Mungkin ada pengertian berbeda dengan istilah teman lawan. 
 
Dalam suasana damai, dalam alam demokratis, yang namanya lawan politik memang 
tak perlu adu kekerasan, tak boleh menggunakan cara paksaan, sampai larang 
melarang! 
 
Tapi lawan tetap lawan, dalam kampanye kita boleh menggunakan kata2 yang 
keras sekalipun untuk memukul lawan politik, bahkan boleh menyatakan perang thd 
ideologi lawan politik. Meski yang namanya keras dan perang  hanya terbatas 
dalam kata2, tetap saja mencerminkan siapa kawan siapa lawan.
 
Masak dengan kawan diskusi kita pakai ungkapan sekeras itu? ya tidak to ...
 
ZFy



----- Original Message ----
From: Akhmad Bukhari Saleh <[EMAIL PROTECTED]>
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, September 30, 2008 2:27:36 PM
Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: VOA sudah tidak menggunakan kata Cina


----- Original Message ----- 
From: danarhadi2000
To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
Sent: Tuesday, September 30, 2008 9:41 AM
Subject: [budaya_tionghua] Re: VOA sudah tidak menggunakan kata Cina

> melalui jalan demokratis, partai kecil Neo Nazi,
> yang TERANG-TERANGAN mengusung idee Hitler,
> menjadi kekuatan keTIGA. FPOe.
> Setelah itu baru pada demokrat kaget setengah mati,
> dan dalam pemilihan berikutnya berhasil menekan kembali
> partai neo nazi ini.

------------ --------- --------- ---

Nah, paragraf ini sudah menjawab sendiri semuanya yang Nano-heng uraikan!
Bahwa persoalannya bukan teman vs musuh, kawan vs
lawan, tetapi pengelolaan perbedaan pendapat di antara sesama anak bangsa, 
melalui cara yang beradab.

Walau terang-terangan pewaris Hitler, sang Dajal yang
tangannya paling bersimbah darah dalam sejarah dunia, tapi
toh neo Nazi tidak dilawan sebagai musuh, sehingga tidak dilarang 
eksistensinya. Melainkan diperlakukan sebagai
rekan dalam mekanisme beda pendapat demokratis, sebagai
teman sesama warga bangsa, dalam forum Wahl berikutnya.
Kalau andaikata pihak demokrat kalah dalam Wahl (mudah-
mudahan tidak terjadi), ya sudah, berarti masyarakat
bagaimanapun memang lebih menganggap benar teman-
teman yang berbeda pendapat dengan kita itu. Tinggal
bagaimana kita mampu mensosialisasikan pendapat kita
dengan cara dan bukti nyata yang lebih meyakinkan, dalam Wahl berikutnya, 
tanpa harus mengibarkan panji-panji
kawan-lawan, teman-musuh.

Contoh lain yang lebih kecil magnitude-nya, tetapi tidak
kurang maknanya, adalah Zhou-heng dengan saya.
Dalam politik ketionghoaan Indonesia bisa saja kami teman
dalam beradu pendapat, tetapi dalam pengembangan
susastera tionghoa Indonesia nyatanya kami teman dalam kemitraan.

Begitulah mekanisme peradaban modern bekerja, Nano-heng.
Welfare a'la Jamsostek barangkali memang masih kontemporer, tetapi 
absolutisme nach Canossa gehen wir nicht sudah di belakang kita...

Wasalam.

 


      

Reply via email to