RRS,

Menurut saya yang menarik dari si Put On, selain penggambaran 
kondisi sosial budaya masyarakat Tionghoa waktu itu, malah bahasanya 
yang khas Melayu Tionghoa. Kalau sudah diubah menjadi bahasa 
Indonesia, hilanglah jiwanya. Misalnya, bagaimana Put On memakai 
kata ganti orang pertama “owe” yang khas Peranakan kepada ‘Ne 
(ibu)-nya. Apa rasanya kalau diganti menjadi “saya” dan “mama” 
atau “ibu”? Rasanya malah kaga nyambung yah? 

Kita lihat, misalnya, bagaimana dengan sengit sang ‘Ne suka memaki 
si Put On dengan kata-kata “Anak sambel!” Lalu si Put On sambil 
melarikan diri menjerit-jerit: “Aduh, ampun, ‘Ne, owe kaga berani 
lagi!” Anak sekarang rasanya tidak akan terima kalau dibilang 
begitu, tapi anak dulu oke-oke aja tuh, tanpa ada sakit hati 
terhadap orangtua! Memang lucu rasanya sih, anak sendiri koq 
dikatain “anak sambel!”

Kiongchiu,
DK

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ophoeng" <[EMAIL PROTECTED]:

Bung ABS, Bung Sunny Thee dan TTM semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Senang denger kabar bahwa Si Put On diterbitkan lagi. Cuma ndak 
jelas apakah teks-nya pakai ejaan lama, atau sudah disesuaikan. Juga 
kalau bisa ada catatan tanggal dan tahun-nya yang jelas, tentu lebih 
mantap lagi bacanya. Jadi bisa ngebayangin kapan kejadiannya.

Lantas, sesudah si Put On, apakah ada yang masih ingat kepada si A-
piao? Yang dulu kalau ndak salah suka muncul di Star Weekly (?).

Bagaimana dengan Si Djien Koey Cheng-tang dan Cheng-si?

Begitulah sahaja ya, kira-kira.

Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng
BSD City, Tangerang


Reply via email to