Dear Netter,
Saya menemukan sebuah artikel tentang Kiat Mengajarkan Matematika untuk Bayi antara 0
- 1 tahun.
Semoga bermanfaat,
+Bunda Gaiea+
KIAT MENGAJARKAN MATEMATIKA
KEPADA BAYI BERUSIA O - 1 TAHUN
OLEH : NASRULLAH IDRIS
bidang studi reformasi Sains/Matematika/Teknologi
P.O.Box 1380 - Bandung 40252 - INDONESIA
e-mail : [EMAIL PROTECTED]
PENDAHULUAN
Bersamaan mulai berfungsinya mata seorang bayi dengan normal, sekaligus melihat fisik
sekitarnya, proses pengajaran matematika sesungguhnya sedang berlangsung. Karena apa
yang dilihatnya jelas berkaitan batasan-batasan benda, yang gilirannya pada ukuran dan
satuan.
Kemudian diperkuat sikap bermanja sang ibu dengan memperlihatkan benda-benda ke
hadapannya, sebagaimana dalam usaha membuat si bayi beraksi.
Namun mengingat pamor matematika cenderung untuk konsumsi usia sekolah, sehingga apa
yang dilakukan mereka itu seakan- akan tidak berkaitan dengan matematika.
Akibatnya mereka tidak serius, dalam arti, bila ada kesempatan saja. Apalagi adanya
predikat jelimet, komplek, dan susah yang dilekatkan pada tubuh matematika, tentu
semakin membuat ibu tidak memprioritaskannya dalam jadwal pengasuhan.
Bila seorang ibu sudah bisa menerima perilakunya seperti itu sebagai proses pengajaran
matematika juga, tentu akan semakin terangsang memberikan input kepada bayinya.
Sekarang tinggal pada metode, bagaimana urutan prioritasnya ? Jangan sampai yang
lambat dicerna didulukan ketimbang yang cepat ditangkap, karena itu namanya meloncat.
Nah berikut ini akan disampaikan beberapa kiatnya (kita batasi pada aritmatika : salah
satu cabang dari Matematika)
MEMPERLIHATKAN BOLA
Perlihatkanlah sejumlah bola dengan beberapa kali +pindah posisi, yang berwarna gelap
dan berbahan sama.
Diameternya lima ukuran saja dulu, 1 cm s/d 5 cm, yang rasanya standar dengan daya
penglihatannya. Bukankah puting susu dan daerah hitam pada payudara, yang umumnya
sering dilihat bayi ketika mulai menyusu, sekitar itu juga ?
Penampilan awalnya hendaknya berurutan dengan selisih waktu yang cukup. Tampilan acak
dilakukan bila bayi sudah akrab.
Pada waktunya timbul kesan adanya perbedaan dan persamaan, yakni ketika semuanya
diperlihatkan, serta membandingkan besar kecilnya.
Dipilih lingkaran mengingat kesempurnaan, kesederhanaan, dan keteraturannya, meskipun
diproyeksikan ke bidang, sifat yang tidak dimiliki bangun lainnya.
Satu ukuran yang warnanya berlainan pun boleh, asal tajam serta sudah populer pada
diri manusia sepanjang hidupnya. Hitam, hijau, merah, biru, dan kuning, misalkan.
Mana sajalah dulu yang dipakai. Substansinya hampir sama juga, hanya jenisnya lain.
Ketika tahap sekaligus, pengertian lainnya muncul pada bayi, tepatnya kaitan warna,
ukuran, dan satuan melalui penggabungan dua macam input monumental yang sudah
dikuasainya.
Pakailah lima bola berdiameter sama serta bisa digenggam. Sebanyak lima kali
diperlihatkan, yang masing-masing diambil satu dan lima. Ini untuk pengurangan.
Sebaliknya penjumlahan dengan menambahkan satu, sampai empat pada bola yang tergenggam.
Mengingat cirikhas pada setiap jumlah bola yang sering dilihatnya, bayi pun akan
melihat
kejanggalannya ketika dikurangi atau ditambah. Intersan serupa yang muncul
sebentar-sebentar membuatnya semakin memahami hakikat bertambah dan berkurang, yang
ditandai perubahan luas kelompok.
Apalagi pada peragaan bola yang diameter dan warnanya beragam. Pemahamannya tidak lagi
terikat dengan ukuran, tetapi pada jumlah bola yang tampak.
Adanya perasaan terpisah bila sendiri dan bersama saat digendong, yang sudah muncul
sebelumnya, sedikit-banyak ikut mempercepat pemahaman tersebut.
