Citarum, Kini Tercemar Sejak dari Mata Airnya

APA yang terlintas dalam benak masyarakat Bandung saat menyebut Sungai
Citarum? Pasti tak jauh dari kata banjir, pencemaran, kematian ribuan
ikan di jaring terapung, potret kekumuhan, ataupun sumber penerangan
di seluruh wilayah Pulau Jawa hingga Bali. Kemudian, ingatan orang
pada Citarum juga hampir dipastikan akan terpaut pada daerah Majalaya,
Dayeuhkolot, Saguling, Cirata, hingga Jatiluhur.
SITU Cisanti yang terletak di Desa Tarumajaya Kec. Kertasari Kab.
Bandung merupakan sumber mata air Sungai Citarum yang menghidupi
jutaan orang di daerah hilir. Terdapat tujuh mata air yang bersatu di
situ buatan ini yaitu Pangsiraman, Cikahuripan, Cikawedukan,
Koleberes, Cihaniwung, Cisandane, dan Cisanti.*DENI YUDIAWAN/"PR"

Lalu, jika ada orang yang menyinggung tentang Desa Tarumajaya Kec.
Kertasari Kab. Bandung, hampir tak banyak yang tahu bahwa Citarum
justru berawal dari desa ini. Tujuh mata air di sekitar hutan milik PT
Perhutani ini mengalir sepanjang musim dan menjadi sumber kehidupan
bagi jutaan orang yang berada di bagian hilir.

Semula, mata air Citarum yang berada di lereng Gunung Wayang, hanya
berupa aliran selebar satu meter lebih, dengan daerah rawa berumput
sebelum menuju hilir. Namun, sejak 2001, pemandangan tersebut berubah
menjadi sebuah situ (danau) yang indah seluas 6 hektare, lengkap
dengan keran pengatur air. Tepat di bawah pintu air utama bercat biru,
tertulis "Situ Cisanti".

"Dinamian Cisanti, lantaran saluyu sareng salah sahiji cinyusu nu
paling ageung di dieu (Diberi nama Cisanti karena sesuai dengan salah
seorang mata air terbesar di sini)," ujar Aceng Sukma, lelaki
kelahiran 1927 yang menjadi salah satu juru kunci makam leluhur di
mata air Citarum.

Aceng memerinci ketujuh mata air itu, yakni Pangsiraman, Cikahuripan,
Cikawedukan, Koleberes, Cihaniwung, Cisandane, dan Cisanti.

Khusus pada mata air Pangsiraman, dinamakan demikian karena tempat itu
sering dijadikan tempat siram (mandi) dan dipercaya dapat memberikan
berkah kepada orang yang melakukannya. Sebuah pusara leluhur bernama
Eyang Jaga Lawang Pamuka Lawang, juga terbaring di tempat itu dan
sering dijadikan sebagai tujuan ziarah. Mata air Pangsiraman ini
sengaja ditutupi oleh anyaman bambu, melindungi para peziarah yang
tengah siram hingga terlihat berbeda dengan mata air lainnya.

Faktor mitos dan kepercayaan masyarakat setempat, sangat melekat di
sekitar mata air Citarum. Terlepas dari anggapan tersebut, dalam
pandangan kelestarian alam justru sangat berperan penting dalam
perlindungan kawasan itu. Setidaknya, orang akan berpikir dua kali
saat akan mengotori kawasan mata air. Misalnya, untuk buang air atau
sekadar membuang sampah, karena tidak ingin ada mamala (bahaya) datang
menimpa dirinya kelak.

Perubahan kebijakan dan gonjang-ganjing politik saat runtuhnya Orde
Baru, telah melemahkan faktor pengawasan pada hampir semua hal,
termasuk penyerobotan kawasan lindung. Banyaknya hutan gundul
perlahan-lahan telah memengaruhi debit air yang keluar dari mata air
Citarum.

"Aki teh sok keueung, sieun, kumaha lamun gunung gundul. Cai mah ngan
ukur paneumbleuhan, padahal masalahna tina leuweung (Aki) suka
khawatir, takut, bagaimana kalau gunung gundul. Air hanya sebagai
kambing hitam, padahal masalahnya berakar dari hutan)," kata Aceng,
setengah menarik napas panjang.

Kekhawatiran Aceng tersebut ditunjukkan dengan tingginya permukaan
air. Saat musim kemarau tiba, saat ini permukaan air akan menurun
sekira 20 sentimeter dibandingkan kemarau tahun-tahun lalu.

**

DESA Tarumajaya, terletak sekira 40 km sebelah tenggara Kota Bandung,
dengan ketinggian sekira 1.500 meter di atas permukaan laut. Jalan
aspal yang menuju ke desa tersebut, telah menghubungkan dengan pusat
keramaian di Ciparay, Majalaya, dan Pangalengan. Produk agrikultur
berkembang cukup baik di daerah ini, karena aksesibilitas yang cukup
baik didukung dengan temperatur udara dan cuaca yang memungkinkan.
Selain sayuran, desa seluas 2.743 hektare ini juga terkenal dengan
produksi susunya.

Kemiskinan sangat lekat dengan desa itu sejak lama. Meski sebagian
besar penduduknya adalah petani, namun tercatat sekira 29% saja petani
yang memiliki lahan.

Rendahnya kepemilikan lahan, membuat masyarakat Tarumajaya
mengembangkan sumber lain untuk menyambung hidupnya. Memelihara sapi
perah adalah salah satunya. Pengembangan sapi perah itu kemudian
berkembang setelah ada program sapi Banpres (Bantuan Presiden) di
bawah naungan manajemen Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS).

Program pengentasan kemiskinan itu ternyata tak sejalan dengan
kelestarian lingkungan di sekitar mata air Citarum. Beberapa peternak
sapi di desa itu kadang membuang kotorannya ke aliran air sungai yang
menuju hilir. Akibatnya, berdasarkan hasil penelitian dari Pusat
Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Padjadjaran
(PPSDAL Unpad), bakteri E-coli yang berasal dari kotoran sapi itu
dapat ditemukan hanya beberapa ratus meter dari sumber mata air
Citarum tersebut. Bakteri E-coli adalah salah satu penyumbang terbesar
merebaknya penyakit diare.

Pengembangan usaha pertanian di sekitar Tarumajaya juga tidak lepas
dari penggunaan pestisida. Akibatnya, aliran Citarum tercemar
pestisida meski baru beberapa ratus meter keluar dari mata airnya.

Melihat itu, sebuah program hendaknya dilakukan menyeluruh, agar
selesai yang satu timbul masalah baru. seperti penemaran Citarum.***





http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke