Ts Dr. Han Yth; Ada baiknya tulisan ini juga dikirim ke URECA - sebab ada baiknya dibaca oleh kelompok yang lain . Apalagi kalau mau dijadikan OtoBiografi yang lebih detail. Tentunya akan jadi Wacana kelompok muda agar tau Masyarakat Pertengahan sejak dulu BERJUANG dengan TEKUN dan SERIOUS untuk mendapatkan TEMPAT/ KEDUDUKAN yang lebih tehormat. Mereka harus tahu SULITnya bersaing ! dan perjuangan sampai Dr. Han berhasil !Hal unu tidak diperoleh dalam satu dua tahun !! Bagaimana anda harus ikut pindah2 sampai akhirnya terdampar di Holland - dan dapat berbuat positif untuk Holland maupun Tiongkok. INI yang HRUS ditiru oleh yang lain !! Sampai jumpa; Tony S
--- On Sun, 17/8/08, Han Hwie Song <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Han Hwie Song <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [budaya_tionghua] Re:Kehidupan luks dan dekadensi Tempo Doeloe (satu bagian dari otobiografi saya) bersambug To: "HKSIS" <[EMAIL PROTECTED]>, "Nasional-list" <[EMAIL PROTECTED]>, "Jonathan Goeij" <[EMAIL PROTECTED]>, "Tionghoa-net" <[EMAIL PROTECTED]>, "Budaya Tionghua" <budaya_tionghua@yahoogroups.com>, "Nasional-list" <[EMAIL PROTECTED]>, "komunitas-tionghoa" <[EMAIL PROTECTED]> Date: Sunday, 17 August, 2008, 7:06 PM Kehidupan luks dan dekadensi Tempo Doeloe dan sekarang-dipanang dari sudut kebudayaan Tionghoa (Bagian satu) Kehidupan moral, ethik bagi manusia adalah salah satu kemajuan kebudayaan satu bangsa. Kehidpan moral menunjukkan hubungan yang erat antara perasaan dan pikiran yang benar. Kedua faktor ini membedahkan antara manusia dan hewan, pada manusia pikiran dan perasahan berkembang jauh lebih tinggi dan “sofisticated” dibanding dengan hewan. Maka sebagai manusia kita harus memperkembangkan moraal yang baik. Menurut Kong Fu Zi untuk perkembangan ini perlu ditingkatkan perasahan malu. Dengan ini dimaksudkan bahwa tanpa perasahan tidak mungkin kita mempunyai moral yang baik. Bagaimana cara hidup orang Temp Doeloe, pertanyaan ini tidak chusus untuk etnis Tionghoa saja, tetapi untuk umum. Perkembangan kebudayaan pada dasarnya bagi segala bangsa sama, ialah bagaimana kita bisa memenuhi kemauan manusia untuk hidup lebih efisien dan memberi kepuasan, tentunya masih ada faktor-faktor klimatologi, kekayaan dan kesuburan tanah, geografi, kebijaksanaan pimpinan etc.etc yang menyebabkan perbedahan. Otobiografi ini adalah riwayat saya, anggota keluarga Tionghoa klas menengah, tidak ada kelebihan financiil, persis cukup untuk penghidupan sehari-hari. Untuk mencukupi penghidupan, saya perlu bekerja sebagai guru disekolah Tionghoa Shin Hua High School . Keluarga saya tidak punya mobil, dan saya harus naik sepeda ke sekolahan dan kuliah di fakultas Kedokteran Airlangga dari Sidodadi ke Karangmenjangan yang jaraknya kira-kira delapan kilometer. Meskipun tidak kaya tetapi kehidupan keluarga saya dapat katakan secara singkat: relasi keluarga yang h.angat. Sebagai satu anggota dari masyarakat Indonrsia dan chususnya anggota masyarakat Tionghoa di Surabaya. Maka untuk mengecilkan ruangan bercerita, dan pula yang saya alami sendiri ialah dalam masyarakat Hua Yi, Hua ren. Saya perlu sayangkan bahwa pada jaman remaja saya, apalagi jaman generasi lebih tua lagi hubungan etnis- etnis tidak bebas, etnis Tionghoa beinteraksi dalam masyarakatnya dan etnis Jawa dengan masyarakat Jawa. Dibab ini persoalan sebab dan akibat dari tertutupnya masyarakat masing-masing saya anggap diluar dari ruangan yang didiskusikan. Meskipun penghidupan kita ini sudah merupahkan satu network yang masing-masing saling membutuhkan dan etnis Tionghoa adalah satu anggota intergral dari bangsa dan rakyat Indonesia.. Kita tahu dari pengalaman norma-norma hidup jaman sekarang, kalau kita tahu penghidupan jamanya engkong (opa), kongtjo (Ayah dari opa) saya, lalu perkembangannya kita bandingkan denagn sekarang yang kita alami, kemungkinan kita bisa menganalisa kira-kira norma-norma hidup yang akan datang. Dalam pikiran saya untuk menjawab persoalan yang saya kemukakan diatas, saya tahu bahwa penghidupan orang Tionghoa Tempo Doeloe, yang kaya ialah keluarga dari mayor, kapten, letnan Tionghoa atau pedagang-pedagang yang besar, tafsiran saya mereka ini berjumblah kira-kira 10%. Orang Tionghoa Tempo Doeloe kebanyakan ialah golongan social pertengahan dan yang tergolong social rendah. Orang Tionghoa yang rich dan famous tinggalnya dijalan-jalan besar dan pusat perdagangan, Simiskin tinggal di gang-gang (kampung). Daerahnya lebih terpencil lebih rendah tingkat sosialnya. Mereka bercampur dengan golongan pribumi sama tingkat sosialnya. Relasi dan interaksi dapat dikatakan intens, karenanya mereka bisa integrasi dan karena tidak adanya kekuatan yang menghalangi mereka, maka terjadilah asimilasi secara alamiah. Situasi begini dapat kita lihat di kota Solo dan Kalimantan. Ada orang asal Tionghoa yang menjadi orang Jawa (asli) dan tidak dapat dibedahkan lagi dengan orang Pribumi. Ada juga wanita Jawa yang telah menika dengan orang Tionghoa yang Doeloe dinamakan Nyai, pandai bicara bahasa dialek Tionghoa tanpa aksen Jawanya. Keluarga demikian ini tampak ada beberapa keluarga karana peraturan P.P. 10 ikut Wei-Guo. Pengalaman saya ialah seorang ibu Indonesia yang berjualan Loh Mie dan babi-lu diKampung Doekoeh sebelah Klenteng. Beliau sudah pandai masak babi- lu ini dan pandai bahasa dialek Hokkian. Kedua di Pecinan Semarang ada warung makan Hok-Jia dimana ibu Pribumi sangat lancar bahasa Hokjianya, kalau tidak berhadapan, dengar suaranya, kita kira ibu ini seorang wanita asli Hok Jia, begitu mahirnya beliau bicara Hok Jia. Ibu ini yang melayani dan yang masak masakan Hok Jia, seperti warung Loh Mie yang saya sering makan dengan teman-teman saya diKampong Doekoeh, Surabaya. Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com