Kemampuan Membayar Utang

Ivan A Hadar

"There is a real need for significant debt reduction or restructuring
not only for the least developed countries but also for middle-income
developing countries" (Susilo Bambang Yudhoyono, At the Meeting on
Financing for Development New York, 14/9/2005).

Beberapa waktu lalu, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia
Andrew Steer mengatakan, Indonesia tidak akan mendapat pemotongan
utang luar negeri karena negeri ini dianggap mampu membayar utang luar
negerinya. Menurut dia, pembayaran utang tidak akan menghambat
Indonesia mencapai tujuan pembangunan mileniumnya (Kompas,
24/10/2005). Benarkah?

Secara tidak langsung, Pemerintah Indonesia membantah pernyataan itu.
Sri Mulyani, misalnya, mengatakan, "Salah satu kesulitan pemerintah
mencapai tujuan pembangunan nasional, termasuk pembangunan milenium,
adalah utang luar negeri. Atas dasar itu, Indonesia akan terus
menyuarakan pentingnya penghapusan utang bersama negara berkembang
lainnya" (Koran Tempo, 24/10/2006).

Masalah utang baru

Baru-baru ini, bekerja sama dengan Konferensi Perdagangan dan
Pembangunan PBB (UNCTAD), Indonesia menjadi tuan rumah "Regional
Workshop on Debt Sustainability and Development Strategy". Perwakilan
dari 17 negara debitor di Asia mencoba merumuskan variabel baru yang
dapat digunakan untuk menghitung kemampuan negara berkembang dalam
membayar utang kepada para kreditor (Kompas, 21/2/2006).

Negara-negara itu berharap kemampuan pembayaran pinjaman tidak hanya
diukur dari rasio utang terhadap produk domestik bruto seperti
diterapkan para kreditor, tetapi mempertimbangkan variabel pembangunan
seperti investasi bidang sosial, terutama biaya pemberantasan kemiskinan.

Namun, kini berbagai pernyataan tentang pentingnya penghapusan utang
dan rekomendasi terkait debt sustainability masih sebatas retorika.
Konon, untuk menutupi kebutuhan pembiayaan APBN 2006, pemerintah dalam
pertemuan CGI (Consultative Group on Indonesia), yang direncanakan di
Jakarta dalam waktu dekat, memastikan mengajukan pinjaman sebesar 3,55
miliar dollar AS (sekitar Rp 33 triliun). Termasuk menerima tawaran 1
miliar dollar AS dengan bunga lebih tinggi dari Jepang. Prinsip "gali
lubang, tutup lubang" masih berlaku.

Dengan demikian, jumlah utang luar negeri kita tahun ini (akan)
kembali sama atau lebih besar ketimbang sebelum pembayaran cicilan
stok dan bunga utang 2005. Logika sederhana, jika ingin meminta
penghapusan utang, Indonesia harus menghindari membuat utang baru.

Pemerintah "berjanji" konsisten menerapkan kebijakan hanya akan
membuat utang baru jika diperlukan, dengan jangka waktu panjang dan
bunga utang lunak, serta terus menurunkan porsi kredit ekspor. Ada
pula rencana menurunkan rasio utang terhadap produk domestik bruto
yang kini berjumlah sekitar 50 persen menjadi 30 persen dalam beberapa
tahun ke depan (Kompas, 11/1/2006).

Namun, banyak yang meragukan keberhasilan ambisi itu. Konon, Indonesia
juga satu-satunya negara yang tidak memiliki Debt Management Office.
Lebih dari itu, ambisi yang dikemukakan pemerintah masih sebatas
pernyataan yang belum memiliki landasan hukum.

Sebuah ironi, negeri yang tergolong "pengutang berat" (SILIC) ini
proses Rancangan Undang- Undang (RUU) Pinjaman dan Hibah Luar Negeri,
RUU Pengelolaan Utang, dan RUU Pembatasan Utang berjalan lambat.

Ironi lain, terungkap dalam konferensi pers terbentuknya Kaukus
Anggota Parlemen tentang Utang (KAPU), ialah meski "pemerintah telah
membayar pokok dan bunga utang luar negeri Rp 173 triliun lebih tinggi
dari jumlah utang baru yang diperoleh", jumlah utang luar negeri dari
tahun ke tahun terus bertambah (Kompas, 6/2/2006).

Tak perlu malu

Secara teoretis, Daseking dan Kozack (2004) memprediksi, negara
seperti Indonesia akan gagal mencapai target pertama MDGs (Millenium
Development Goals) berupa pengurangan kemiskinan menjadi separuh pada
2015, kecuali mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi, berhasil
memperkuat institusi, melaksanakan kebijakan prorakyat kecil, serta
tidak terperangkap utang.

Kini, pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri pemerintah
memakan porsi 31 persen hasil pajak. Jumlah yang seharusnya digunakan
untuk pembangunan prorakyat miskin, membiayai pembangunan
infrastruktur dan investasi sosial lainnya. Tahun 2000, sekitar 15,4
persen penerimaan dalam negeri pemerintah untuk membayar pokok dan
bunga utang luar negeri setelah dikurangi utang yang dijadwal ulang.

Tahun 2001-2005 rasio ini mengalami kenaikan 22 persen. Perlu diingat,
sejak 2003 utang luar negeri yang dijadwal ulang melalui Paris Club 1
(September 1998) dan Paris Club 2 (April 2000) banyak yang habis masa
jeda bayarnya (grace period).

Tahun 2004, alokasi pemerintah untuk membayar pokok dan bunga utang
luar negeri menjadi Rp 69,6 triliun atau sekitar 32 persen dari total
penerimaan PPh dan PPN tahun itu. Artinya, nyaris sepertiga PPh dan
PPN yang dibebankan kepada masyarakat dipakai untuk membayar utang
luar negeri pemerintah.

Tambahan utang baru 3,4 miliar dollar AS pada awal 2005 kian
melambungkan alokasi cicilan bunga dan pokok utang. Hal yang kini
berlanjut dengan keputusan mengambil utang baru sebesar 3,55 miliar
dollar AS pada 2006.

Dampaknya terlihat dalam beberapa kenyataan. Data BPS terbaru
menunjukkan, lebih dari sepertiga populasi anak-anak di bawah lima
tahun mengalami kekurangan gizi.

Sementara itu, meski sudah naik dalam APBN terakhir, anggaran di
bidang pendidikan masih kecil. Sebagai perbandingan, proporsi anggaran
pendidikan Indonesia hanya 8,7 persen dari total anggaran pembangunan
saat Thailand menghabiskan 30 persen, Myanmar 18 persen, dan Banglades
16 persen.

Dalam hal itu, kita tak bosan mengingatkan peringatan Unicef,
Indonesia bakal kehilangan generasi akibat kekurangan gizi, buruknya
kesehatan, dan rendahnya pendidikan.

Kembali ke kutipan pidato SBY, pemerintah mengakui ketidakmampuan
membayar dan karena itu membutuhkan pemotongan utang demi pencapaian
tujuan pembangunan milenium.

Kita tak perlu malu, apalagi "sok gengsi". Ini adalah bentuk kejujuran
yang perlu diapresiasi karena memiliki tujuan mulia, yaitu pencapaian
pengurangan jumlah orang miskin secara signifikan.

Ivan A Hadar Direktur Eksekutif Indonesian IDE (Institute for
Democracy Education)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/22/opini/2504216.htm





http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke