Uly: Huehehehehe, ya deh gue ngerti, lu mau membelokkan masalah jati diri ke urusan hilangnya bahasa Tionghoa gitu yah. KH: Coba diriviu lagi: Lu bilang: LPKB jadi penjahat or pahlawan tergantung siapa yang nilai, Gua bilang: Orang2 LPKB adalah PAHLAWAN bagi: - Cina yang sudah tidak ingin jadi Cina lagi - Pendukung konsep asimilasi (tidak mesti Cina) - Rezim Orba - Orang2 yang anti keberagaman tapi mereka adalah PENJAHAT bagi: - Tionghoa yang dipaksa meninggalkan jati dirinya - Pendukung konsep itegrasi - Pencinta kebudayaan Tionghoa (tidak harus orang Tionghoa) - Penganut agama Tionghoa (terutama KHC)
Terus lu bilang: Hmm, we'll see. Gue ini : - cina yang masih bangga jadi cina - tionghoa yang belum pernah meninggalkan jati diri, dipaksa maupun tidak - pendukung konsep hidup berdampingan secara damai - apa pun namanya, mau integrasi kek, asimilasi kek, yang penting damai - reformis - pecinta kebudayaan tionghoa - orang yang terbiasa dengan keragaman - penganut faham freethinker, tidak terikat agama manapun Logika gua sih begini: Kalo lu emang : -pecinta kebudayaan tionghoa -belum pernah meninggalkan jati diri, dipaksa atau tidak kudunya lu gak setuju pelarangan bhs Tionghoa, gak setuju asimilasi yang dipaksakan, dll Terus gua kasih contoh bahwa lu gak bisa bhs Mandarin itu krn "jasa" orba (yang didukung oleh orang2 LPKB). Tapi karena lu gak ngerasa, ya sudah. Artinya lu memang gak bisa melihat peranan orang2 LPKB dalam membonsai budaya Tionghoa di Indonesia. Gitu saja neng. --------------------------------------- Uly: Menurut gue, seandainya pun tionghoa tionghoa dibiarkan bebas dengan bahasanya sendiri, tidak akan berbeda banyak dengan keadaan jaman sekarang, malahan mungkin lebih parah. KH: Kalau orang Tionghoa di Indonesia dibiarkan bebas berbahasa Tionghoa, kemudian karena kemauan sendiri meninggalkan bahasanya -> ini urusan lain neng! Yang penting tidak dilarang, tidak dipaksa begitu begini ----------------------------------------------- Uly: Gue perbandingkan aja dengan temen-temen gue, yang Jawa, yang Sunda, saat ini mereka sendiri ngerasa, bahwa kemampuan mereka "berbahasa ibu" (minjem istilah elu) sudah sangat-sangat berkurang dibandingkan angkatan yang sebelumnya. Padahal bokap nyokapnya masih bisa kok berbahasa jawa halus, berbahasa Sunda lemes, lha kok anaknya sama kayak gue - yang lu anggap 'tercabut dari akar ' gitu? padahal nggak ada lhoh larangan berbahasa Jawa dan Sunda. KH: Berkurangnya kemampuan penutur bhs2 daerah terjadi di mana2, di luar pulau Jawa malah lebih parah lagi. Tetapi, sekali lagi, mereka tidak dipaksa atau dilarang. Ini yang penting. Kalau orang Sunda yang tinggal di daerah Sunda, seharusnya masih bisa berbhs Sunda. Dan mereka berbhs Sunda lebih baik daripada neng Uly berbhs Hokkian. Orang Jawa yang tinggal di Jawa juga pasti bhs Jawanya lebih baik daripada bhs Hokkian neng Uly. --------------------------------------------- Uly: Begitu pun di Singapura Nggak ada larangan berbahasa mandarin. Tapi angkatan gue disana lebih nyaman saling bicara dengan bahasa Inggris tuh, biarpun mandarinnya nggak sekacau gue sih. KH: Di Singapura ada golongan yang 'lebih modern', yang berbahasa Inggris. Belakangan, ada gerakan bagi mereka untuk menggunakan bhs Mandarin (speak mandarin campaign). Gimana kalo kita kumpulin 20 orang Singapura dan 20 orang Jawa secara acak, terus dites kemampuan bahasa Tionghoanya (Mandarin + dialek). Menurut lu siapa yang menang? --------------------------------------------------------------------- Uly: Coba 20 taon yang lalu, seandainya pun bahasa Mandarin di bebaskan untuk dipelajari, gue yakin lebih laku tempat kursus bahasa Inggris. KH: Bisa jadi, kalo Cina2 di sini adalah pengikut LPKB semua. Kalo perlu sekalian buka klinik untuk ganti kulit, operasi mata, dan ganti darah, supaya ciri2 fisik sbg Cina nya habis. ----------------------------------------- Uly: Jadi kalau nggak bisa bahasa mandarin, ya nggak perlu nuding ORBA jadi kambing item laaaarrr. KH: Tergantung siapa yang menilai. Bagi pendukung LPKB, ORBA adalah pahlawan. Lu kan suka ngutip Charles A Coppel. Ini gua kutip sedikit tulisannya dari <Studying Ethnic Chinese in Indonesia> tulisan Charles A. Choppel: {begin} This ban produces the absurd result that Chinese dictionaries in Indoensia have to be in romanized script. I still remember being bemused in Gunung Agung bookshop in Jakarta to see, side by side, a Japanese dictionary using the Chinese-derived kanji characters and a Chinese dictionary in romanised script. Once again, there is a clearly discriminatory ban: there is no similar ban on other non-romanised scripts. {end} KH --- On Wed, 10/1/08, Ulysee <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Ulysee <[EMAIL PROTECTED]> Subject: RE: Ketidakmampuan Mandarin Bukan Ukuran ()Re: [budaya_tionghua] Fwd: Apa kata Harry Tjan RE: [t-net] Selayang Pandang : Diskusi Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Wednesday, October 1, 2008, 4:33 PM Huehehehehe, ya deh gue ngerti, lu mau membelokkan masalah jati diri ke urusan hilangnya bahasa Tionghoa gitu yah. Jadi dibiarin nge-gantung aja urusan korelasi kemampuan bahasa mandarin dan jati diri yah? Boleeeh, nggak masyalah buat gue mah. Hayuk lah kita belok yah, ke masalah 'di-paksa itu' Menurut gue, seandainya pun tionghoa tionghoa dibiarkan bebas dengan bahasanya sendiri, tidak akan berbeda banyak dengan keadaan jaman sekarang, malahan mungkin lebih parah. Gue perbandingkan aja dengan temen-temen gue, yang Jawa, yang Sunda, saat ini mereka sendiri ngerasa, bahwa kemampuan mereka "berbahasa ibu" (minjem istilah elu) sudah sangat-sangat berkurang dibandingkan angkatan yang sebelumnya. Padahal bokap nyokapnya masih bisa kok berbahasa jawa halus, berbahasa Sunda lemes, lha kok anaknya sama kayak gue - yang lu anggap 'tercabut dari akar ' gitu? padahal nggak ada lhoh larangan berbahasa Jawa dan Sunda. Begitu pun di Singapura Nggak ada larangan berbahasa mandarin. Tapi angkatan gue disana lebih nyaman saling bicara dengan bahasa Inggris tuh, biarpun mandarinnya nggak sekacau gue sih. Apakah fenomena ini karena dipaksa paksa, atau terpaksa paksa? Gue bilang kondisinya malahan mendingan bahasa mandarin ketimbang nasib bahasa Jawa dan Sunda, karena banyak orang merasa 'dipaksa' tidak belajar bahasa mandarin di jaman ORBA, di jaman sekarang jadi pada sibuk euphoria belajar mandarin. kebetulan RRC lagi berkembang juga perekonomiannya, jadi lebih banyak lagi yang merasa BUTUH belajar mandarin. Coba 20 taon yang lalu, seandainya pun bahasa Mandarin di bebaskan untuk dipelajari, gue yakin lebih laku tempat kursus bahasa Inggris. Jadi kalau nggak bisa bahasa mandarin, ya nggak perlu