Tujuan kita membongkar masa lampau bukan untuk urusan tuntut menuntut, juga 
tidak untuk mendesak Sindhunata CS minta maaf , tujuan utamanya adalah bagi 
kita sendiri, agar tidak mengulang kesalahan masa lampau. Dan terutama bagi 
generasi muda yang tidak paham sejarah, memahami kesalahan Sindhunata cs dapat 
membuat mereka memetik pelajaran berharga: lebih menghargai perbedaan pendapat 
dan menghormati pluraitas budaya.  

Sdr Ray, jawaban anda terlalu berputar putar, nampaknya anda coba mengaburkan 
masalah. Coba anda simak pernyataan saya:  Saya tidak keberatan dengan berbagai 
ideologi, baik yang berpaham pembauran total ( kawin campur, masuk agama 
islam,), pembauran terbatas ala Sindhunata ( agama tdk hrs Islam, asal bukan 
yang berbau Tionghoa, tdk usah kawin campur, asal menanggalkan budaya Tionghoa 
) atau yang berpaham integrasi ala Baperki, maupun yang ingin 100% berbakti ke 
negeri leluhur ( dng mempertahankan status WNA nya). ini adalah pilihan 
individu, masalah hak azasi manusia!

Yang saya tolak adalah pemaksaan oleh negara! dalam hal ini Sindhunata adalah 
salah satu "pemrakarsa ide pemaksaan"! ini dosanya, kalau dosa semacam inipun 
anda maklumi, anda maafkan. ini justu berbahya untuk masa depan bangsa 
Indonesia. bukan tidak mungkin sejarah pemaksaan akan berulang, meski muatan 
paham yang dipaksakan bisa saja berganti, terantung pihak yang menang.. 

Anda bisa memaklumi penggunaan tangan militer untuk menindas? kalau begitu, 
masyarakat yang menuntut diusutnya peristiwa Semanggi, peristiwa Mei, peistiwa 
penculikan dll yang melibatkan militer adalah salah? manusia boleh memaafkan, 
tapi harus ditentukan dulu benar salahnya. kalau tidak jelas vonisnya, hantu 
penindasan akan hidup langgeng, kelompok LPKB bakal comeback lagi melakukan 
teror budaya.

ZFy


  ----- Original Message ----- 
  From: Ray Indra 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, June 26, 2007 1:00 AM
  Subject: [budaya_tionghua] Re: Peristiwa Mei dan sikap budaya


  Loh tambah marah2.. berdebat sih berdebat saja pak, tidak perlu marah2... 

  Saya sih berpikir sederhana & praktis saja, daripada ngedumel terus,
  nanti makan hati, merasa terpaksa menggunakan nama pribumi dan mungkin
  agama asing, ya sudah ditanggalkan saja toh.. kan sekarang sudah bebas. 

  Kalau tidak merasa terpaksa, berarti ada setuju juga dong dengan
  pembauran? Lalu kenapa marah2 sama pencetusnya? Karena menggunakan
  militer? Tapi waktu itu kan semua memang di tangan militer? 

  Menurut saya, akan sangat sukar untuk meminta permintaan maaf dari
  Sindhunata cs (ini kan yang diminta), karena itu adalah pandangan
  politik asimilasi dari kelompoknya, yang kini secara de facto
  jumlahnya juga banyak. Dan benar kata Sdr Chan, kalau kita malah
  membagi diri menjadi dua.. asimilasi vs integrasi, ya sayang dong, kok
  malah memecah-belah diri sendiri.

  Saya mencoba menyadarkan, masalah ini tidak sesederhana itu.
  Konsekuensinya besar. Ada banyak pihak dan kelompok yang terlibat di
  sini. Jika Anda menyatakan politik Pembauran itu SALAH, lalu apa
  konsekuensi bagi orang Tionghoa?
  Semua yang telah berbaur itu juga SALAH? 
  Orang yang menjadikan Anda berbaur itu juga SALAH (karena menjadi
  antek penindasan politik pembauran itu)? (Ini adalah guru, pastor,
  pendeta, banthe, imam... masakah mereka sejahat itu?)
  Jadi runyam kan? 