Bila sudah maksimal barulah bangun lain dilibatkan yang kerumitannya setingkat di atas
bola, yaitu kubus, mengingat ketiga sifat bola tersebut masih terkandung juga di
dalamnya.
Proses pengajarannya sama. Hanya waktunya semakin pendek karena formulanya sudah
terjaring pada otak bayi dalam pengajaran bola. Tinggal mengaplikasikanya pada kubus.
Bak mudahnya siswa SD menjawab 2 mangga + 3 mangga di rumah hanya karena sudah
memahami hakikat 4 permen + 1 permen di sekolah.
Bisa diteruskan dengan menampilkan keduanya, kotak dan bola, dalam setiap peragaan.
Ukuran dan warna tidak perlu dipersoalkan lagi, karena yang dibahas terbatas pada
Aritmatika. Masalah jumlah sebaiknya tidak beranjak dari lima, agar semakin memperkuat
basis intelektualnya. Toh nanti akan terangsang untuk mempertanyakan objek dengan
jumlah berikutnya.
Akhirnya bayi akan benar-benar menganggap gabungan dan pisahan bisa dilakukan dengan
benda apa saja. Terutama setelah bangun-bangun lainnya diperagakan. Pengertiannya
tidak akan terpaku pada seragam atau beragam. Yang penting tampak langsung. Misalkan,
setelah melihat dua bola dan tiga kotak di meja, yang penyimpanannya dengan tenggang
waktu beberapa detik, ia pun mengerti adanya lima buah benda.
Tentu saja dalam setiap pengajaran diselingi dengan mengajak bayi melihat benda-benda
yang mudah diinderainya di berbagai ruang di rumah. Selesai memperagakan dua bola,
misalnya, bisa dilanjutkan dengan memperlihatkan kedua mata kita. Pokoknya yang
sepadan serta sering tampak.
Tiada lain untuk membentuk karakter pengasosiasian, sehingga terasalah, apa yang
diajarkan terhubungkan dengan apa yang dilihatnya.
Terang saja bila dua lemari yang diperlihatkan akan susah, karena matanya belum
sanggup dipakai untuk melihatnya sekaligus. Bisa-bisa ia memandangnya sebagai satu
benda saja. Berarti tidak nyambung.
Dua kaki pun sama, mengingat jarang tampak, sehingga kurang ampuh untuk memperkokoh
pengertian.
Lagi pula jarang orangtua memperlihatkan kakinya. Terlihat oleh bayi pun mungkin tidak.
MENYERTAI KEHIDUPAN BAYI
Jadi pengajaran ini dimaksudkan untuk menyertai kehidupan bayi sehari-hari, khususnya
dalam memandang benda-benda, serta merangsangnya menghubungkan satu sama lain. Bayi
yang sudah sering melihat payudara ibunya, maka dengan peragaan dua bola dan tiga
kotak, masing-masing segera terbayang olehnya akan persamaan atau perbedaan intuisinya.
Sebaliknya bila tidak, bayangan itu memang akan muncul juga. Tetapi tidak akan secepat
itu.
Persis dengan dua WNI yang ber-IQ sama disuruh mengumpulkan sejumlah kata dengan
awalan huruf tertentu. Apakah sama cepat bila salah satunya menggunakan kamus ? Tidak
toh !
Ingat ! Kemampuan menyerap pengajaran matematika pada siswa kelas I SD tidak hanya
tergantung tingkat kecerdasan, juga pengalaman era pra sekolah berupa frekwensi
pengamatan objek-objek melalui peragaan seperti contoh di atas di samping langsung
terhadap objek-objek sekitarnya.
Tidak heranlah bila banyak ilmuwan berkata bahwa banyaknya memori semacam itu erpatri
pada bayi akan mempengaruhi daya : kreatif, kritis, atau aktifnya kelak. Terlebih otak
saat itu sangat ampuh untuk merekam.
Sesungguhnya masih bayi tidak tepat dijadikan alasan untuk menangguhkannya. Mendingan
alasan takut salah. Tetapi terakhir ini perlu ditindaklanjuti dengan mencari
metodenya. Bila diam saja itu namanya nrimo !
BERAKOMODASI DENGAN FISIK/MENTAL BAYI
Hanya sebagai konsekwensi fisik/mental bayi masih rawan, caranya harus serba telaten.
Dengan kata lain, sesuai dengan karakteristik khasnya. Bagaimana memanjakan dan
mencermati dalam memandikan, membobokan, dan menyusui demikian juga hendaknya dengan
pengajaran matematika.
Jangan coba-coba berpedoman pada sistim untuk anak usia sekolah. Metode TK pun belum
saatnya dipakai. Pokoknya sesuaikan saja dengan dunianya pada usia tersebut.