nuding ORBA jadi kambing item laaaarrr. -----Original Message----- From: budaya_tionghua@ yahoogroups. com [mailto:budaya_ tionghua@ yahoogroups. com] On Behalf Of King Hian Sent: Wednesday, October 01, 2008 2:24 PM To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com Subject: RE: Ketidakmampuan Mandarin Bukan Ukuran ()Re: [budaya_tionghua] Fwd: Apa kata Harry Tjan RE: [t-net] Selayang Pandang : Diskusi Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI Uly: Jadi Kemungkinannya ada 2: 1. KH beranggapan bahwa kemampuan bahasa mandarin adalah bagian dari jati diri tionghoa, sehingga kalau enggak bisa berbahasa mandarin, berarti harusnya merasa kehilangan ketionghoaannya. Enggak bisa mandarinnya karena dipaksa atau tidak - berarti sudah meninggalkan jati dirinya??? 2. (.... belon kepikir apa... KH boleh isi sendiri deh, barangkali ada kemungkinan maksud lain yang gue nggak kelihatan??? ?) KH: Maksud gua: kita2 ini (Cina produk orde baru) DIPAKSA kehilangan kemampuan bhs Tionghoanya (tidak mesti Mandarin). Yang 'DIHILANGKAN' dari kita ini mencakup seluruh aspek tradisi (termasuk agama) Tionghoa. Gua angkat masalah bahasa adalah sebagai satu contoh yang paling gampang dilihat. Masalahnya ada orang yang sadar bahwa dirinya "telah dicabut dari akar", ada yang tidak. Ada pula yang lebih ekstrim: orang2 Cina, yang menganjurkan pelarangan itu. Tapi semua ini memang tergantung persepsi kita masing2, mau ngerasa atau tidak, itu pilihan. Tapi sebaiknya jangan jadi tipe fosil (pake istilah lu)! KH Forum Diskusi Budaya Tionghoa dan Sejarah Tiongkok http://groups. yahoo.com/ group/budaya_ tionghua/ --- On Wed, 10/1/08, Ulysee <[EMAIL PROTECTED] com.sg> wrote: From: Ulysee <[EMAIL PROTECTED] com.sg> Subject: RE: Ketidakmampuan Mandarin Bukan Ukuran ()Re: [budaya_tionghua] Fwd: Apa kata Harry Tjan RE: [t-net] Selayang Pandang : Diskusi Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com Date: Wednesday, October 1, 2008, 12:11 PM Iya, gue belum pernah meninggalkan jati diri, dipaksa maupun tidak. Lalu hubungannya dimana antara jati diri dengan kemampuan berbahasa mandarin??? Coba dijelaskan secara gamblang sebab gue belum ngertiiiiiii. ......... ... Udah baca bolak balik penjelasan KH dibawah situ tetep aja nggak ngerti, kenapa dari jati diri belok ke kemampuan bahasa mandarin? to remind: > Uly: > > - cina yang masih bangga jadi cina > > - tionghoa yang belum pernah meninggalkan jati diri, > > dipaksa maupun tidak - - - - > KH: masa gak ngerasa sih? > apa neng Uly bisa ngomong bhs Cina? > neng Uly kagak bisa ngomong bhs Cina karena apa? > Di zaman orba bhs Cina kan 'barang terlarang'!" Jadi Kemungkinannya ada 2: 1. KH beranggapan bahwa kemampuan bahasa mandarin adalah bagian dari jati diri tionghoa, sehingga kalau enggak bisa berbahasa mandarin, berarti harusnya merasa kehilangan ketionghoaannya. Enggak bisa mandarinnya karena dipaksa atau tidak - berarti sudah meninggalkan jati dirinya??? 2. (.... belon kepikir apa... KH boleh isi sendiri deh, barangkali ada kemungkinan maksud lain yang gue nggak kelihatan??? ?) No virus found in this incoming message. Checked by AVG. Version: 7.5.524 / Virus Database: 270.7.5 - Release Date: 9/28/2008 12:00 AM No virus found in this outgoing message. Checked by AVG. Version: 7.5.524 / Virus Database: 270.7.5 - Release Date: 9/28/2008 12:00 AM