Bung Rinto, 
Di salah satu email saya sudah menyebut2 tentang politik identitas
(yang sangat sensitif buat konteks Cina Indonesia) dan lalu sudah
sedikit dijelaskan Pak Akhmad dari aspek historisnya (aspek2 lain
banyak sekali yang bisa dibahas). 

Kita bisa diskusi panjang lebar tentang politik identitas dan
problematikanya (juga tentang diskriminasi positif/affirmative action,
kalau Bung Rinto berminat), namun saya masih belum punya cukup waktu
untuk sebuah diskusi serius. 

Di titik ini keheranan saya terhadap pemerintah Taiwan yang tidak
mempertimbangkan sensitifitas atau dampak proyek/politik identitas
mereka (dalam bentuk kebijakan berbasis ras --bagian dari proyek Pan
Chinese Movement kah? -- yang berimplikasi diskriminasi) di konteks
Indonesia.

Demikian semoga menjadi jelas yang saya maksud,
Ida Khouw 


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Rinto Jiang <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Dalam hal ini, saya kira kurang adil kalau pembedaan ini divonis 
> langsung sebagai diskriminasi. Untuk mengerti mengapa ada kebijakan
ini, 
> kita harus menilik sejarah Taiwan atau Republik China. Republik China 
> diproklamasikan oleh Sun Yat-sen pada tahun 1911 setelah keberhasilan 
> revolusi ke-11 melawan pemerintah Dinasti Qing. Dalam perjuangan 
> revolusinya, Dr. Sun memerlukan dana, dan itu sulit didapatkannya dari 
> orang2 kaya yang saat itu menikmati fasilitas dari kekaisaran maupun 
> pemerintah asing yang setangah menjajah di Tiongkok. Lumrah saja,
karena 
> orang2 seperti mereka cenderung tidak menginginkan revolusi yang
terlalu 
> ekstrim, yang belum pasti akan menguntungkan mereka dan usaha mereka 
> jalankan.
> 
> Untuk ini, Dr. Sun mencari dukungan ke luar negeri, yaitu kepada orang 
> Tionghoa seberang lautan yang juga termasuk mapan secara ekonomi. 
> Bantuan berupa dana datang dari kalangan Tionghoa di Singapura, Jepang, 
> Malaysia, Thailand bahkan Indonesia. Inilah sebab mengapa ada istilah 
> populer "Huaqiao wei geming zhi mu" yang secara harfiah berarti 
> "Tionghoa seberang lautan adalah ibu revolusi". Ini juga yang 
> menyebabkan mengapa Republik China sejak pendiriannya sangat 
> "menghargai" Tionghoa seberang lautan dan meneruskan kebijakan Dinasti 
> Qing mengklaim seluruh keturunan Tionghoa dari pihak ayah di seluruh 
> dunia otomatis sebagai warga negara Republik China. Sebuah komisi 
> setingkat menteri juga dibentuk untuk mengurusi masalah Tionghoa 
> seberang lautan, sampai sekarang komisi ini masih ada di Taiwan, Komisi 
> Urusan Tionghoa Seberang Lautan (Overseas Chinese Affairs Commission). 
> Komisi inilah yang kemudian menelurkan kebijakan2 memberikan kemudahan2 
> kepada Tionghoa seberang lautan untuk melakukan kegiatan di Taiwan, 
> seperti melanjutkan sekolah, investasi, memberikan bantuan dana kepada 
> perkumpulan Tionghoa seberang lautan di berbagai negara dan lain2.
Tentu 
> saja, kebijakan ini terkadang mengandung muatan politis di balik semua 
> kebijakan itu. Dengan harapan bahwa Tionghoa seberang lautan akan lebih 
> condong mendukung kepentingan Taiwan di seluruh dunia. Ini
diterapkan di 
> AS, di mana lobi2 kepada pemerintah dan senat sangat diperlukan untuk 
> meraih dukungan kebijakan yang menguntungkan Taiwan. Di Indonesia 
> sendiri, walau Indonesia tidak mengakui kedaulatan Taiwan, namun 
> hubungan ekonomi antara Indonesia-Taiwan tetap hangat dengan perantara 
> kalangan WNI Tionghoa.
> 
> Namun, beberapa tahun belakangan seiring berkembangnya nasionalisme 
> Taiwan untuk meraih kemerdekaan Taiwan, kebijakan pemerintah mulai 
> berubah. Dari mulai adanya panggilan untuk membubarkan Komisi Urusan 
> Tionghoa Seberang Lautan, sampai kepada membatasi definisi "Tionghoa 
> seberang lautan" hanya kepada Tionghoa yang masih memegang 
> kewarganegaraan Republik China di luar negeri.
> 
> Dari sini, saya ingin menghimbau kepada rekan2 yang berdiskusi tentang 
> masalah ini untuk jangan langsung memvonis ini praktek diskriminasi ini 
> adalah sebuah diskriminasi negatif. Diskriminasi tidak semuanya
langsung 
> berarti negatif. Diskriminasi dalam arti harfiahnya berarti pembedaan. 
> Saya kira, perlakuan beda seperti yang dilakukan pemerintah Taiwan 
> (Republik China) untuk kalangan tertentu atas dasar keinginan balas 
> jasa, adalah tidak merugikan pihak yang tidak diperlakukan istimewa 
> dalam hal ini non-Tionghoa.
> 
> Belanda memberikan beasiswa khusus kepada WNI karena Belanda punya 
> hubungan khusus dengan Indonesia di masa lalu, ini diskriminatif dan 
> nampaknya tidak adil bagi warga negara Malaysia misalnya. Namun
betulkan 
> tidak adil? Belum tentu. Siapa suruh Malaysia tidak menderita dijajah 
> Belanda di masa lalu? Nah, kembali ke Taiwan, bila kemudian pemerintah 
> Taiwan menyamakan seluruh WNI Tionghoa dengan WNI dari suku lainnya dan 
> hanya memberikan priviles kepada Tionghoa berkewarganegaraan Taiwan, 
> saya kira, WNI Tionghoa juga jangan berteriak mereka didiskriminasi.
Ini 
> dikarenakan, priveles yang diberikan sebuah negara kepada warga 
> negaranya sudah memang harus lebih daripada seorang yang 
> berkewarganegaraan lain.
> 
> Demikian, semoga bertambah jelas.
> 
> 
> Rinto Jiang
> 
> 
> idakhouw wrote:
> > Bung Rinto, 
> > Saya memang sangat kaget membaca info bhw PEMERINTAH Taiwan
> > memberlakukan kebijakan beasiswa berbasis ras seperti itu. Saya sempat
> > berpikir, masa' iya sih pemerintah Taiwan tidak diperlengkapi dengan
> > penasihat dari kalangan kaum cendekia bidang ilmu2 sosial, sampai2
> > bisa menelurkan kebijakan absurd demikian (cendekiawan Indonesiapun
> > tidak kritis pula!). Syukurlah kalau kebijakan itu hendak dibatalkan
> > (ini sudah bukan lagi soal menguntungkan atau tidak buat kelompok
> > tertentu. Kita mengkritisi basis kebijakannya) 
> >   
> >
>


Reply via email to