Kalau mendengar gambaran fisik seorang Tionghoa Tanggerang, saya 
ingat dokter kami di Vienna. Dr. Lauw. Beliauw ini gemuk, tidak 
tinggi, benar benar HiTaChi, dan bermata besar. Beliauw ini masih 
turunan pemilik gedung SinMingHui. Memang masih banyak saudara 
saudara di Tanggerang.

Mungkin, karena dari phak ngkong cukup berada, maka pendidikan juga 
cukup bagus, lulus SMA yang sama dengan saya, yakni Canisius. Hanya 
ketika Dr Lauw lulus, saya masuk SMA. Jadi gak pernah ketemu.

Beliauw ini pernah mencapai tingkat yang cukup tinggi dalam 
kedokteran di Austria, sebagai dokter bedah. Mendapat gelar profesi 
kenegaraan yang cukup membuat orang buka topi: "Medizinalrat". Dokter 
asli bule saja jarang yang mendapat titulatur ini.

By the way dokter dokter Tionghoa Indonesia Austria ini bertebaran 
bagaikan bintang kecil dilangit yang biru. Tidak saja di Austria, 
juga di Jerman dan Swiss. Bahwa komunitas Indonesia di Austria berada 
dipapan atas adalah sumbangsih saudara saudara Tionghoa.

Seorang teman, yang selalu main kekamar saya di asrama mahasiswa, 
ngobrol sambil main kartu, atau menghafal anatomi sambil saling test, 
kini menjadi dokter kepala dibidang kardiologi RS Pondok Indah. David 
Liu.

Terus terang, teman teman Tionghoa asal Tanggerang jarang dalam 
kehidupan saya. Kebanyakan dari Pantura, Lasem, Kudus, Semarang, 
Slawi atau Wonosobo. Dan of course, sak abrek abrek  dari Minahasa. 
Seperti keluarga pak Lembong.

Teman saya sekamar, dan sudah seperti saudara kandung, Liauw Tek 
Seng, seorang Konghu, ketika saya ceritakan, saya pernah naksir 
seorang wanita Hakka, sama sama mahasiswa di PMKRI doeloe,  
katakan: "Wah berat No, dapet orang Hakka, udah gak usah aja deh". 
Saya jawab:" lha memangnya gue bisa milih? kalau naksir ya naksir 
aja, darimana kek!"..

By the way, di Tanggerang ada kelenteng tua sekali ya? 

Beda dengan di Tanggerang, dimana ada orang Tionghoa Benteng dan 
orang Selam, maka di Minahasa baik Tionghoa maupun Kawanua 75% sama 
sama Kristen. Nah, yang Tao dan KHCpun sangat menyatu dengan penduduk 
setempat, dimana sama sama sipit, sama sama kuning, sama sama memakai 
bahasa Melayu-Minahasa, sama sama pakai kebaya putih encim,  sulit 
dibedakan. Masakanpun sangat mirip, dua duanya punya sate babi, 
rasanya tak jauh beda. Juga babi kecap. Orang Tionghoapun jago 
memasak Tinorangsak, ayam di bulu, ayam rica, paniki, dsb.

Dimasa Imlek, dimana Toapekong diarak, keluar juga kelompok Minahasa 
yang menarikan Tari Kabasaran, musik bambu dan pertunjukan khas 
Minahasa lainnya. Kalau pak almarhum jendral Worang, si pendekar 
revolusi itu jalan jalan di Kota, pasti disapa Ngko ha ha ha.

Salam

Danardono






--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David Kwa" 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Bung Dipodipo,
> 
> Memang, kesadaran akan identitas mereka sebagai warga Cina Benteng 
> owe nilai sangat tinggi. Pernah ada seorang teman warga Cina 
Benteng 
> yang menyatakan kekesalannya kepada owe, karena orang “luar” 
yang 
> tidak tahu bahwa dia seorang Cina, menyapanya dengan sapaan Abang 
> (memang sih, orangnya Hitaci―Hitam Tapi Cina...). Dia langsung 
> mengomel kepada kami yang sedang berkumpul: “Masa gua dipanggil 
> Abang? Matanya buta, ‘kali!!!”. Makanya lebih bijak bila kita 
> berhati-hati saat berhadapan dengan orang Cina Benteng: jangan 
> langsung menyimpulkan bahwa mereka warga non-Tionghoa dan 
> memanggilnya Pak, Abang, Mas, Ibu, Mpoq, Mbak, dll. Setelah kita 
> yakin akan identitas mereka, mereka akan sangat menghargai kita 
> kalau kita menyapa mereka dengan sapaan Empeq, Encek, Ngko, Ncim, 
> atau Nci. Kata ganti orang kedua yang dianggap hormat adalah Kode 
> (singkatan Koko Gede) dan Cide (Cici Gede). 
> 
> Penggunaan istilah ‘Tionghoa’ dan ‘pribumi’ kan mereka 
pelajari 
> dari “luar”, bukan sesuatu yang berasal dari dalam diri mereka 
> sendiri. Tidak seperti Cina dan Kampung.
> 
> Kiongchiu,
> DK
> 
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "dipodipo" 
> <[EMAIL PROTECTED]:
> 
> Dari pengalaman saya bergaul dengan mereka, benar di antara mereka 
> sendiri masih menggunakan istilah cina dan kampung. Akan tetapi di 
> kalangan mudanya, jika berhadapan dengan orang "luar" mereka kadang 
> menggunakan istilah tionghoa dan pribumi. 
> 
> Yang agak sensitif terhadap orang cina benteng justru kalau kita 
> salah menyapa. Mereka kurang suka kalau saya sapa "pak", 
> maunya "koh" "ci" atau "om", "encim". 
> 
> Salam
> 
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David Kwa" 
<david_kwa2003@> 
> wrote:
> 
> Memang secara umum orang Tionghoa menyebut diri mereka Tnglang. 
> Namun, sebenarnya, di kalangan orang Cina Benteng istilah 
> tradisional orang Cina dan orang Kampung (orang Selam/Islam) untuk 
> membedakan etnik Tionghoa dan etnik non-Tionghoa (Betawi atau 
Sunda) 
> sama sekali tidak mengandung makna pejoratif. Netral. Itulah 
> sebabnya mereka dengan bebas menggunakan istilah itu tanpa 
> rasa "bersalah". Misalnya, dalam pembicaraan antarsesama Tnglang 
> bisa saja tiba-tiba muncul kalimat seperti: "Bapanya orang Cina, 
> ibunya mah orang Kampung (Selam)". Biasa-biasa saja tuh, tidak ada 
> masalah. Atau mungkin sekarang sudah berubah?
> 
> Mohon maaf seandainya pendapat owe ini dianggap agak "nyleneh".
> 
> Kiongchiu,
> DK
> 
> Message #37194 of 37197
> 
> Tenglang Padang, Teng-beng. (Was: VOA sudah tidak menggunakan kata 
> Cina) 
> 
> Bu Edith Koesoemawiria dan TTM semuah,
> 
> Hai, apakabar? Sudah makan?
> 
> ijinkan saya numpang nimbrung dikit ya.
> 
> Teng-lang itu kalau tak salah merujuk ke basa Tionghua dialek 
> Hokkian. Teng = tang, sebutan orang Tiongkok di Tiongkok, dan lang 
= 
> ren, orang. Teng-lang = orang Tiongkok, Tionghua. Kalau tak salah, 
> merujuk ke suku Han, suku bangsa terbesar jumlahnya di Tiongkok. 
Ada 
> kaitan dengan masa dinasti Tang. 
> http://zh.wikipedia.org/wiki/&#21776;&#20154;
> 
> Sila lihat di sini: http://en.wikipedia.org/wiki/Han_Chinese
> 
> Kenapa ndak disebut orang Padang? Sebenernya sudah disebut selama 
> ini. Pan ada istilah teng-lang Medan, teng-lang Padang, teng-lang 
> Jambi, dan teng-beng - teng-lang benteng, benteng = istilah atau 
> sebutan populer untuk kawasan Tangerang. Disebut demikian karena 
> dulunya memang ada benteng yang dibangun oleh VOC atau Portugis 
> untuk menjaga daerah kekuasaan mereka di pantai dekat Tangerang 
situ.
> 
> Setiap teng-lang yang mukim di daerah-daerah tertentu, memiliki 
> kultur dan kebiasaan yang berbeda satu sama lain. Ini kemungkinan 
> besar dipengaruhi oleh daerah asal nenek moyang mereka dari 
Tiongkok 
> sana. Semisal teng-lang Medan kebanyakan berasal dari Hok-kian, dan 
> Pontianak berasal dari Tio-chiu. Sementara Aceh dan Singkawang 
> dominan dari Hak-ka.
> 
> Selengkapnya, sila lihat link ini (daftar nama suku-suku di 
> Tiongkok):
> http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_ethnic_groups_in_China
> 
> Dan, tentu saja pengaruh daerah tempatan (lokal) ikut membuat 
kultur 
> mereka berbeda pula walau sama-sama berasal dari Hok-kian, 
misalnya. 
> Walau sama-sama bernenek moyang Hok-kian, tenglang Jawa sedikit 
> banyak berbeda dari teng-lang Medan. Sedang teng-lang Jawa saja, 
> dibedakan antara Jawa timur (diwakili Surabaya) dengan Jawa barat 
> (diwakili Bandung) atau Jawa tengah (diwakili Solo, Semarang).
> 
> Mau tak mau, pengaruh lingkungan itu ikut merasuk ke dalam tata 
> cara, adat istiadat, etiket pergaulan dan tentu saja makanannya. 
> Dipercaya bahwa masakan teng-lang Jawa tengah lebih manis dari 
> masakan teng-lang Jawa barat. Sebab memang lingkungan Jawa tengah 
> cenderung ke manis. Misal untuk menu fuyunghai, misalnya, rasa 
manis 
> pada saus fuyunghai yang agak-agak asam manis itu berbeda 'kadar' 
> manisnya antara masakan buatan resto di Surabaya, Semarang dan 
> Bandung.
> 
> Kalau soal rasa segan bertanya, mungkin sama saja seperti teng-lang 
> juga merasa segan untuk bertanya-tanya soal etnis suku lain. Hal 
ini 
> wajar saja, sebab ibarat kata pepatah 'tak kenal maka tak sayang', 
> maka kalau anda tak kenal, tentu ada perasaan was-was atau takut 
> menyinggung. Beda sekali kalau anda sudah kenal, maka perasaan 
segan 
> itu menjadi cair dan enak saja bertanya bahkan bercanda yang lebih 
> intim lagi.
> 
> Begitulah saja kiranya. Kalau salah sila koreksi, kalau kurang mari 
> tambahkan saja.
> 
> Salam makan enak & sehat selalu,
> Ophoeng
> BSD City
>


Reply via email to