  Mengenai saya pribadi (karena Anda bertanya lho): Dulu saya sangat
  menentang Sindhunata. Tapi semakin lama, setelah dipikir2 'manfaat vs
  mudharat'-nya, saya melihat betapa berbahayanya memperuncing perbedaan
  ini. Jauh lebih baik mencari persamaan, bukan perbedaan.

  Selain itu, saya juga merasa bahwa keadaan yang memang mengarah ke
  keputusan ini (misalnya pemutusan hubungan diplomatik dg RRT). Jadi
  kalaupun tidak Sindhunata, akan ada orang lain yang melakukannya. 

  Lha ini terjadi bukan cuma di Indonesia kok, di Thailand, Filipina dan
  Peru juga (maksud saya, pembauran bukanlah suatu hal aneh yang hanya
  ada di Indonesia). 

  Saya pribadi melakukan apa yang saya katakan; memberi kembali nama
  Mandarin kepada anak kedua saya (resmi lho, dalam akta lahir) tapi
  memang digabung dengan nama keluarga Indonesia yang sangat saya
  banggakan. Tapi itu bukan berarti saya harus dendam kesumat dengan
  politik Asimilasi, kan? Itu 'kan keyakinan orang, mau diapakan lagi?
  ajak perang? (Untuk pak Hadinoto) Ayah saya juga di Candra Naya waktu
  itu, melihat juga peristiwa "Cino nggebuk Cino" itu. Masak mau kita
  ulangi lagi? Apa manfaatnya bagi Tionghoa? 

  Menurut Pak Hadinoto, manfaatnya adalah demi fakta sejarah. 
  Bagi saya, risikonya jauh lebih besar daripada fakta sejarah. Kita
  akan membuka sebuah kotak Pandora... yang akan memecah belah diri kita
  sendiri. Dan ingat, banyak pihak yang akan senang dengan keadaan ini
  dan akan memperkeruh. Saya rasa Indonesia masih belum se-dewasa itu
  untuk menerima perbedaan pendapat, atau kalah-menang. 
  Sekali lagi, apa manfaatnya bagi Tionghoa? 

  Tapi terus terang, saya mulai bosan berdebat soal ini. Terserah Anda
  sajalah. 

