iya, saya juga
walaupun bukan bapak2..... tapi mungkin akan bertindak hal yg sama jika terjadi hal yg sama...
maklum lah.....


----- Original Message ----- From: <[EMAIL PROTECTED]>
To: <balita-anda@balita-anda.com>
Sent: Thursday, September 15, 2005 3:13 PM
Subject: Re: [balita-anda] curhat dari suaramerdeka.com (kisah nyata kali yak??)


Hiks..hiks...sedih banget bacanya,
Tetapi tanpa mengurangi rasa hormat kepada takdirNya, dan ibu2 di milis
ini..... mungkin aku akan melakukan hal yang sama seperti Farhan.....
mungkin ada tanggapan dari bapak2 ?

Regards



"intan dima" <[EMAIL PROTECTED]>
09/15/2005 02:53 PM
Please respond to
balita-anda@balita-anda.com


To
"BA" <balita-anda@balita-anda.com>
cc

Subject
[balita-anda] curhat dari suaramerdeka.com (kisah nyata kali yak??)






Benarkah Takdir Bukan Hukuman?

Tak pernah aku bayangkan, sesuatu yang menjadi bagian takdir, rencana
Ilahi, didudukkan di pundakku sebagai sebuah kesalahan. Dan, dalam
kesedihan kehilangan, aku mendapatkan bencana lain, dicap sebagai
"pembunuh". Sesuatu yang tak pernah, tak akan pernah, terlintas dalam
pikiranku. Tapi aku tak lagi bisa menolak... Bukankah rencana manusia
memang hanya sekrup kecil dari rencana Tuhan.

Aku Risma (30), menikah, guru di sekolah swasta. Suamiku Farhan (31),
bekerja di perusahaan kontraktor. Kemampuannya dalam desain interior dan
gambar membuat kariernya cepat melesat. Ini berdampak langsung pada
kemampuan finansial kami. Karena itu, jika semula kami berencana tak
memiliki momongan saat menikah 6 tahun lalu, tapi di tahun kedua, rencana
itu kami batalkan. Di tahun ketiga pernikahan, aku telah memberinya kado
mungil yang luar biasa, seorang bayi perempuan yang cantik. Bayi itu kami
namakan Farhis, gabungan namanya dan namaku. Dan, jadilah hari-hari kamu
bergembira dengan bayi kami yang tumbuh subur, cantik. Tak ada hari libur
yang tidak kami habiskan bersama. Tak ada gerak sedikit pun dari Farhis
yang tidak kami ketahui. Farhan apalagi, setelah ada anakku, barangkali
aku jadi wanita kedua di hatinya. Kasihnya melimpah luar biasa. Dan aku
senang, aku bangga.

Farhis usia setahun, kami sudah memiliki rumah, dan kutinggalkan rumah
ayah-ibu di Pedurungan. Kami tempti rumah tipe 45 di perumahan Semarang
Atas. Mobil pun segera dibeli Farhan, meski dengan cara kredit. Alasannya,
ia selalu tak tega membawa Farhis jalan-jalan dan kepanasan. Aku pun
setuju. Apalagi, kalau sudah menyangkut urusan Farhis, tak ada yang dapat
membantah Farhan. Ia bahkan sudah menabung untuk keperluan anakku, mulai
rencana sekolah, sampai urusan-urusan yang menurutku masih akan berpuluh
tahun lagi akan kami hadapi. Tapi semua aku setujui saja, karena aku tahu,
barangkali itulah wujud kasih sayangnya. Oh ya, Farhan anak tunggal,
sehingga kehadiran Farhis membuat dia segara mendapatkan kesempatan punya
"adik". Mertuaku pun sayang luar biasa pada cucunya ini.

Namun, rencana manusia memang hanya sekrup kecil dari rencana Tuhan. Di
balik kegembiraan kami, tersimpan duka yang luar biasa besar, yang tengah
menanti. Tepatnya setahun lalu.

Usia Farhis sudah 2,5 tahun. Ia sedang nakal-nakalnya, dan sedang
menggemaskan. Farhan jangan ditanyakan lagi besarnya cintanya pada anak
kami ini. Dan, tak ada liburan yang tidak kami habiskan bertiga. Tapi,
hari itu, bencana memang tengah dipersiapkan untuk kami. Kini aku dapat
sadari hal itu.

Minggu, dan kami dapat undangan pernikahan di Demak. Kenalanku semasa
kuliah menikah. Dan aku sudah menjanjikan akan datang. Farhan pun yang
kebetulan kenal, juga sudah memberi lampu hijau. "Sekalian, membawa Fehis
jalan-jalan," katanya. Kembali, soal Farhis dia tak lupa. Tapi, malam
Minggu itu, Farhan panas. Flu dan demam menyerangnya. Ketika pagi, meski
dia sudah agak mendingan, tetap saja tubuhnya terasa lemah. Aku pun tak
tega mengajaknya pergi. Maka, kuberanikan diri untuk pergi sendiri. Farhan
menolak. Dia meminta aku menunggu sampai jam 10 siang, menunggu kondisi
tubuhnya lebih baik. Aku setuju.

Nyatanya, Farhan tetap saja lemah. Untuk menyetir, jelas dia tidak mampu.
Dia pun usul untuk membatalkan memenuhi undangan itu. Tapi aku menolak.
Setelah "berdebat" sedikit, dengan agak berat, dia mengizinkan aku pergi.
Sendiri. Aku protes lagi. Aku ingin Farhis ikut, karena nanti siapa yang
akan mengurus dia. Lagi pula, dengan tubuh ayahnya yang masih lemah, aku
tak ingin merepotkan suamiku. Belum lagi kalau Farhis nanti buang air atau
menangis, kasihan Farhan. Kami berdebat lagi, dan aku kembali "menang".
Dengan sebal, Farhan mengizinkan. Dia pun ikut mengantar kami sampai
gerbang, sebelum aku pergi dengan Farhis di samping kiriku.

Dan rencana Tuhan terjadi. Aku tak ingat pasti bagaimana ceritanya. Cuma,
sewaktu dekat Sayung, perbatasan Demak-Semarang, ketika aku bermaksud
memotong sebuah truk yang jalan terlalu lambat, ternyata ada bus yang
tiba-tiba juga memotong dari arah berlawanan. Posisi mobilku yang sudah
separoh jalan memotong membuat aku panik. Untuk melalui nyaris tak akan
dapat, untuk mengerem, aku juga tak yakin. Dan dalam kepanikan sepersekian
detik itulah, aku nekat menambah kecepatan, bermaksud memotong truk itu.
Berhasil, itulah yang kukira, tapi nyatanya tidak. Bus itu yang juga
melaju kencang, menyentuh sisi kanan mobilku, meski tidak keras, benturan
itu menimbulkan goncangan yang cukup kuat, dan aku tak tahu pasti, cuma
tiba-tiba aku merasa seperti mendapat sorongan keras dari belakang, dan
mobilku tanpa terhindarkan melesat meninggalkan badan jelan, melesak ke
sisi trotoar, dan berhenti ketika menabrak pohon. Selebihnya, gelap. Aku
pingsan.

Ketika sadar, aku di rumah sakit. Di sisiku hanya ada mertua, dan orang
tuaku. Farhan tak ada. Dan ketika aku tanyakan, semua hanya diam. Mertua
perempuanku yang menangis, merangung dan memeluki diriku. Ayahku hanya
diam, juga mertua lelakiku. Tapi aku tahu, mereka juga menangis. "Ada apa?
Kenapa? di mana Farhan? Farhis, anakku? Gimana dia?" begitu pertanyaanku
meluncur, dan tak ada jawaban. Tapi aku telah tahu sesuatu, aku telah
merasa, dan benarlah. Ya, Allah.... Anakku...

Dari ayah, aku tahu, Farhis telah tiada. Aku pingsan lagi. Ketika sadar,
aku hanya meronta-ronta, menjerit-jerit, dan hanya ayah yang ada untuk
menenangkanku. Mertua dan Farhan mengurus pemakanan anakku, yang tak dapat
kuhadiri, karena aku tak bisa bergerak. Rusukku retak, dan kakiku patah,
juga memar yang parah di kepala dan pinggulku. Aku hanya bisa menangis,
menangis. Dari cerita ayah kemudian, aku ternyata pingsan berkali-kali.

Kenapa Farhis meninggal, padahal benturan itu tidak keras, juga tabrakan
dengan pohon itu pun perlahan, selalu itu yang jadi pertanyaanku. Tapi,
kata ayah, anakku terlontar karena tak memakai sabuk pengaman. Dan, meski
dokter telah berusaha, pendarahan di kepalanya membuat nyawanya tak
tertolong. (Dulu, aku meraung saat mendengar cerita ini...)

Kini sudah setahun hal itu berlalu. Rasa kehilanganku belum juga sembuh.
Masih terbayang semua tentang anakku, jelas, sangat jelas. Tapi, sakit
karena kehilangan itu tak cukup, aku juga kehilangan Farhan. Begitu aku
sembuh dan boleh pulang 3 minggu kemudian, aku tahu, sudah ada yang salah
dengan suamiku. Dari dia yang tak menjemput, dan tak menungguiku di rumah
sakit, aku tahu, Farhan menyalahkanku atas kejadian itu. Tapi, begitu
sampai rumah, aku tahu lebih parah lagi, ternyata Farhan bahkan
mengganggap aku sebagai "pembunuh" Farhis. Dia pernah marah dan
membentak-bentakku, "Kenapa tidak kamu saja yang mati?! Kenapa harus
Farhis, kenapa bukan kamu??" Ya Tuhan... aku menangis saat dia mengatakan
itu. Aku kehilangan suamiku, aku telah kehilangan anak, suami, dan juga
kebahagiaanku.

Aku telah minta maaf ke Farhan. Aku katakan, "Jika memang boleh memilih,
aku akan bersedia menggantikan nyawa anakku. Aku yang akan ikhlas mati,
bukan anakku. Tapi ini takdir. Tolong jangan salahkan aku, tolong... Aku
pun kehilangan anakku, bukan Mas saja, kita punya kesedihan yang sama..."
Tapi nihil, aku tak pernah di dengar. Farhan hanya berucap, "Seandainya
kamu tak pergi ke undangan itu... seandainya kamu patuh pada suamimu,..."
Ohh.. untuk urusan takdir, dapatkah kita bicara "seandainya..."

Kini telah setahun, dan hubunganku kian kacau dengan Farhan. Ia jadi
pemamun, dan kusut. Aku sering menemukan dia menangis. Dan aku tahu, lebih
daripada menyalahkan aku, dia pun menyalahkan dirinya sendiri. Hubungan
kami beku. Nyaris tanpa komunikasi. Hanya kehadiran mertua yang membuat
kami bisa membuat rumah ini serasa hidup lagi. Selebihnya, aku telah
sungguh-sungguh kehilagnan anakku, suami, dan kepercayaannya. Aku tak tahu
lagi, entah bagaimana cara bisa menjalani hidup ini....

(Cerita Ny Risma, melalui e-mail kepada redaksi)

---------------




================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke