Bung Dipodipo,

Memang, kesadaran akan identitas mereka sebagai warga Cina Benteng 
owe nilai sangat tinggi. Pernah ada seorang teman warga Cina Benteng 
yang menyatakan kekesalannya kepada owe, karena orang “luar” yang 
tidak tahu bahwa dia seorang Cina, menyapanya dengan sapaan Abang 
(memang sih, orangnya Hitaci―Hitam Tapi Cina...). Dia langsung 
mengomel kepada kami yang sedang berkumpul: “Masa gua dipanggil 
Abang? Matanya buta, ‘kali!!!”. Makanya lebih bijak bila kita 
berhati-hati saat berhadapan dengan orang Cina Benteng: jangan 
langsung menyimpulkan bahwa mereka warga non-Tionghoa dan 
memanggilnya Pak, Abang, Mas, Ibu, Mpoq, Mbak, dll. Setelah kita 
yakin akan identitas mereka, mereka akan sangat menghargai kita 
kalau kita menyapa mereka dengan sapaan Empeq, Encek, Ngko, Ncim, 
atau Nci. Kata ganti orang kedua yang dianggap hormat adalah Kode 
(singkatan Koko Gede) dan Cide (Cici Gede). 

Penggunaan istilah ‘Tionghoa’ dan ‘pribumi’ kan mereka pelajari 
dari “luar”, bukan sesuatu yang berasal dari dalam diri mereka 
sendiri. Tidak seperti Cina dan Kampung.

Kiongchiu,
DK

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "dipodipo" 
<[EMAIL PROTECTED]:

Dari pengalaman saya bergaul dengan mereka, benar di antara mereka 
sendiri masih menggunakan istilah cina dan kampung. Akan tetapi di 
kalangan mudanya, jika berhadapan dengan orang "luar" mereka kadang 
menggunakan istilah tionghoa dan pribumi. 

Yang agak sensitif terhadap orang cina benteng justru kalau kita 
salah menyapa. Mereka kurang suka kalau saya sapa "pak", 
maunya "koh" "ci" atau "om", "encim". 

Salam

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David Kwa" <david_kwa2003@> 
wrote:

Memang secara umum orang Tionghoa menyebut diri mereka Tnglang. 
Namun, sebenarnya, di kalangan orang Cina Benteng istilah 
tradisional orang Cina dan orang Kampung (orang Selam/Islam) untuk 
membedakan etnik Tionghoa dan etnik non-Tionghoa (Betawi atau Sunda) 
sama sekali tidak mengandung makna pejoratif. Netral. Itulah 
sebabnya mereka dengan bebas menggunakan istilah itu tanpa 
rasa "bersalah". Misalnya, dalam pembicaraan antarsesama Tnglang 
bisa saja tiba-tiba muncul kalimat seperti: "Bapanya orang Cina, 
ibunya mah orang Kampung (Selam)". Biasa-biasa saja tuh, tidak ada 
masalah. Atau mungkin sekarang sudah berubah?

Mohon maaf seandainya pendapat owe ini dianggap agak "nyleneh".

Kiongchiu,
DK

Message #37194 of 37197

Tenglang Padang, Teng-beng. (Was: VOA sudah tidak menggunakan kata 
Cina) 

Bu Edith Koesoemawiria dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

ijinkan saya numpang nimbrung dikit ya.

Teng-lang itu kalau tak salah merujuk ke basa Tionghua dialek 
Hokkian. Teng = tang, sebutan orang Tiongkok di Tiongkok, dan lang = 
ren, orang. Teng-lang = orang Tiongkok, Tionghua. Kalau tak salah, 
merujuk ke suku Han, suku bangsa terbesar jumlahnya di Tiongkok. Ada 
kaitan dengan masa dinasti Tang. 
http://zh.wikipedia.org/wiki/&#21776;&#20154;

Sila lihat di sini: http://en.wikipedia.org/wiki/Han_Chinese

Kenapa ndak disebut orang Padang? Sebenernya sudah disebut selama 
ini. Pan ada istilah teng-lang Medan, teng-lang Padang, teng-lang 
Jambi, dan teng-beng - teng-lang benteng, benteng = istilah atau 
sebutan populer untuk kawasan Tangerang. Disebut demikian karena 
dulunya memang ada benteng yang dibangun oleh VOC atau Portugis 
untuk menjaga daerah kekuasaan mereka di pantai dekat Tangerang situ.

Setiap teng-lang yang mukim di daerah-daerah tertentu, memiliki 
kultur dan kebiasaan yang berbeda satu sama lain. Ini kemungkinan 
besar dipengaruhi oleh daerah asal nenek moyang mereka dari Tiongkok 
sana. Semisal teng-lang Medan kebanyakan berasal dari Hok-kian, dan 
Pontianak berasal dari Tio-chiu. Sementara Aceh dan Singkawang 
dominan dari Hak-ka.

Selengkapnya, sila lihat link ini (daftar nama suku-suku di 
Tiongkok):
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_ethnic_groups_in_China

Dan, tentu saja pengaruh daerah tempatan (lokal) ikut membuat kultur 
mereka berbeda pula walau sama-sama berasal dari Hok-kian, misalnya. 
Walau sama-sama bernenek moyang Hok-kian, tenglang Jawa sedikit 
banyak berbeda dari teng-lang Medan. Sedang teng-lang Jawa saja, 
dibedakan antara Jawa timur (diwakili Surabaya) dengan Jawa barat 
(diwakili Bandung) atau Jawa tengah (diwakili Solo, Semarang).

Mau tak mau, pengaruh lingkungan itu ikut merasuk ke dalam tata 
cara, adat istiadat, etiket pergaulan dan tentu saja makanannya. 
Dipercaya bahwa masakan teng-lang Jawa tengah lebih manis dari 
masakan teng-lang Jawa barat. Sebab memang lingkungan Jawa tengah 
cenderung ke manis. Misal untuk menu fuyunghai, misalnya, rasa manis 
pada saus fuyunghai yang agak-agak asam manis itu berbeda 'kadar' 
manisnya antara masakan buatan resto di Surabaya, Semarang dan 
Bandung.

Kalau soal rasa segan bertanya, mungkin sama saja seperti teng-lang 
juga merasa segan untuk bertanya-tanya soal etnis suku lain. Hal ini 
wajar saja, sebab ibarat kata pepatah 'tak kenal maka tak sayang', 
maka kalau anda tak kenal, tentu ada perasaan was-was atau takut 
menyinggung. Beda sekali kalau anda sudah kenal, maka perasaan segan 
itu menjadi cair dan enak saja bertanya bahkan bercanda yang lebih 
intim lagi.

Begitulah saja kiranya. Kalau salah sila koreksi, kalau kurang mari 
tambahkan saja.

Salam makan enak & sehat selalu,
Ophoeng
BSD City


Reply via email to