Ya, Indonesia memang pernah menoreh
sejarah hitam. bangsa ini adalah bangsa
muda. masih perlu pengkonsolidasian.
dalam proses konsolidasi dan pencarian
jati diri itu Tionghoa seringkali dijadikan
korban.

beberapa hari yang lalu, saya berbincang
dengan Pak Agung Sasongko dari fraksi PDIP.
beliau ini mantan PNI A-Su. dia bilang bahwa
konsensus nasional 17 Agustus 45 masih
blum selesai. NKRI blum bulat.

dan tionghoa masih tetap terancam.

semua faksi (terutama islam
radikal) masih menolak ideologi NKRI.
pertarungannya belum selesai.

di sela-sela kengerian terlahir sebagai
etnis Tionghoa tersebutlah peristiwa
PEMAKSAAN ganti nama sebagai simbol
loyalitas dan nasionalisme Indonesia.
mungkin 100 thn yang akan datang,
pemaknaan terhadap nasionalisme indonesia
yang seperti ini akan ditertawakan.

persoalan pemaksaan ganti nama tidak
hanya melibatkan emosi. tetapi bagi saya,
persoalan ini menyangkut kesulitan yang
sebenarnya tidak perlu. Yap Thiam Hien
menyebut paling tidak ada 13 dokumen yang
turut diubah akibat ganti nama ini.

blum lagi 'side effect' yang lebih menyebabkan
kerenggangan hubungan sosial antar etnis.
Tionghoa jadi merasa tersudutkan. ia
merasa tidak diterima oleh Indonesia.

saya sangat setuju dgn Sdr. Richard Wu
bahwa sejarah itu harus dengan berani
dibicarakan. bukan dengan motive buruk.
semata-mata hanya untuk menemukan format
yang benar bagi bangsa dan negara ini. jangan
sampai NKRI ini terus menerus terpuruk.

revitalisasi eksistensi Tionghoa saat ini
harap tidak direspon dengan euforia permanen.

NKRI belum stabil. Tionghoa jelas masih
rentan. selama NKRI belum sejahtera,
selama itu pula TIonghoa akan sengsara.

harap Tionghoa tidak melupakan hal
ini di tengah-tengah semaraknya
pesta Barongsai. 


Sub-Rosa II


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "richardwu9"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Pak Ping-Kiam,
>

>
> Terima kasih atas pencerahan anda. Ternyata benar dugaan saya
bahwa jenderal
> $$$ lah yang boleh dituding sebagai penanggung jawab umum (saya
belum lahir
> masa itu, hanya dengar dari celotehan kaum2x senja). Saya tidak
bermaksud
> untuk minta pertanggungjawabannya, tetapi sejarah harus tetap
berani untuk
> diceritakan secara jelas, walaupun itu memalukan. Rasa ingin tahu
saya
> tergugah, karena susuk saya sakit hati sampai sekarang, dia lahir
dengan
> nama Tionghoa (hokkian), ganti nama dengan tidak rela tentunya,
dan dia
> pengin sekali untuk bisa memahami budaya & bahasa Mandarin, tapi
apa daya,
> tidak cukup environtment yang mendukung.
>

>
> Menanggapi tentang pendidikan budaya Tionghoa di Indonesia, saya
sangat
> setuju dengan anda. Budaya & bahasa Mandarin yang sudah mati suri
33 tahun
> (kalau tidak salah hitung), harus kita cultivate mulai sekarang,
mungkin
> bisa dimulai dari lingkungan keluarga, apalagi sekarang iklim
keterbukaan
> sudah cukup baik (ini perasaan saya sewaktu balik ke Indo saat
Sincia 2
> tahun belakangan ini). Saya prihatin dengan para mata sipit yang
ngaku2x
> dirinya keturunan bangsa Han, tapi sama sekali tidak menjiwainya,
tidak mau
> belajar (minimal bahasanya). Kalo yang sudah fasih dalam
pembicaraan
> sehari-hari, tantangan berikutnya adalah mulai masuk ke pintu
gerbang
> sastra, ini sangat penting, karena disinilah baru terasa kemegahan
&
> kebesaran budaya Mandarin, ini tidak mudah, dibutuhkan effort &
time yang
> tidak sedikit. Walaupun sulit, tapi kita tetap saja harus maju
terus :
>

>
>
>

>
> Satu lagi, saya rasa untuk belajar tidak ada kata tua he he .
>
>
>
> ini ada kata2x bijak dari seorang bos TSMC (Taiwan Semiconductor
Company), 
>
>
>

>
> Best,
>

>
> Richard
>
> (bukannya mau menggurui, tapi ingin memperkenalkan beberapa
pribahasa)
>

>

>
> Suharto dapat mencapai puncak kekuasaannya, dibantu orang banyak
seperti A.H
> Nasution, Sarwo Eddie, M. Jusuf, Amir Machmud dll.  Tapi di
perjalanan
> politiknya dikemudian hari, banyak "kawan" ini malah di peti es
kan.
> Se-ingat saya Sarwo Eddie termasuk yang paling "tidak
beruntung".  "Jasa"
> nya sedemikian besar dalam menopang Suharto sehingga mencapai
puncak
> kekuasaan.  Tetapi lihat apa yang diterima sebagai imbalan?  Sorry
nyimpang
> dikit.
>
>   
>
>   Kembali ke issue ganti nama, ada beberapa orang dekat Suharto
yang saya
> dengar berperan dalam hal itu: Ali Mortopo salah satu
diantaranya.  Ya tapi
> biar bagaimanapun, Suharto sebagai pimpinan tertinggi harus
bertanggung
> jawab atas musibah yang terjadi pada banyak masyarakat Tionghoa. 
Seperti
> contohnya Perancis, Napoleon yang dianggap bertanggung jawab dan
dihukum
> atas tindakan Perancis dibawah pimpinannya.
>
>   
>
>   Tetapi kebijaksanaan Suharto yang "anti Tionghoa" itu juga telah
membawa
> kerugian pada bangsa dan negara Indonesia.  Selama 32 tahun,
pendidikan
> segala yang berkaitan dengan Tionghoa dilarang.  Akibatnya negara
kekurangan
> personil2 yang mamahami bahasa dan budaya Tiongkok, sehingga banyak
> kesulitan dialami dalam berhubungan baik dalam bidang diplomasi
atau
> perdagangan dengan Tiongkok.  Dampaknya baru dirasakan sekarang2
ini.  Dan
> baru semenjak reformasi disadari.  Tidaklah mudah untuk mengejar ke
> tertinggalan itu.  Tidaklah mudah untuk menguasai bahasa
Tionghoa.  Tanpa
> dimulai dari sejak usia muda, mustahil bisa mencapai kefasihan. 
Kalau
> sekedar pesan makanan di restoran, bicara se-hari2, atau nyanyi di
karaoke
> sih yang gampang.
>

>
> richardwu9 <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>   Salam kenal, saya jadi pengin tahu, kalau misalnya ada seorang
yang harus
>
> bertanggungjawab atas "pemaksaan" nama Indonesia ini, siapakah
beliau ?
>
> $$$oeharto-kah ?
>
>
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>









.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




SPONSORED LINKS
Indonesia Culture Chinese


YAHOO! GROUPS LINKS




Reply via email to