SKB Setengah Hati
Rabu, 11 Juni 2008 | 01:33 WIB

Rumadi

Surat keputusan bersama dua menteri dan Jaksa Agung tentang Ahmadiyah
akhirnya keluar, Senin (9/6/2008).

Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri menandatangani
Surat Keputusan Bersama (SKB) No 3/2008, No Kep-033/A/JA/6/2008, dan
No 199 Tahun 2008 tanggal 9 Juni 2008 tentang peringatan dan perintah
kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) dan masyarakat.

SKB itu mengandung enam hal. Pertama, memberi peringatan dan
memerintahkan semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan
suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965
tentang pencegahan penodaan agama.

Kedua, memberi peringatan dan memerintahkan semua penganut dan
pengurus JAI agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan
penafsiran agama Islam umumnya, seperti pengakuan adanya nabi setelah
Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau
pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan itu dapat dikenai
sanksi sesuai dengan peraturan perundangan.

Keempat, memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara
menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan
tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.

Kelima, memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak
mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai
perundangan yang berlaku.

Keenam, memerintahkan aparat pemerintah dan pemerintah daerah agar
melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan
pengawasan pelaksanaan SKB ini.

Dari enam poin itu, tidak ada kata pembekuan dan pembubaran Ahmadiyah.
JAI hanya diminta untuk menghentikan aktivitasnya. Aktivitas apa yang
dimaksud juga tidak jelas, apakah aktivitas komunal atau aktivitas
individu. Apakah warga JAI tidak boleh shalat di masjid yang dibangun,
juga tidak jelas. Namun, jika mencermati poin kedua, tidak semua
kegiatan JAI diminta dihentikan, tetapi hanya yang terkait penafsiran
yang dianggap tidak sesuai Islam pada umumnya. Karena itu, warga
Ahmadiyah sebenarnya tetap bisa ibadah seperti biasa.

Secara substansial, SKB ini multitafsir dan rentan disalahpahami.
Namun, dalam SKB itu, pemerintah masih mengakui eksistensi Ahmadiyah
sehingga perlu dilindungi dari kemungkinan tindak kekerasan, seperti
tercantum dalam butir keempat.

SKB ini tentu tidak memuaskan semua pihak. Kelompok anti- Ahmadiyah
merasa, SKB ini banci karena hanya memberi peringatan, tidak
membekukan, apalagi membubarkan. Karena itu, kelompok ini menyatakan
akan terus menuntut pembubaran Ahmadiyah. Sementara kelompok yang
peduli eksistensi Ahmadiyah cenderung menerima meski dengan berat
hati. Mengapa? Karena SKB itu merampas hak warga negara untuk
menjalankan agama dan keyakinan.

Saya memahami, SKB ini merupakan jalan aman maksimal yang bisa diambil
pemerintah di antara tuntutan membubarkan dan mempertahankan Ahmadiyah
meski dengan risiko dikatakan SKB setengah hati.

Negara telah kalah

Ada hal-hal penting terkait munculnya SKB. Pertama, SKB merupakan buah
desakan massa yang menuntut pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Bahkan,
SKB ini dikeluarkan persis pada hari saat ribuan pengunjuk rasa
anti-Ahmadiyah berdemonstrasi di depan istana.

SKB juga tak dapat dilepaskan dari upaya pemerintah—dalam hal ini
kepolisian—untuk menangkap Munarman, tersangka tragedi Monas.
Sebelumnya Munarman menyatakan akan menyerahkan diri jika SKB
Ahmadiyah dikeluarkan. Karena itu, SKB ini juga bisa dimaknai sebagai
jawaban pemerintah atas tuntutan Munarman. Lebih jauh, SKB bisa
dilihat sebagai barter. SKB dibarter penyerahan diri Munarman. Dan
benar, beberapa jam setelah SKB dikeluarkan, Munarman menyerahkan diri
ke Polda Metro Jaya (9/6/2008). Impas!

Kedua, cara pandang itu bisa mengantar kita pada kesimpulan, negara
telah kalah melawan Munarman. Isi SKB menjadi tidak terlalu penting
dilihat. Jika dalam konferensi pers Presiden Yudhoyono mengutuk
tragedi Monas dan mengatakan negara tidak boleh kalah, dalam konteks
ini terbukti negara telah kalah. Keluarnya SKB dan penyerahan diri
Munarman tidak berdiri sendiri-sendiri. Pemerintah telah menjawab
permintaan Munarman. Jika saja pemerintah tidak tergopoh-gopoh
mengeluarkan SKB atau mengeluarkan SKB setelah Munarman tertangkap,
mungkin pemerintah masih punya wibawa dan tidak bisa dikatakan kalah.

Ketiga, kenyataan ini amat memprihatinkan. Negara amat ringkih
menghadapi kekuatan massa dan tidak berdaya menghadapi Munarman.
Kondisi ini membuka mata warga negara, pemerintah ini amat lemah dan
mudah disandera. Sungguh amat mengkhawatirkan.

Terlepas dari situasi itu, ada hal-hal substansial yang bisa dilihat.
Secara eksplisit, SKB ini mengakui perdebatan tentang Ahmadiyah adalah
soal tafsir agama, seperti tercantum pada poin dua. Di sana ada kata
"menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama
Islam pada umumnya". Sejauh menyangkut tafsir agama, sebenarnya
pemerintah tidak punya urusan untuk melakukan pemihakan. Tafsir agama
adalah bagian dari hak beragama dan berkeyakinan yang tidak bisa
dikriminalisasi. Karena itu, dengan SKB, pemerintah terjebak pemihakan
soal tafsir agama.

Langgar hak sipil

Sampai di sini penulis perlu mengemukakan, UU No 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Dengan meratifikasi kovenan ini, pemerintah ingin menunjukkan
keseriusannya dalam menjamin hak sipil dan politik warganya.

Kovenan menetapkan hak tiap orang atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama serta perlindungan atas hak-hak itu (Pasal
18); hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan
hak atas kebebasan menyatakan pendapat (Pasal 19); pelarangan atas
propaganda perang dan tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar
kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan
tindak diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan (Pasal 20); pengakuan
hak untuk berkumpul yang bersifat damai (Pasal 21); hak tiap orang
atas kebebasan berserikat (Pasal 22). Tampaknya pemerintah tidak
terlalu mempertimbangkan hal ini, lebih mengikuti selera massa
anti-Ahmadiyah.

Meski demikian, ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Pertama, meski
tidak memuaskan, kita menghargai upaya pemerintah mengeluarkan SKB
yang tidak membekukan dan membubarkan Ahmadiyah. Mereka yang belum
puas sebaiknya menempuh jalur hukum dan menjauhkan diri dari tindak
kekerasan. Saya menyadari, ibarat obat, SKB ini hanya menjadi obat
penenang.

Kedua, SKB tidak boleh mengalihkan isu tragedi Monas. Pelaku kekerasan
di Monas harus tetap ditindak tegas. Kepolisian dan pengadilan
semestinya tidak boleh tunduk tekanan massa yang menginginkan
tersangka tragedi Monas dibebaskan. Pemerintah juga perlu didesak
untuk mengkaji pembubaran organisasi yang gemar melakukan kekerasan,
menebar teror dan ketakutan.

Ketiga, dengan SKB ini, pemerintah harus menjamin tidak ada lagi
kekerasan terhadap warga Ahmadiyah.

Rumadi Peneliti The Wahid Institute; Pengajar UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta

Reply via email to