--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "prometheus_promise" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Prom: > Ya. Mari kita kembali ke tema sentral "brain-washing" Orde Baru > terhadap generasi muda tionghoa. > > Apa point yang ingin Anda sampaikan? > > Mengenai Jepang, Jerman, dll, kita batasi dahulu..kita bisa bicarakan > di lain waktu atau di lain forum. >
Kenken: Rupanya anda masih belum memahami kaitan antara tema sentral generasi muda Tionghoa dgn contoh referensi bantahan Jepang terhadap Pembantaian Nanking. saya terangkan secara lebih rinci, sekalipun saya agak malas berdialog dgn anda. tetapi untuk menghormati diskusi maka saya tulis email terakhir ini untuk anda Mas Prom. Generasi muda saat ini jelas merupakan produk BRAIN WASH pemerintah Orde Baru. sehingga generasi muda saat ini tidak mengerti lagi tentang posisi dirinya dgn latar belakang sejarah etnisnya di Indonesia. contoh, penggunaan istilah "C!N@" oleh segelintir kecil pemuda/i di milis ini adalah contoh produk afkir tersebut. Mereka tidak mengetahui bahwa Indonesia pernah sedemikian brutal dan antagonis terhadap komunitas Tionghoa. Pembantaian Tionghoa di Mei 98 adalah contoh terdekat tentang gerakan riil tersebut. Pasca Mei 98, gerakan yang mengarah pada persekusi Tionghoa masih dapat kita dengar. Sebut saja peristiwa sweeping Mahasiswa HMI Makasar (2 x), spanduk Ki Gendeng Pamungkas di Bogor, rencana kalangan islam berjihad apabila A-hok menjadi gubernur Ba-Bel, rencana penjarahan pasca banjir Jakarta, kasus Go Chong Phing Tuban dsb. Beberapa pahlawan nasional yang namanya harum di buku sejarah nasional ternyata memiliki prilaku rasis-anti tionghoa. Sebut saja nama Bung Tomo, Jenderal Soemitro dsb. Bahkan sampai di abad modern, tokoh-tokoh pemimpin Indonesia masih tidak ragu-ragu memperlihatkan sentiment anti-Tionghoa, sebut saja Baramuli, Habibie, Jusuf Kalla, Fadli Zon dan tentu saja beberapa jenderal angkatan darat. Bung Tomo sebagai pemimpin besar Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia memiliki peran yang sangat besar bagi kemerdekaan Republik Indonesia . Ia dikenal sebagai "jenderal radio". Pidatonya yang bergemuruh membangkitkan gelora perjuangan sampai ke telinga rakyat melalui radio di Surabaya. Namun sayangnya, pidato-pidato Bung Tomo itu tidak bebas dari sikap rasialis anti-Tionghoa. Tema-tema anti Tionghoa membangkitkan sentiment anti-tionghoa di kalangan masyarakat pribumi Jawa Timur. Melihat dampak dari provokasi anti-tionghoa oleh Bung Tomo ini, Go Gien Tjwan sebagai jurubicara Angkatan Muda Tionghoa pernah memberi penjelasan lewat pidato bahwa musuh rakyat Indonesia bukan etnis tionghoa tetapi Belanda. Ia juga menyatakan bahwa etnis Tionghoa juga menjadi bagian korban penjajahan. Siauw Giok Tjhan bersama kawan-kawannya pernah pergi menemui Bung Tomo agar mengubah sikap anti-tionghoanya. Namun Bung Tomo tetap berkeyakinan bahwa sebagian besar etnis Tionghoa adalah kalangan pro-Belanda. Akhirnya, di bulan Oktober 45, Siauw Giok Tjhan memimpin delegasi pemuda Tionghoa untuk bertemu dengan Bung Tomo dan sejumlah tokoh kiri dari PESINDO antara lain Soemarsono dan Soedisman (akhirnya menjadi Politbiro PKI di tahun 60-an). Pertemuan itu berhasil menyepakati penggabungan barisan perjuangan antara pemuda Tionghoa, Badan Pemberontak Rakyat Indonesia dan PESINDO. Pasca kemerdekaan 45, terjadi pembantaian massal terhadap Tionghoa. Aksi polisinil Belanda menambah kekisruhan keadaan pada saat itu. Pasukan republic yang terdesak, mundur ke dalam hutan. Dalam perjalanan mundur itu, pasukan Indonesia membumi hanguskan apa saja yang mereka temui. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Jateng, Jatim terjadi perampokan, penjarahan dan pembakaran rumah-rumah, toko, bengkel, perusahaan, pabrik dan berbagai harta benda milik etnis Tionghoa. Aksi bung Tomo dan laskar rakyat Indonesia itu tidak menghitung dan tidak memandang adanya Tionghoa yang pro-Indonesia seperti Tony Wen yang memimpin organisasi Barisan Pemberontak Tionghoa di Surakarta atau aksi memperingati Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Juni 46 di mana 6 ribu orang Indonesia dan Tionghoa melakukan upacara bendera di Stasiun Serang. Saat itu, bendera RI dan Tiongkok dikibarkan secara bersamaan dan berdampingan. Tetapi, pembunuhan di beberapa daerah tetap berlangsung. Orang-orang Tionghoa tak berdosa diperkosa dan dibunuh dengan tuduhan menjadi agen atau mata-mata NICA. Di medan terjadi gelombang pembunuhan massal, perampokan dan penjarahan yang dilakukan oleh gangster, kriminil dibantu oleh organisasi pemuda dan oknum Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Di bulan Januari 46, terjadi demonstrasi 10 ribu Tionghoa memprotes aksi brutal laskar pemuda Indonesia . Orang-orang Tionghoa itu membawa mayat-mayat korban kebiadaban kaum ekstrimis Indonesia . Era awal kemerdekaan Indonesia itu dikenal sebagai "zaman bersiap". Di daerah pendalaman, apabila terdengar seruan: "Siap, Siap!" maka penduduk Tionghoa akan gemetaran ketakutan, karena seruan itu seringkali berarti perampokan dan penjarahan. Pada tanggal 3 Juni 46, terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap Tionghoa di Tangerang. Peristiwa pembantaian sadis ini sempat diberitakan oleh harian The New York Times. Memorandum Chung Hua Tsung Hui menyatakan bahwa sesuai dengan notulen rapat di Tangerang yang diselenggarakan oleh Djoenaedi, anggota eksekutif kabinet Republik Indonesia (Badan Pekerja KNI), Laskar Rakyat telah merencanakan sebuah Perang Sabil (Perang Suci) dan sebagai akibatnya, Tionghoa dibantai di Tangerang. Seluruh korban dan peristiwa pembantaian tionghoa di Tangerang dicatat dalam Laporan Palang Merah Rumah Sakit Yang Seng Ie Jakarta. Lelaki Tionghoa disunat dan dibunuh. Tidak hanya itu, perempuan dan anak kecil Tionghoa pun dibantai tanpa perasaan. Bahkan penganiayaan terhadap perempuan Tionghoa itu sulit dilukiskan dengan kata-kata. Pembantaian meluas ke kota-kota lain seperti Mauk, Serpong, Bayur dan Krawang. Di Rawa Cina, seorang perempuan Tionghoa yang sedang hamil ditusuk dan rahimnya dibuka sehingga menyebabkan bayi lahir premature dan mati. 25 ribu Tionghoa diharuskan mengungsi ke gedung Sin Ming Hui di Jl. Gajah Mada no. 188 akibat keberutalan itu. Menanggapi Peristiwa Tangerang ini, Perdana Menteri Sutan Sjahrir menyatakan penyesalan tetapi tidak pernah menyebutkan tindakan apa yang akan diambil terhadap otak dan pelaku pembantaian. Persis seperti Peristiwa Mei 98 di mana tidak ada satu pun tindakan diambil oleh pemerintah Indonesia dalam mengadili otak dan pelaku penjarahan dan pembunuhan. Di Bagan Siapi-api lain lagi kisahnya. Pada bulan September 46, Bagan Siapi-api diserbu oleh orang-orang Indonesia yang tergabung dalam Angkatan Laut Republik, Angkatan Darat dan Polisi Republik. Jumlahnya hampir 5 ribu pasukan. Ratusan Tionghoa tewas, tetapi mereka yang selamat melakukan perlawanan dengan menggunakan senjata seadanya. Tanpa perlawanan senjata itu, dipastikan Tionghoa akan disapu bersih dari Bagan Siapi-api saat itu. Karena serangan laskar Indonesia itu gagal, tetapi jiwa pejuang mereka tidak pudar. Aksi brutal laskar Indonesia itu berlanjut dengan blockade dan isolasi hingga 14 ribu orang Tionghoa Bagan hampir mati kelaparan. 2 ribu orang TIonghoa menjadi pengungsi di Malaka. Pembunuhan terus meluas di daerah-daerah seperti Bangko, Djembra, Telok Poelau, Mentega dsb. Masih banyak lagi pembantaian terhadap Tionghoa pada masa itu yang terjadi di berbagai kota seperti Jember, Salatiga, Bobotsari, Purbalingga, Cilacap, Gombong, Lumajang, Tegal, Pekalongan, Jalaksana, Purwokerto, Malang dsb. Daftarnya akan sangat panjang. Menyadari kegawatan situasi ini, Konsul Jenderal Tiongkok berusaha membangun berbagai zona aman di mana orang-orang Tionghoa dapat berkumpul dan terlindungi. Ketika situasi semakin memburuk, Konsul Jenderal Chiang Chia-Tung menginstruksikan kepada orang tionghoa untuk berkumpul bersama di bangunan sekolah dan mengibarkan bendera Tiongkok bersama bendera Palang Merah. Di beberapa daerah pedalaman, adanya bendera Tiongkok dan gambar bendera Tiongkok cukup mampu melindungi orang-orang Tionghoa dari amukan massa dan laskar liar Indonesia . Situasi semakin gawat, tentara republic semakin liar tak terkendali. Menjarah, memperkosa dan membunuh orang-orang Tionghoa. Akhirnya, sebagai hasil pembicaraan antara perdana menteri Sjahrir dan Oey Kim Sen, dibentuklah Pao An Tui engan tugas melindungi jiwa dan harta orang Tionghoa. Dalam perjalanannya, Pao An Tui menjadi sangat anti-Belanda. Di Surabaya, Pao An Tui bahu-membahu dengan tentara republic Indonesia melawan belanda. Tetapi anehnya dan sungguh LUCU, kemudian public pribumi Indonesia memojokan Pao An Tui sebagai elemen pro-NICA. Bagaimana mungkin sebuah organisasi keamanan yang disetujui oleh Perdana Menteri Republik Indonesia bisa dinyatakan sebagai elemen anti- Indonesia???