Beberapa waktu lalu di Singapora beberapa pemuda berdebat, kalau ditanya mana yang kita pentingkan, Tionghoanya atau Singaporenya. Yang satu bilang saya Chinese, tapi Singaporean. Yang satu bilang, Saya Singaporean , ras saya Chinese. Debat ini dibiarkan saja, sebentar hilang sendiri. Pemerintah tak memberi komentar sama sekali. Saya pernah di tanya oleh seorang pemuda Tionghoa Indonesia, mana yang benar, kalau ditanya Tionghoanya lebih penting, atau Indonesianya lebih penting, ia katanya bertanya pada beberapa orang dengan jawaban yang berbeda dan alasan macam-macam, tapi alasannya tak dapat ia terima. Saya tanya kalau menurut anda apa? Ia menggelengkan kepalanya, “pusing” katanya. “Kalau begitu saya jelaskan,” kata saya. Menurut saya manusia itu mempunyai multi dimensi, dapat dilihat dari segi mana.? Tuan A laki-laki, Tuan A adalah seorang warga negara Indonesia, Tuan A adalah orang Tionghoa, Tuan A adalah seorang bapak dari tiga anak, Tuan A adalah dosen sebuah universitas, Tuan A adalah seorang suami, Tuan A adalah orang Bandung, Tuan A adalah seorang sarjana, Tuan A adalah orang yang selalu berpakaian perlente dsb. Anda menulis setumpuk kalimat yang menyatakan Tuan A, dan semua benar. Lalu mana yang penting? Menurut isterinya yang terpenting suaminya seorang laki-laki, kalau perempuan ia tak mau menikah dengan perempuan lagi. Sedang menurut mahasiswa yang terpenting ia dosen yang baik, laki atau perempuan adalah tidak jadi masalah. Pada saat anda diperiksa paspor anda di imigrasi ketika masuk negara lain, yang penting adalah anda Warga Negara Indonesia, pada saat kerusuhan, apakah anda akan kena ganyang yang penting Tionghoanya. Orang yang berfikir logis tak mungkin bertanya dimensi mana yang penting, karena semua benar , yang penting tergantung konteksnya saat itu masalah apa yang dibicarakan. Apakah salah kalau seorang mengatakan saya Tionghoa, tidak, tak mungkin jawaban lain, karena darah yang mengalir adalah darah Tionghoa, dapat dibuktikan dengan tes DNA. Tapi kapan kita menjawab Tionghoa, kita lihat konteks saat itu. Kalau mahasiswa bertanya “Apakah bapak dosen yang akan mengajar kami?” Apakah anda akan jawab dengan bangga, “Saya warga negara Indonesia?” Karena nomor satunya Indonesia. Tidak mungkin dibanding dua masalah yang berbeda, seperti membanding anggota dua himpunan yang berbeda, menurut ahli matematik. Debat begitu hanya debat kusir yang tak mengerti masalah. Di IC (KTP) bagian atas sudah tertulis jelas. Singapore Citizen, di kolom ras ditulis Chinese. Dan dua-duanya benar. Untuk saya aneh, kalau orang dewasa ribut demikian, debat kusir yang tak ada akhirnya, karena semua benar. Loyalitas tidak dapat ditunjukkan dengan makanan. Apakah rekan-rekan yang makan daging anjing tidak loyal terhadap Indonesia? Karena kebanyakan orang Indonesia tidak makan daging anjing. Naif. Makanan tergantung kebiasaan dari kecil dan kesukaan pribadi yang sulit di jelaskan. Dulu saya kira orang Tionghoa totok tak suka makanan pedas. Baru setelah dewasa, bahkan setelah pensiun dan pertama kali ke Tiongkok saya sadar. Sampel saya salah. Orang Tionghoa totok yang ada di Indonesia kebanyakan dari tiga propinsi saja, Fujian , Guangdong dan Hainan, sedang yang saya kenal orang Fujian dan Guangdong saja. Ketika saya ke Hainan, tiap meja di restoran ada sambal, bahkan sambal botol cabai kuning, yang rasanya ampun pedas sekali, kalah cabai Jawa. Di Sichuan hampir tiap makanan ada cabainya, yang khas ada goreng cabai hijau yang ternyata enak menurut selera saya. Kita terlalu sering generalisasi masalah, dengan maksud mengelakkan diri dan dapat pujian. Seorang anak kalau dari kecil tak pernah diberi tahu ia adalah Tionghoa, tentu ia tak tahu, nanti kalau suatu ketika ia didiskriminasikan, ia akan shock. Beda yang dari kecil sudah diberi tahu, ia tahu apa akibat ia Tionghoa, bahkan lebih baik diceritakan beberapa peristiwa rasialis yang penting, ia akan siap mental, karena hal itu masih mungkin terjadi pada dirinya. Menutupi sejarah kepada anak-anak bukan suatu hal yang mendidik, sebab yang anak jadi idealis, tidak realistis, tidak membumi, penuh khayalan yang tak mungkin dicapai. Sekali lagi loyalitas tidak mungkin dinilai dari ucapan, apalagi tuduhan orang, karena loyalitas hanya dapat dilihat dari kelakuan pada saat negara kritis. Apakah dijamin Indonesia pribumi (maaf , istilah lama masih saya pergunakan dengan terpaksa) yang senang makan gudeg, senang makan cabai, pasti loyal terhadap negara dan rakyatnya? Kalau begitu, kenapa orang semacam Munir yang jelas loyal kepada rakyat yang ditekan bahkan dibunuh? Apakah yang memerintah membunuh dapat anda katakana loyal? Loyal pada siapa? Jangan mempermainkan istilah loyal, istilah ras, istilah agama, istilah macam-macam untuk mengacaukan pandangan orang menjadi kabur. Yang rugi adalah masyarakat Indonesia!
Liang U ----- Original Message ---- From: indarto tan <[EMAIL PROTECTED]> To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Tuesday, August 28, 2007 12:54:40 PM Subject: [budaya_tionghua] Masalah perkiblatan. Dalam suatu diskusi (lebih tepat pembicaraan searah) yang diadakan di Jakarta baru-baru ini, membicarakan arah perkumpulan masyarakat keturunan Indonesia-Tionghua. Dari diskusi, ahkirnya memancing masalah ‘perkiblatan’. Ceritanya begini : Seorang pemudi mahsisiwi Tionghua lahir di Jakarta bernama Natalia. Ia diajak orang tuanya yang kelahiran Medan dan fasih berbahasa Hokkian kia-kia ke Tiongkok. Singkat cerita, ia suka kekia-kianya, tetapi tidak lagi merasa sebagai orang Tionghua, ia merasa asing disana, karena dia merasa dirinya orang Indonesia ! Oleh pembicara dianggap, inilah tipe generasi muda INTI yang diidealkan. Dari cerita singkat itu kita menemukan beberapa masalah. Pemudi itu keturunan Tionghua, namanya BUKAN Mei-lan atau Li-me ! Ia lahir di Jakarta, namanya juga BUKAN Ijah atau amini ! Dia oleh orang-tuanya diarahkan dan diberi nama yang ke Barat-baratan : Natalia ! Betul, dia sudah tidak mengenal budaya Tionghua. Apakah lalu ia mengenal budaya Indonesia ? Katanya ia lebih suka soto Betawi, sop buntut dan es doger ketimbang kuluyuk atau capcai ! Apakah selera makan ini boleh dijadikan indikasi ia pasti ‘berkiblat’ pada Indonesia ? Saya ragu. Kesetiaan terhadap satu bangsa, kalau tidak didasari komitmen terhadap budaya bangsanya secara emosional dan tulus, semuanya meragukan ! Lagipula, budaya Indonesia tidak hanya sekedar soto Betawi, sop buntut dan es doger! Terlalu naif rasanya ! Kira-kira Natalia ini menganut bentuk kerohanian yang bagaimana ? Sayang, pembicara tidak menyebut. Islam ? Khonghucu ? Kelenting (Sam-kauw) ? Budha ? Saya tebak (ini tebakan lho, bisa salah), paling dekat kalau bukan Kristen ya Katholik. Tebakan saya ini kalaupun tidak salah, saya tetap ragu kebenaran pemahaman essensi keyakinannya. Saya lebih cenderung, generasi muda tipikal demikian (tidak semua lho !) adalah penganut budaya ‘You-nai-jiu- shi-niang’ , artinya ‘Siapa memberi susu, itulah ibu saya’. Bentuk ‘budaya’ sekedar mencari hidup, terutama hidup nyaman ! Apa itu ke Indonesia ? ke Tionghua ? Peduli amat ! Saya lahir, tanpa bisa memilih sebagai keturunan Tionghua. Kodrat ini tidak boleh kita ingkari. Lalu kita hidup diatas bumi Indonesia, dan bumi ini mengijinkan kita berakar dan tumbuh subur. Maka, kodrat ini JANGAN DIPERTENTANGKAN dengan bumi Indonesia yang telah menghidupi ini ! Biarlah berbagai macam etnis yang tumbuh diatas bumi Indonesia ini, masing-masing dengan cara khasnya sendiri hidup dan merawat agar bumi ini tetap subur. Konsep perkiblatan hakekatnya pemihakan. Memihak tidak salah, tetapi harus didasari KEBENARAN ! Kita hanya berkiblat pada Kebenaran ! Salam dari Indarto Tan ------------ --------- --------- --- Shape Yahoo! in your own image. Join our Network Research Panel today! [Non-text portions of this message have been removed] ____________________________________________________________________________________ Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone who knows. Yahoo! Answers - Check it out. http://answers.yahoo.com/dir/?link=list&sid=396545433 [Non-text portions of this message have been removed]