Saya Bangga Pakai Batik
Rabu, 11 Juni 2008 | 00:49 WIB

Ninuk Mardiana Pambudy

Sejak dua tahun terakhir, batik sebagai busana kembali semarak
dikenakan dalam berbagai kesempatan, setidaknya di Jakarta. Menonton
ke bioskop, ke kantor, arisan, nongkrong di kafe dan lounge, hingga
mengantar anak ke sekolah, batik menjadi "seragam" baru.

Desain bajunya lucu-lucu dan in untuk sekarang. Juga bahannya katun,
enak dipakai. Model bajunya yang macam-macam itu cocok banget untuk
berbagai ukuran badan, termasuk yang besar," kata Katharine Grace (35).

Pengacara yang berkantor di gedung Bursa Efek Indonesia itu memakai
baju batik ke kantor sejak pertengahan 2007, terutama pada Jumat saat
biasanya para profesional berpakaian rapi, tetapi tidak kaku.

"Ketika ada pertemuan Asia Pasifik, Mei lalu di Ho Chi Minh City di
Vietnam, saya pakai baju batik. Saya bangga waktu orang-orang tanya
saya pakai baju apa. Jadi, bukannya orang tidak mau pakai batik,
tetapi bagaimana batik didesain sesuai mode sekarang," kata ibu dua
putri itu lagi.

Kembali populernya batik saat ini agak di luar dugaan. Namun, itulah
mode. Selalu ada hal tak terduga yang membuat sebuah tawaran mode
segera diterima luas.

Desain sendiri menentukan, baik untuk pakaian maupun ragam hias
batiknya. Ketika perancang busana Edward Hutabarat membuat rangkaian
busana dari batik katun pada tahun 2006, dia menawarkan batik dalam
desain busana baru sesuai suasana zaman. Desain baju yang bervolume
kebetulan juga sedang populer kembali sehingga mengakomodasi apa yang
disebut Grace desain yang cocok untuk beragam bentuk tubuh.

Dari tangan para perancang, busana batik pun dengan cepat menyebar ke
pasar luas. Pada saat bersamaan, mood masyarakat memang sedang ingin
kembali dekat dengan sesuatu yang berasal dari warisan, sesuatu yang
sudah dikenal akrab.

Industri kreatif

Harga satu atasan batik bervariasi, dari yang berkisar Rp 100.000-an
hingga sekitar Rp 1 juta. Untuk yang berharga Rp 100.00-an atau
kurang, pembeli memang harus cermat karena bukan tidak mungkin bahan
yang digunakan kain print bermotif batik.

Para seniman batik dan kain, seperti Iwan Tirta dan Obin dari Bin
House, dan disepakati Departemen Perindustrian, menekankan, batik
adalah teknik merintang warna menggunakan malam/lilin untuk membentuk
ragam hias. Cara menoreh malam bermacam-macam, bisa memakai canting
atau cap, tetapi bisa juga memakai cara lain.

Satu hal lagi, batik sebagai teknik bukan khas Indonesia, tetapi di
Indonesia, terutama Jawa dan Madura, batik berkembang dan mengalami
pencanggihan yang tidak terjadi di negara lain. Batik, istilah yang
diterima secara internasional, berasal dari kosakata Indonesia dan
canting pun diciptakan di Jawa.

Empu batik Iwan Tirta menyebutkan, batik di Indonesia, terutama Jawa
dan Madura, menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, digunakan untuk
menandai kelahiran hingga kematian. Batik juga saling memengaruhi seni
lain, seperti tari, wayang kulit, dan wayang orang.

Di dunia, motif batik Indonesia berulang kali digunakan perancang dan
rumah mode dunia sebagai batik print, antara lain Chloe (motif mega
mendung), Paul Smith (motif pesisiran), dan Mei lalu Oscar de la Renta
untuk koleksi resor.

Batik terus bertahan, bahkan berkembang untuk dipakai sehari-hariĀ—juga
antara lain dalam produk interiorĀ—karena memiliki potensi pembangkitan
nilai ekonomi.

Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya menyebutkan, munculnya
berbagai kebimbangan tradisi versus modern (Barat) dalam perjalanan
estetika Indonesia. Batik tampaknya mampu mengatasi hal itu. Ragam
hiasnya yang tak terbatas selalu mampu mengikuti perubahan selera
masyarakat tanpa kehilangan keunikan.

Pemerintah, yang tidak mau ketinggalan dalam mengembangkan ekonomi
gelombang keempat yang berbasis ide kreatif, bulan ini meluncurkan
peta industri kreatif Indonesia hingga 2030. Mode dan kerajinan di
antara 14 industri kreatif yang didorong untuk ditingkatkan nilai
ekonominya, batik berada pada keduanya.

Tahun 2007, Departemen Perindustrian menyebut industri batik tulis,
cap, dan kombinasi keduanya bernilai Rp 2,3 triliun dengan nilai
ekspor per tahun 110 juta dollar AS dan dikerjakan 48.000 unit usaha
di sejumlah provinsi di Tanah Air. Jumlah industri sebenarnya dapat
lebih tinggi lagi mengingat industri ini banyak dikerjakan sebagai
industri rumah tangga.

Bergairah

Pasar yang bergairah juga menggairahkan kembali industri batik di
daerah. Beberapa provinsi yang tidak memiliki tradisi batik seperti
Jawa dan Madura, antara lain Aceh, Riau, Lampung, bahkan Papua, juga
tertarik mengembangkan batik. Batik yang lama tak terdengar kabarnya,
seperti dari Indramayu dan Gunung Kidul yang merupakan batik rakyat,
kini muncul lagi.

Melihat kegairahan para pemakai maupun industri batik, Prof Masakatsu
Tozu, Wakil Dekan Fakultas Ilmu Politik dan Ekonomi di Universitas
Kokushikan, Tokyo, yang datang ke Jakarta untuk pameran Adiwastra
Nusantara, April lalu, kepada Kompas mengatakan, batik dapat menjadi
salah satu perekat Indonesia melalui budaya. Alasannya, batik tidak
hanya dipakai dan diproduksi di Jawa, tetapi juga di berbagai tempat
di Nusantara.

Bukti konkret adalah meratanya reaksi kejengkelan masyarakat Indonesia
terhadap klaim negara tetangga sebagai pemilik batik. Kini para
perancang bersama perajin di berbagai daerah tengah mencari kain-kain
Nusantara lain yang dapat dipopulerkan seperti batik. Mungkin
dampaknya tidak akan segera menyentuh perajin dalam skala besar karena
memang batiklah yang secara industri paling siap melayani pasar.

Reply via email to