Waktunya harus tepat, ketika badannya sedang bugar dan wajahnya sedang ceria.
Syukur-syukur kamar pun tenang dan adem.
Jangan sampai alat peragaannya menimpa badan, apalagi mukanya, karena dikhawatirkan
menimbulkan trauma, yang gilirannya bersikap kapok. Taroklah terjadi juga.
Pertimbangkanlah mencari alternatif sepadan. Misalkan warnanya diganti.
Bila bayi tiba-tiba rewel segera hentikan. Ikuti dulu kemauannya. Apakah mau
digendong, tidur, atau menyusu ? Bisa juga karena popoknya kurang memuaskan atau
terkena kencing.
Pokoknya kita harus mempunyai kira-kira, kapan si bayi dalam kondisi prima dan
gembira. Untuk itu pribadi khasnya harus dipahami pada berbagai suasana.
MEMPERDENGARKAN ANGKA
Sebutan angka, satu, dua, dan seterusnya, cukup diperdengarkan secara berurutan,
pelan, dan bernada. Tanpa itu akan memberi kesan heboh, kaku, dan marah, yang bisa
membuatnya terkejut dan menangis, sehingga tidak termakan sedikit pun.
Mengingat pendengaran bayi sudah berfungsi ketika masih dalam rahim, berarti itu bisa
dilakukan sejak lahir.
Memang mulanya tidak akan mengerti juga. Tetapi karena sering didengar, akan irama
verbal akan terekam juga. Berarti kelak semakin mudahlah bayi mengucapkannya ketika
sudah bisa berbicara.
Tinggal nanti mengaplikasikannya ke sejumlah benda yang terkait, sehingga ia pun akan
mengerti, apa yang dimaksud dengan masing-masing. Proses pengajaran ini bisa dilakukan
setelah usianya setahun.
Semua itu akan memberikan kredit point terhadap wawasan intelektual. Substansinya
tidak bisa dianggap kecil. Demikian juga terhadap kemampuannya bergulat seputar
matematika di bangku sekolah.
Sering kita lihat beberapa mainan/makanan kesukaan bayi berusia dua tahun diambil
saudaranya secara diam-diam. Reaksinya beragam, saat itu juga, beberapa detik
kemudian, atau tidak sama sekali. Ini mengindikasikan daya hitungnya yang berlainan,
terlepas pelit-sosial, takut-berani, dan cuek-pedulinya.
Celakanya bila sampai dilakukan orang luar, sementara harganya mahal dan nilainya
tinggi.
Jadi sesungguhnya dengan pendidikan sejak lahir itu akan memperbesar daya kritis di
kemudian hari, khususnya sikap tanggap terhadap perubahan hak miliknya.
MILYARAN NEURON BAYI
Sejak lahir otak manusia yang terdiri dari milyaran neuron itu sudah siap dianyam
menjadi jalinan akal melalui masukan berbagai fenomena yang datang dari kehidupannya
sehari-hari. Jadi tiada alasan untuk memisahkan bayi dengan matematika sampai usia
sekolah, mengingat keduanya sudah berintegrasi otomatis sejak dini.
Walaupun sifatnya autodidak, berdasarkan pengideraan sehari-hari, namun dasar-dasar
pengajaran matematika sudah diperolehnya, yakni yang berlangsung secara alamiah.
Warna iramanya perlu dikenali sebagai referensi. Kemudian dikembangkan dengan
memperkenalkan materi pengajaran yang kira-kira akan membuat si bayi merasakan adanya
sambungan memori.
Taroklah bayi sudah sering melihat benda berjumlah satu, dua, dan tiga. Bukan berarti
materi selanjutnya dengan lambang bilangan empat, karena akan bengong, tetapi dengan
memperlihatkan benda yang jumlahnya empat, agar perbendaharaan memorinya semakin
banyak.
Tanpa memperhitungkan irama, itu ibarat seorang guru TK yang menyanyikan sejumlah
lagu, tetapi masing-masing hanya pada bait pertama, dengan alasan, bisa dilanjutkan di
rumah.
Nah ... bagaimana pun setiap muridnya akan merasa kurang sreg atau belum lengkap.
Perasaan kecewa seperti inilah membawa mereka malas mendengarkan, apalagi mengikutinya.
PENUTUP
Akhirnya berpulang pada antusias mereka yang berkompeten untuk merintis sampai
mengwujudkannya sebagai budaya pendidikan segmen matematika di kalangan bayi baru
lahir. Maka seyogyanya dipikirkan sejak dini.