  --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Skalaras" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  >
  > Sdr Ray:
  > 
  > Kalau gerakan ganti nama dilakukan secara suka rela, misalnya
  mengikuti Tren, itu adalah hak azasi manusia. 
  > 
  > Tahukah anda kondisi waktu itu saat himbauan ganti nama dicanangkan
  oleh pemerintah Orde Baru? Mayoritas orang Tionghoa dicekam perasaan
  tertekan! Ini peraaan yang manusiawi! Semua orang, tak peduli apa suku
  bangsanya, pasti akan merasa tertekan jika harus mengganti namanya
  saat sudah dewasa. Saya yang tidak ganti namapun merasakan kondisi
  psikis yang berat, menjadi "sesuatu yang lain" dlm sorotan mata
  masyarakat sekitar! 
  > 
  > Sekarang anda mengajukan tantangan untuk kembali lagi ke nama
  Tionghoa. saya yakin tak ada masalah bagi yang pernah mempunyai nama
  Tionghoa hingga dewasa. Tapi, bagi yang sedari kecil tidak punya nama
  Tionghoa, atau meski punya tapi sudah terbiasa dipanggil dng nama
  Indonesia, memakai nama Tionghoa bagi mereka bukan berarti "kembali"!
  Tapi berarti sebuah proses " ganti nama baru" kembali, mereka pasti
  akan merasa aneh dan lucu dng nama Tionghoanya. Proses ini jelas sama2
  sulitnya dng situasi orang tua mereka dulu saat harus menanggalkan
  nama Tingoanya !!! 
  > 
  > Hal yang serupa ini juga berlaku dalam hal "pindah Agama", awalnya
  ada suatu tekanan penguasa Orba kepada masyarakat Tionghoa untuk
  menanggalkan "agama"nya dan memilih agama yang diakui pemerintah,
  setelah 35 tahun berlalu, generasi kedua yang sedari kecil sudah
  terbiasa dng agama barunya, pasti akan merasa asing jika disuruh
  kembali ke "agama" orang tuanya. Hal ni sebenarnya situasi yang
  menyedihkan dan menyakitkan bagi masyarakat Tionghoa. Sebuah tragedi
  "pembersihan budaya" yang telanjang! Setelah 35 tahun berlalu, Orde
  Baru ternyata telah behasil melakukan pencucian otak satu generasi!
  Sekarang, generasi muda seperti anda malahan mencibir mereka2 yang
  menggugat sejarah penindasan, malahan berusaha melegematisasi " hal2
  yang sudah terlanjur ", bahkan memanfaatkan hal2 yang "telah
  terkondisikan" seperti ini untuk tantang menantang! di mana hati
  nurani anda?
  > 
  > Terlepas dari ideologi Asimilasi itu baik atau buruk, anda tak
  pernah tegas2 menyatakan sikap terhadap sepak terjang kelompok
  Sindhunta yang meminjam tangan penguasa untuk melakukan pemaksaan
  ideologi! apakah anda setuju cara dia menggandeng penguasa untuk
  memaksakan ideologinya??? 
  > 
  > ZFy
  > 
  > 
  > ----- Original Message ----- 
  > From: Ray Indra 
  > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  > Sent: Saturday, June 23, 2007 6:03 PM
  > Subject: [budaya_tionghua] Re: Peristiwa Mei dan sikap budaya
  > 
  > 
  > Karena jawaban akhirnya tidak akan pernah ada, pak.
  > 
  > Masing-2 pihak akan terus merasa benar, sampai kapanpun. Itulah
  > keyakinan politik masing2 kelompok.
  > 
  > Jadi, daripada terus menerus memperdebatkan masalah yang sudah lewat
  > dan tidak akan ada titik temunya ini (email mengenai topik ini rasanya
  > sudah berulang2), mengapa tidak menggunakan energi itu ke masalah yang
  > aktual dan sedang terjadi di depan mata?
  > 
  > Mari kita bahas contoh debat kusir yang memusingkan ini.
  > Apa tujuan dari otokritik ini? Mau menyatakan bahwa Sindhunata adalah
  > salah dan pengkhianat Tionghoa? 
  > Benarkah? Oleh karena itu, saya sarankan silahkan ramai2 hapus nama
  > pribumi Anda, dan pakai kembali nama Mandarin itu, sebagai tanda
  > penolakan Anda atas pandangan politik asimilasi Sindhunata. 
  > 
  > Tapi, sebaliknya, saya yakin ada ribuan mungkin jutaan Tionghoa lain
  > yang sama sekali tidak berminat mengganti nama. Ribuan lainnya jelas2
  > pindah agama, menikah antar suku, dan sama sekali meninggalkan budaya
  > Tionghoa-nya. Bukankah itu sah2 saja? 
  > Nah, bukankah ini berarti mereka juga setuju dengan pemikiran
  > pembauran? Lalu, apakah mereka ini adalah "pengkhianat Tionghoa"? 
  > 
  > Mari kita renungkan... 
  > 
  > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "RM Danardono HADINOTO"
  > <rm_danardono@> wrote:
  > >
  > > Membahas keadaan suatu masyarakat memang tak terlepas dari aspek 
  > > trimasa, past, present and future. Masalah masa lalu suatu 
  > > masyarakat memang tak selalu mulus dan herois, seringkali penuh 
  > > duri, pengkhianatan dll. Dimanapun.
  > > 
  > > Autokritik tetap perlu, juga membahas tokoh tokoh masyarakat kita 
  > > sendiri. Misalnya, masalah yang kita hadapi bersama dengan 
  > > pembahasan idee SI yang neverending story ini, tak lepas, dari 
  > > kesalahan tokoh tokoh kita dimasa lalu. Juga dikalangan founding 
  > > fathers sendiri.
  > > 
  > > Kalau tokoh tokoh yang dikritik itu benar benar bersih, dan tak 
  > > mrendasari suatu kritik, ya baiklah, kita tunjukkan sisi
  positifnya. 
  > > kalau ada.
  > > 
  > > Saya sendiri yang mengalami masa pahit tahun 65an sebagai aktivist 
  > > mahasiswa, dan banyak sekali sahabat sahabat dari masyarakat 
  > > Tionghoa, mengalami sendiri apa yang terjadi kala itu. Juga 
  > > keterkaitan tokoh tokoh yang dikritik itu dengan penguasa kala itu, 
  > > terutama dari kelompok Ali Murtopo. 
  > > 
  > > Biarlah generasi muda belajar. Mengungkit atau tidak, ini kan hanya 
  > > wahana, yang utama muatannya, benarkah secara historis?
  > > 
  > > Mengakui, bahwa menjadi pemimpin politik adalah tak mudah, bukan 
  > > berarti kehilangan motivasi untuk mengeluarkan autokritik. Sejarah 
  > > hanya kita pahami, apabila kita bahas tuntas.
  > > 
  > > Salam
  > > 
  > > danardono
  > > 
  > > 
  > > 
  > > 
  > > 
  > > 
  > > 
  > > 
  > > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ray Indra" 
  > > <anthonyrayindra@> wrote:
  > > >
  > > > Ko Ardian,
  > > > 
  > > > Saya rasa itulah perbedaan sikap politik. Kebetulan Sindhunata
  yang
  > > > menang, dan memang disetujui oleh pemerintah yang berkuasa saat 
  > > itu.
  > > > 
  > > > BTW masak sih dia bilang pendekar pembela Tionghoa? Setahu
  saya dia
  > > > orangnya biasa saja tuh, selain bisnis biasa (juga ngga gede2 
  > > amat -
  > > > kalau dia benar bisa 'menguasai militer' tentunya bisnisnya lebih 
  > > gede
  > > > dari Bos Taipan T Winata), mengurus yayasan Trisakti. 
  > > > 
  > > > Yang saya pertanyakan, untuk apa sih kita mengungkit masalah
  lama? 
  > > > Masalah baru & aktual jelas2 ada di depan mata, buat apa kita
  > > > berkelahi untuk sesuatu yang sudah lewat?
  > > > 
  > > > Jangan lupa, bicara di milis atau di dalam asosiasi sih mudah 
  > > karena
  > > > umumnya homogen (sama2 Tionghoa), tapi coba kita mewujudkan
  politik
  > > > 'integrasi' Anda itu di tingkat nyata, tentunya tidak mudah, kan?
  > > > 
  > > > Silahkan Anda menentang kewajiban mengenakan pakaian rok
  panjang di
  > > > sekolah Palembang, menentang larangan buka restoran saat siang di
  > > > bulan Puasa di Banjarmasin, atau silahkan ramai2 secara 
  > > demonstratif
  > > > balik menggunakan nama Mandarin lagi dan menghapus nama 'pribumi' 
  > > yang
  > > > Anda katakan dipaksa itu. 
  > > > 
  > > > Bagaimana menurut Anda, apakah mudah menjadi pemimpin politik? 
  > > > 
  > > > 
  > > > 
  > > > 
  > > > 
  > > > 
  > > > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ardian_c" <ardian_c@> 
  > > wrote:
  > > > >
  > > > > Yg jadi masalah itu yg namanya Sindhunata ada pengaruh dan
  hasil 
  > > > > cuap2nya malah bikin hantaman luar biasa sama tionghoa2 yg lain.
  > > > > So mestinya org model gitu minta maaf tuh tapi boro2 minta maap 
  > > > > malah anggap dirinya pendekar pembela tionghoa.
  > > > > 
  > > > > Ini yg gw sebut racun dan ditebar sama sohib2nya semodel Harry 
  > > Tjan 
  > > > > Silalahi. 
  > > > > 
  > > > > Ini sih emang anti budaya aja trus dilempar dikoridor politik , 
  > > > > getahnya 1 generasi kena tuh.
  > > > > 
  > > > > 
  > > > > 
  > > > > 
  > > > > 
  > > > > 
  > > > > 
  > > > > Ardian
  > > > > --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Liquid Google" 
  > > > > <manwiththeeyesresponsible@> wrote:
  > > > > >
  > > > > > Wah kalo gitu emang ga usah didengerin pernyataan 
  > > Sindhunata, 
  > > > > pembauran 
  > > > > > itu khan Bukan harus ganti kulit, operasi plastik mata biar 
  > > belo, 
  > > > > lha kalo 
  > > > > > emang dari sono begitu masak harus dipaksa. Agama ga bisa 
  > > dipaksa, 
  > > > > begitu 
  > > > > > juga adat istiadat, masak Sincia harus saya ganti di hari 1 
  > > > > January, khan ga 
  > > > > > mungkin.
  > > > > > 
  > > > > > Lho lho lho, emang salah ape inget leluhur sendiri? Masak 
  > > saya 
  > > > > harus 
  > > > > > inget leluhur orang laen? Saya masih punya kampung di TaiPu, 
  > > desa 
  > > > > ChungLan, 
  > > > > > Insya Thien Kong bulan august ini untuk pertama kalinye saya 
  > > balik 
  > > > > kekampung 
  > > > > > leluhur, mao sembahyang kung-kung saya punya papa & kung-kung 
  > > saya 
  > > > > punya 
  > > > > > kung-kung, kendalanye cuma satu, bini lagi hamil tua dibulan 
  > > > > august! Tapi 
  > > > > > itu bukan berarti saya ga punya rasa nasionalisme ama 
  > > Indonesia, 
  > > > > tetep aje 
  > > > > > Indonesia tanah kelahiran papa, mama & saya biar bagaimanapun 
  > > juga 
  > > > > itu ga 
  > > > > > bisa dipungkiri!
  > > > > > 
  > > > > > "Cina2 benteng yg tradisi dan budayanya berbaur dgn budaya 
  > > > > lokal aja 
  > > > > > mana pernah mikirin tanah leluhur" itu betul sekali, & 
  > > > > nasionalisme mereka 
  > > > > > terhadap Indonesia ga diragukan, jadi biarinin aje lah 
  > > Sindhunata 
  > > > > ngomong 
  > > > > > ape keq, lagian saya baru denger pernyataan itu, tampangnye 
  > > blum 
  > > > > pernah 
  > > > > > liat, karena saya ga pernah pikirin tuh, hehehehe..
  > > > > > 
  > > > > > Lhooo koq jadi anda yang ngeledekin saya bakar KuiJin Coa, 
  > > > > emang dari 
  > > > > > dulu ude begitu, hehehehe....
  > > > > > 
  > > > > > Betul, ken ken satu2nye zombie yang bisa makan, termasuk 
  > > > > temen2nye 
  > > > > > sendiri, ude banyak tuh korbannye yang sakit ati. BTW 
  > > Sindhunata 
  > > > > sama 
  > > > > > sohibnya Harry Tjan Silalahi itu TiongHoa ape Non TiongHoa??? 
  > > Kalo 
  > > > > TiongHoa 
  > > > > > berarti emang bener TiongHoa itu ga bisa disatuin, kalo non 
  > > > > TiongHoa, ko 
  > > > > > Adrian ga usah sakit ati kalo ada etnis laen mikirin
  TiongHoa, 
  > > > > malah bagus 
  > > > > > karena perhatian, cuma jangan marah kalo ga diturutin!
  > > > > > 
  > > > > > Daripade pusing mikirin orang laen ngomong ape (ngurusin 
  > > > > politik), 
  > > > > > mending lestariin Budaya TiongHoa di Indonesia!
  > > > > > 
  > > > > >
  > > > >
  > > >
  > >
  > 
  > 
  > 
  > 
  > 
  > [Non-text portions of this message have been removed]
  >



   

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke