Kehidupan luks dan dekadensi Tempo Doeloe dan sekarang-dipanang dari sudut
kebudayaan Tionghoa (Bagian satu)

 

Kehidupan moral, ethik bagi manusia adalah salah satu kemajuan kebudayaan
satu bangsa. Kehidpan moral menunjukkan hubungan yang erat antara perasaan
dan pikiran yang benar. Kedua faktor ini membedahkan antara manusia dan
hewan, pada manusia pikiran dan perasahan berkembang jauh lebih tinggi dan
"sofisticated" dibanding dengan hewan. Maka sebagai manusia kita harus
memperkembangkan moraal yang baik. Menurut Kong Fu Zi untuk perkembangan ini
perlu ditingkatkan perasahan malu. Dengan ini dimaksudkan  bahwa tanpa
perasahan tidak mungkin kita mempunyai moral yang baik.

Bagaimana cara hidup orang Temp Doeloe, pertanyaan ini tidak chusus untuk
etnis Tionghoa saja, tetapi untuk umum. Perkembangan kebudayaan pada
dasarnya bagi segala bangsa sama, ialah bagaimana kita bisa memenuhi kemauan
manusia untuk hidup lebih efisien dan memberi kepuasan, tentunya masih ada
faktor-faktor klimatologi, kekayaan dan kesuburan tanah, geografi,
kebijaksanaan pimpinan etc.etc yang menyebabkan perbedahan. 

Otobiografi ini adalah riwayat saya, anggota keluarga Tionghoa klas
menengah, tidak ada kelebihan financiil, persis cukup untuk penghidupan
sehari-hari. Untuk mencukupi penghidupan, saya perlu bekerja sebagai guru
disekolah Tionghoa Shin Hua High School. Keluarga saya tidak punya mobil,
dan saya harus naik sepeda ke sekolahan dan kuliah di fakultas Kedokteran
Airlangga  dari Sidodadi ke Karangmenjangan yang jaraknya kira-kira delapan
kilometer. Meskipun tidak kaya tetapi kehidupan keluarga saya dapat katakan
secara singkat: relasi keluarga yang h.angat.

Sebagai satu anggota dari masyarakat Indonrsia dan chususnya anggota
masyarakat Tionghoa di Surabaya. Maka untuk mengecilkan ruangan bercerita,
dan pula yang saya alami sendiri ialah dalam masyarakat Hua Yi, Hua ren.
Saya perlu sayangkan bahwa pada jaman remaja saya, apalagi jaman generasi
lebih tua lagi hubungan etnis- etnis tidak bebas, etnis Tionghoa beinteraksi
dalam masyarakatnya dan etnis Jawa dengan masyarakat Jawa. Dibab ini
persoalan sebab dan akibat dari tertutupnya  masyarakat masing-masing saya
anggap diluar dari ruangan yang didiskusikan. Meskipun penghidupan kita ini
sudah merupahkan satu network yang masing-masing saling membutuhkan dan
etnis Tionghoa adalah satu anggota intergral dari bangsa dan rakyat
Indonesia.. 

Kita tahu dari pengalaman norma-norma hidup jaman sekarang, kalau kita tahu
penghidupan jamanya engkong (opa), kongtjo (Ayah dari opa)  saya, lalu
perkembangannya kita bandingkan denagn sekarang yang kita alami, kemungkinan
kita bisa menganalisa kira-kira norma-norma hidup yang akan datang. Dalam
pikiran saya untuk menjawab persoalan yang saya kemukakan diatas, saya tahu
bahwa penghidupan orang Tionghoa Tempo Doeloe, yang kaya ialah keluarga dari
mayor, kapten, letnan Tionghoa atau pedagang-pedagang yang besar, tafsiran
saya mereka ini berjumblah kira-kira 10%. 

Orang Tionghoa Tempo Doeloe kebanyakan ialah golongan social pertengahan dan
yang tergolong social rendah. Orang Tionghoa yang rich dan famous tinggalnya
dijalan-jalan besar dan pusat perdagangan, Simiskin tinggal di gang-gang
(kampung). Daerahnya lebih terpencil lebih rendah tingkat sosialnya. Mereka
bercampur dengan golongan pribumi sama tingkat sosialnya. Relasi dan
interaksi dapat dikatakan intens, karenanya mereka bisa integrasi dan karena
tidak adanya kekuatan yang menghalangi mereka, maka terjadilah asimilasi
secara alamiah. Situasi begini dapat kita lihat di kota Solo dan Kalimantan.
Ada orang asal Tionghoa yang menjadi orang Jawa (asli) dan tidak dapat
dibedahkan lagi dengan orang Pribumi. Ada juga wanita Jawa yang telah menika
dengan orang Tionghoa yang Doeloe dinamakan Nyai, pandai bicara bahasa
dialek Tionghoa tanpa aksen Jawanya. Keluarga demikian ini tampak ada
beberapa keluarga karana peraturan P.P. 10 ikut Wei-Guo. Pengalaman saya
ialah seorang ibu Indonesia yang berjualan Loh Mie dan babi-lu diKampung
Doekoeh sebelah Klenteng. Beliau sudah pandai masak babi- lu ini dan pandai
bahasa dialek Hokkian. Kedua di Pecinan Semarang ada warung makan Hok-Jia
dimana ibu Pribumi sangat lancar bahasa Hokjianya, kalau tidak berhadapan,
dengar suaranya, kita kira ibu ini seorang wanita asli Hok Jia, begitu
mahirnya beliau bicara Hok Jia. Ibu ini yang melayani dan yang masak masakan
Hok Jia, seperti warung Loh Mie yang saya sering makan dengan teman-teman
saya diKampong Doekoeh, Surabaya.

Reply via email to