Terima kasih atas tanggapannya dalam e-mail terakhir Anda ini.
Saya hargai dan saya yakin Anda akan penuhi kata-kata Anda tersebut. 

Sebagian besar generasi muda sekarang tumbuh dan besar dalam masa orde
baru, yang tentunya sedikit-banyak telah membentuk cara dan pola pikir
tertentu, yang mungkin masih kita rasakan sekarang. 

Dalam masa itu, pengetahuan generasi muda terhadap sejarah, politik
dan budaya tionghoa, tentu amat berbeda dengan apa yang dialami oleh
generasi sebelumnya. Selain kondisi geopolitik dunia yang saat itu
sangat mengacu ke barat (hegemoni US yang sangat kuat), kondisi
politik dalam negeri pun tidak menyediakan ruang yang cukup untuk
mengakses informasi dan mengekspresikan secara leluasa akan tradisi
dan budaya yang mungkin sudah turun-temurun diwariskan. 

Walaupun demikian, dengan berbagai cara dan keterbatasan, sekelompok
generasi muda mampu tetap mempertahankan budaya dan tradidi (yang
mungkin juga sudah di-adaptasi, sedikit-demi-sedikit, dengan
nilai-nilai yang baru). Ini patut dihargai. 

Berubahnya geopolitik dunia, dengan munculnya RRC sebagai kekuatan
ekonomi/politik baru, dan perubahan dinamika politik dalam negeri,
telah membawa perubahan dalam 9 tahun terakhir ini. Akses terhadap
informasi sejarah tionghoa di Indonesia dan nilai-nilai tradisi/budaya
tionghoa dan dinamika-nya dengan negara RRC/Tiongkok pun terbuka lebar. 

Banyaknya buku-buku yang mengupas sejarah tionghoa di Indonesia pun
semakin membuka minat dan wawasan generasi muda akan apa yang pernah
terjadi. Beberapa yang cukup lengkap, misalnya buku-buku dari Leo
Suryadinata, Benny G.Setiono dan Denys Lombard, mengupas dinamika
keterlibatan Tionghoa Indonesia dalam pembentukan negara Indonesia. 

Generasi muda mulai mengenal kembali sepak terjang Kwee Hing Tjiat,
Lim Koen Hian, Siauw Giok Tjhan, Yap Thiam Hien, dll. 
Peristiwa-peristiwa yang tadinya tabu dibicarakan, sekarang dapat
diketahui publik dengan lebih mudah. 

Perubahan kesadaran ini, membuat generasi muda tionghoa bersemangat
kembali untuk menggali jati diri dan budaya yang mungkin terpendam,
dan terlibat aktif dalam masyarakat. 

Munculnya Buku Purnama di Bukit Langit (karangan Zhou Fuyen),
misalnya, merupakan wujud meningkatnya minat kalangan tionghoa muda
terhadap sastra dan budaya tionghoa. Demikian juga adanya
diskusi-diskusi yang berlangsung di beberapa milis. 

Keikutsertaan beberapa tionghoa dalam pilkada juga menunjukkan
perkembangan yang positif dalam dunia politik. 

Bagi mereka yang memahami suatu proses perubahan (kalau dalam filsafat
tiongkok, bisa dipelajari dalam buku I Ching), tentunya memahami jika
perubahan ini akan diikuti dengan beberapa ekses yang harus di-manage
dalam koridor yang benar.  

Jangan sampai ekses-ekses kecil ini menarik mundur atau membuat
perubahan menjadi kebablasan. 


Ya, orde baru sedikit banyak telah membentuk dan masih menyisakan
persepsi dan cara pikir kita (tidak hanya kelompok tionghoa, tapi juga
kelompok masyarakat lainnya). Tapi, waktu yang banyak tersedia
didepan, dan ruang yang sudah diberikan, dapat dimanfaatkan dengan
bijaksana untuk mengikuti laju perubahan persepsi dan cara pikir yang
sekarang sedang terjadi. 

Tidak hanya inward dan backward looking, tapi menjadi outward dan
forward looking. 


Prometheus



--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "extrim_bluesky"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> saya terangkan secara lebih rinci, sekalipun
> saya agak malas berdialog dgn anda. tetapi
> untuk menghormati diskusi maka saya tulis
> email terakhir ini untuk anda Mas Prom. 
> 
> Generasi muda saat ini jelas merupakan
> produk BRAIN WASH pemerintah Orde Baru.
> sehingga generasi muda saat ini tidak
> mengerti lagi tentang posisi dirinya
> dgn latar belakang sejarah etnisnya di
> Indonesia. contoh, penggunaan istilah 
> "C!N@" oleh segelintir kecil pemuda/i di milis
> ini adalah contoh produk afkir tersebut. 


Kirim email ke