulai dari
kepala
        sampai kaki membengkak. "Bima diguyur 9 botol infus. Itu apa saja,
saya
        nggak tahu," ujar Nova sedih.
        Ia kembali bertanya kepada dokter, "Kok bengkak sih dok? Ini gimana
anak
        saya?", "Nggak apa-apa bu, nanti kempes sendiri, sejalan dengan
keluarnya
        virus, nanti kempes sendiri," jawab dokter.
        Diantara bagian tubuh lainnya, paha Bima, yang terlihat paling besar
karena
        bengkak. Nova kembali bertanya, "Dok kok pahanya besar sekali?",
dokter
        menenangkan, "Nggak apa-apa, itu proses perjalanan penyakit. Ibu
tenang
        saja."
         
        Dalam kondisi tubuh membengkak, Bima masih sadar dan bertanya pada
ibunya,
        "Bu, kapan teman-teman mau jenguk aku? Aku pengin pulang, aku pengin
sekolah
        lagi, aku mau main sama temen-temen. Bu, bawa dong temen-temen aku
ke sini,"
        kata Bima mengoceh sampai tengah malam.
        Sore harinya, pukul 17.00, suster kepala ruangan masih memberi
informasi
        yang cukup menghibur. Lima jam lagi Bima akan berhasil melewati masa
        kritisnya. "Apa maksudnya," tanya Nova. "Sebentar lagi, Bima, akan
normal,"
        jawab suster yang memberitahukan posisi trombosit Bima 29.000.
        "Alhamdulilah," sahut Nova bersyukur.
         
        Hari itu, Bima ingin sekali minum fruit tea rasa anggur dan peach.
"Dia juga
        lapar, pengin makan. Karena puasa, saya hanya memberi air sesendok.
Itu pun
        ditegur perawat."
        "Bu, aku pengin minum yang glek-glek, kok nggak boleh sih, pelit
amat," ujar
        Bima lagi.
        Hari Rabu, pukul 01.00 dini hari, Bima meminta ibunya membersihkan
        darah-darah kering disekitar jarum infusnya. "Bu, tolong
bedak-bedakin juga
        dong. Ibu cium-cium juga ya," pintanya.
        Nova menciumi tangan anaknya. "Gantian dong bu, tangan yang satu
lagi, "
        kata Bima. "Kakinya, ciumin juga ya bu," lanjutnya. Setelah puas
diciumi
        ibunya, Bima minta ijin tidur. "Bu, aku tidur ya." Sebelum tidur,
Bima
        sempat membaca doa.
        Pada saat anaknya tidur, Nova menanyakan kondisi anaknya pada
perawat.
        Semuanya dijawab bagus. Air di paru-parunya pun sudah berkurang.
"Entah itu
        sekadar lips service atau apa, tetapi mereka memberi harapan optimal
kepada
        saya," tutur Nova.
        Pukul 01.30, Nova sempat shalat di samping tempat tidur Bima.
Tiba-tiba
        anaknya memanggil, "Ibuuu.., berpelukan", belum sempat Nova memeluk
anaknya,
        baru berlari ke arah tempat tidurnya, Bima sudah ngos-ngosan,
nafasnya
        sesak. Nova segera berteriak memanggil suster, memintanya mengambil
alat
        pacu jantung.
        Tetapi, satu orang perawat ICU yang berjaga ketika itu, malah sibuk
mengatur
        volume selang infus. "Saya bingung dan marah, kok reaksinya seperti
itu,
        pintu kaca ICCU saya gedor keras-keras. Tolong anak saya, ambil alat
bantu
        pernafasan," teriak Nova.
        Perawat kemudian memberikan CPR melalui pompa. "Saya masih memberi
semangat,
        'Ayo tolongin anak saya, jangan putus asa.' Saya masih optimis,
karena saya
        masih ingat janji-janji suster sore harinya bagus banget," kata
Nova.
        Bima kemudian disuntik adrenalin, detak jantungnya sempat naik, tapi
        kemudian tak ada sambutan lagi, dan... hilang. Dengan alat kejut
jantung pun
        tak bisa mengangkat lagi, grafik detak jantungnya tak bergerak lagi.
        "Sudah bu, kami sudah berusaha, maaf..," ujar perawat.
        Tubuh Nova langsung lemas, antara percaya tidak percaya, Bima, anak
semata
        wayangnya, telah meninggalkannya untuk selama-lamanya, tepat pukul
02.15
        pagi.
        Ia hanya bisa menyayangkan, mengapa pada saat kritis itu, tak ada
satu
        dokter pun yang menangani anaknya.
        Satu hal yang masih berkecamuk di benak Nova dan kerabatnya hingga
hari ini,
        adalah: Kok bisa sih di kota metropolitan, dengan rumah sakit yang
katanya
        favorit, penderita demam berdarah tidak tertolong nyawanya?
        Padahal, biaya yang harus dikeluarkannya selama dua hari dirawat di
rumah
        sakit, cukup besar, lebih kurang Rp12,5 juta. Mengapa pelayanan yang
        diterimanya sedemikian buruk?
        Dalam keadaan marah dan kecewa, ia sempat ingin menggugat pihak
rumah sakit.
        Tetapi setelah mempertimbangkan kemungkinan anaknya akan diotopsi,
Nova
        menyurutkan langkahnya. "Saya tidak mungkin melakukan itu (otopsi)
pada anak
        saya," ujarnya lirih.
        Ia hanya berpesan kepada para orangtua, begitu anak panas lebih dari
37,5
        derajat Celcius, dan sudah diberi obat demam, suhunya tidak
turun-turun,
        segera bawa ke dokter. Bila dokter tak berinisiatif mengecek darah,
bawa
        sendiri ke laboratorium dan periksa darahnya. Kalau perlu,
pemeriksaan
        laboratorium dilakukan selama dua hari berturut-turut. Bila selama
dua hari
        itu terjadi penurunan jumlah trombosit segera bawa ke rumah sakit,
dengan
        menunjukkan bukti penurunan trombositnya.
        "Tidak usah menunggu bintik merah, karena sampai Bima meninggal, tak
ada
        bintik merah sama sekali di tubuhnya," ujar Nova lirih. (ZRP)
         
         
        
---------------------------------------------------------------------
        >> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
        >> Info balita, http://www.balita-anda.com
        >> Stop berlangganan, e-mail ke:
[EMAIL PROTECTED]
         
        
---------------------------------------------------------------------
        >> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
        >> Info balita, http://www.balita-anda.com
        >> Stop berlangganan, e-mail ke:
[EMAIL PROTECTED]
         
         
        ____________________________________________________
          IncrediMail - Email has finally evolved - Click Here

        ---------------------------------
        Do you Yahoo!?
        Yahoo! Finance: Get your refund fast by filing online

---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke