Air Jadi Korban Keserakahan
Sungai Cikapundung pun Jadi Tumpahan Sampah Rumah Tangga dan Industri

    Pengantar:

    HARI ini merupakan Hari Air Sedunia, yang diperingati sejak 1993,
setiap 22 Maret. UNESCO, badan PBB yang bergerak di bidang pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan menetapkan tema peringatan Hari Air
Sedunia tahun ini adalah "Air dan Budaya". Menyambut hari tersebut,
wartawan "PR" Deni Yudiawan menelusuri kondisi air di Cekungan Bandung
dari faktor budaya, serta mengamati hulu Citarum yang kemudian
disajikan dalam dua tulisan di halaman ini. Semoga bermanfaat.***

"Karena perannya yang penting dalam kehidupan, air memiliki dimensi
budaya yang sangat kuat. Tanpa pemahaman dan pertimbangan aspek
budaya, masalah air tidak akan ada solusi yang dapat dipecahkan"  
TINGGINYA tingkat sedimentasi di Sungai Cikapundung mengharuskan salah
seorang penjaga keramba ikan emas mengeruk pasir dari bawah permukaan
keramba, seperti yang terlihat Jumat (17/3) pagi. Selain sedimentasi,
tingginya tingkat pencemaran juga telah membuat sejumlah petani ikan
keramba gulung tikar sejak lama. Saat ini hanya terdapat belasan
keramba ikan emas di Cikapundung seperti yang terlihat di sekitar Jln.
Pelesiran Cihampelas Bandung.*DENI YUDIAWAN/"PR"

KUTIPAN itu diambil dari sebuah pernyataan saat pertemuan tingkat
menteri, dalam sesi diversitas air dan budaya, Forum Air Sedunia, 22
Maret 2003. Air memang menjadi sebuah kebutuhan yang sangat vital bagi
kehidupan manusia, layaknya udara. Karena selalu bersinggungan dengan
manusia, maka faktor budaya tidak dapat dilepaskan dari masalah air ini.

Air telah mengubah wajah peradaban manusia dari zaman ke zaman.
Bahkan, sejak pertama kali manusia diciptakan. Tubuh manusia
sekalipun, sebanyak 80% nya adalah terdiri dari komponen air.
Beruntung, manusia tinggal di atas bumi--yang juga disebut sebagai
planet air--hingga tak akan terlalu kesulitan dalam melangsungkan
kehidupannya.

Air selalu dihubungkan dengan kehidupan. Air juga lekat dengan faktor
kesehatan, masa depan, pembangunan, hingga bencana. Namun demikian,
tak sedikit orang melupakan faktor budaya dalam masalah air. Padahal,
seperti dalam kutipan tadi, semua masalah tentang air tak akan ada
solusi yang dapat dipecahkan tanpa pertimbangan aspek budaya. Karena
hal itu pulalah, peringatan Hari Air Sedunia 2006 yang jatuh pada 22
Maret ini mengambil tema Air dan Budaya (Water and Culture).

Tak semata-mata tema tersebut diangkat oleh UNESCO, salah satu badan
PBB yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan. Direktur Jenderal UNESCO, Koichiro Matsuura, bahkan
mengakui bahwa masalah air tidak hanya dapat dipandang dari sisi ilmu
pengetahuan saja.

Menurut dia, keberadaan air dari sisi kultural telah menyentuh
berbagai aspek humanisme pada tiap komunitasnya dan membentuk sebuah
struktur, aturan, dan praktik penggunaan air tersendiri sesuai dengan
norma yang ada. Air sangat berperan penting dalam kehidupan sosial.
Mengatur air dalam pendekatan budaya sama pentingnya dengan pendekatan
teknis.

Cepatnya pertumbuhan penduduk menjadikan masalah pada
keberlangsungan siklus air. Meski air dikenal merupakan sebuah sumber
daya terbarukan, namun sejalan dengan perkembangan teknologi serta
berbagai dampak negatifnya, air menjadi sesuatu yang sangat sulit
didapat saat ini.

Berbagai konflik bahkan sering ditimbulkan akibat air. Terlebih lagi,
komersialisasi air bersih saat ini juga membawa sebuah masalah baru di
tengah sulitnya mendapatkan air di tengah perkotaan.

Mungkin, sekira dua juta jiwa penduduk Kota Bandung dapat merasakan
masalah kesulitan air ini. Humas PDAM Kota Bandung menyebut angka
139.896 pelanggan yang tercatat hingga Februari 2006 lalu dengan
aliran debit air sebesar 2.593,78 liter/detik. Namun demikian, masih
saja ada jeritan kekurangan air dari para pelanggan PDAM ini dalam
surat pembaca. Kekecewaan pelanggan lain kebanyakan hanya dilakukan
dengan menelan ludah karena merasa tak pernah ditanggapi.

"Tentu saja jeritan pelanggan ini terjadi karena air dari PDAM belum
sesuai dengan debit air kebutuhan pelanggan. Makanya kita melakukan
sistem bergilir saat mendistribusikan air, agar semua kebagian," tutur
salah seorang staf Humas PDAM.

Saking sulitnya mendapatkan air di Kota Bandung, sumur bor untuk
mengambil air tanah adalah salah satu alternatif yang telah umum
dijumpai. Mahal memang, tapi cukup berfungsi untuk melengkapi salah
satu kebutuhan hidup yang tak dapat ditinggalkan.

Kondisi itu, tentu berbeda dengan masa lalu, sebagaimana kenangan yang
masih melekat dalam benak Toto Suparta. Bagi warga Kebonbibit
Tamansari, Kota Bandung berusia 63 tahun ini, hampir sepanjang
hidupnya tinggal tepat berdampingan dengan Sungai Cikapundung. Ia
ingat betul, masa-masa kecilnya dihabiskan dengan bermain-main di
Sungai Cikapundung. Hampir seluruh warga Kebonbibit saat itu, mencuci
pakaian, mandi, hingga mengambil air minum di sungai tersebut.

Namun sekarang, jangan harap peristiwa itu dapat kembali berulang.
Jangankan berenang atau mencuci baju, untuk mendekat pun kini harus
menutup hidung karena bau sampah dan limbah industri.

Sebagian besar masyarakat di sekitar pinggiran Sungai Cikapundung saat
ini harus membeli air bersih untuk minum. Untuk kebutuhan lainnya,
banyak sumur bor yang sengaja "ditanam" di pinggir sungai. Hasilnya,
air cukup jernih dapat keluar meski disertai dengan modal yang tidak
sedikit.

Air ledeng dimasak

"Dahulu, sumber air banyak dan berlimpah. Dalam perkembangannya,
sekarang air sangat terbatas dan harus membeli. Bahkan, dengan
mengandalkan air ledeng pun harus dimasak dahulu sebelum diminum,"
tutur Dr. Johan Iskandar, pakar ekologi manusia dari Pusat Penelitian
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Padjadjaran (PPSDAL Unpad).

Dia mengatakan, kendala air sekarang ini cukup banyak, padahal
kebutuhan semakin mendesak dan berpengaruh pada keberlanjutan manusia.
"Kehidupan saja akan terancam, apalagi kebudayaannya!" katanya.

Ia percaya, kehidupan manusia akan memengaruhi dan dipengaruhi oleh
ekosistem yang ada. Kebudayaan masyarakat Kota Bandung, saat ini telah
jauh berubah seiring dengan berubahnya kualitas air sungainya. Sebuah
ekosistem yang berubah akan memengaruhi sistem sosialnya.

Kondisi di Bandung saat ini, menurut Johan, dua-duanya telah berubah,
ya ekosistem maupun kehidupan manusianya. Ekosistem telah berubah
dengan banyaknya pencemaran rumah tangga dan industri. Manusianya juga
berubah dan tidak bisa memanfaatkan sungai tersebut.

Pendapat Johan dibenarkan Dosen Luar Biasa FISIP Unpad yang juga
peneliti pengembangan wilayah, Citra Eco Center (CEC) Bandung, Drs.
Rusdi, M.Si. Menurut Rusdi, meski Kota Bandung berada di dataran
tinggi, kebudayaan pertama di Bandung tetap berawal pada daerah dekat
air. Sejumlah permukiman pun pasti berdekatan dengan air dari dulu
hingga kini.

Banyaknya sawah, balong (kolam), maupun usaha-usaha yang menggunakan
air di sekitar Bandung, merupakan salah satu bukti bahwa air telah
membentuk sebuah budaya tersendiri. Manusia mengadakan sebuah
interaksi dengan lingkungannya. Namun, seiring dengan banyaknya alih
fungsi areal persawahan dan berubahnya lingkungan maka berubah pula
kebudayaannya.

 

Budaya buang sampah

Sebuah budaya yang tidak pernah berubah, bahkan makin menggila saat
ini, yaitu budaya masyarakat membuang sampah ke sungai. Peneliti
ekologi perairan Citra Eco Center (CEC) Bandung, Drs. Hilmi Salim,
M.Si. mengemukakan, hasil penelitian mereka tentang tercemarnya air di
sungai Kota Bandung. Terutama Sungai Cikapundung, hampir 80% nya
adalah limbah domestik. Sementara, sisanya adalah industri yang
menyumbang bahan-bahan berbahaya seperti logam berat, berbahaya, dan
beracun ke aliran sungai.

Dari beberapa sungai yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Citarum, Sungai Cikapundung menduduki peringat pertama yang memiliki
tingkat pencemaran paling tinggi. Kemudian disusul oleh Sungai
Cirasea, Cisangkuy, Citarik, Cikeruh, dan Ciwidey. Parameter yang
digunakan adalah pengukuran Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical
Oxygen Demand (COD), dan parameter unsur hara seperti senyawa nitrogen
dan fosfor.

Budaya membuang sampah ke sungai, menurut Hilmi, hanya dapat diubah
dengan mengubah perilaku masyarakat daerah itu sendiri dan tak dapat
dilakukan dengan infiltrasi dari luar.

"Pencemaran sekarang makin besar, bahkan makin kurang ajar!
Perkembangan sejak 1997 sangat dramatik, baik dalam perubahan tata
guna lahan maupun dalam budaya membuang sampah ke sungai. Sangat tak
terkendali," katanya.

Keadaan itu kemudian disambung dengan kasus TPA Leuwigajah hingga
penolakan TPA makin bermunculan dan sistem pembuangan sampah tak
berjalan. Padahal, sampah terus diproduksi sekira 2-3 liter/orang/hari.

Sekarang, mana yang lebih berbahaya, sampah domestik atau industri?
Hilmi menjawab, dua-duanya. Dari segi kuantitas sampah di sungai,
masyarakat tetap paling bertanggung jawab dalam pencemaran. Namun,
dari segi intensitas limbah, industri tetap sangat berpengaruh secara
jangka panjang, karena kandungan logam berat bersifat mutagenik
(menyebabkan mutasi pada jaringan tubuh) serta karsinogenik
(menyebabkan kanker).

Dampak pencemaran sungai, tentu saja dirasakan kembali oleh
masyarakat. Seorang warga Jln. Pelesiran Cihampelas, Mamat (59),
biasanya dapat memanen ikan dalam karamba yang disimpannya di Sungai
Cikapundung secara utuh. Akan tetapi, saat ini paling banter ia dapat
memanen setengahnya dari ikan yang ditanamnya.

Keadaan itu, membuat sejumlah petani ikan dalam karamba di Sungai
Cikapundung terpaksa gulung tikar sejak dulu dan kini hanya menyisakan
belasan orang saja.

"Ah, ini mah hanya hobi saja daripada nggak ada kerjaan," ujar Mamat,
sembari terus memberi makan ikannya dengan pakan pelet. Meskipun
demikian, Mamat kerap memanen ikan emasnya hingga seberat 2 kg/ekor.

Selain pencemaran dan budaya membuang sampah ke sungai, air juga dapat
menyebabkan pertikaian. Tak sedikit kasus besar di dunia terjadi
karena pertentangan masalah air, seperti banyak terjadi di Afrika.

Berubahnya budaya masyarakat dulu yang sarat akan toleransi dan
memiliki organisasi sosial yang kuat, membuat air dapat dibagi mulai
dari hulu hingga ke hilir. Namun, keegoisan dan keserakahan manusia
menjadi biang kerok dalam permasalahan air di tengah masyarakat.***






http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Baraya_Sunda/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke