Betul juga Lim Wiss, segalanya berpulang pada anak bersangkutan bagaimana 
memperlakukan keluarga, atau khususnya orang-tuanya sendiri. Berdasarkan 
tradisi TIonghoa yang sejak kecil diajarkan, harus berbakti pada orang-tua, 
mengabdi pada orang tua, barangkali lebih berat diikuti oleh suku Khe, tentunya 
sikap tidak lagi peduli dan perhatikan keluarganya, dianggap anak yang put hao.

Tentu setelah dunia memasuki jaman modern, anak-anak setelah dewasa menempuh 
jalan hidupnya sendiri. Ini sudah pasti. Syukur kalau anak itu bisa dapatkan 
kerja cocok, mendapatkan hari-depan yang baik untuk tetap hidup disekitar 
orang-tuanya. Tapi, sekalipun harus menempuh hidup ditempat jauh, bagaimanapun 
juga harus peduli dan memberi perhatian pada orang-tuanya, dong. Apalagi 
seperti ibu sudah harus tinggal sendirian dan dia anak satu-satunya. Seandainya 
keadaan ekonomi cukup kuat dan bersyarat untuk menampung ibunya, kenapa tidak 
diajak ibunya tinggal bersama, misalnya?

Saya ada seorang teman sekerja dari suku Hokkian, keadaan ekonomi yang bisa 
dikatakan pas-pasan sebetulnya, tapi dia tidak hanya bersedia menampung ibunya 
sendiri dirumah, tapi juga kemudian ikut menampung ibu mertua yang juga harus 
hidup sendirian. Jadi dirumah yang begitu kecil di HK, harus ditinggali 6 
orang, ... terpaksa putranya yang ngalah disuruh tidur diruang tamu saja. Saya 
terkagum deengan semangat pengabdian pada orang tua sobat ini, dan tentu 
kebetulan istrinya juga siap melayani orang-tuanya yang sudah agak-agak sulit 
gerak-nya, yang sudah lebih 85-an. Padahal ibunya sendiri yang lebih muda dan 
kuat, juga bisa berikan solidaritas ikut memberikan dukungan dan perhatian. 
Sundgguh kehangatan keluarga yang sangat menggembirakan semua pihak, ... 
lebih-lebih setelah sobat saya itu beberapa tahun ini juga tenggelam dalam 
kehidupan pensiun dan tugas menunjang kebutuhan ekonomi keluarga jatuh pada 
putra dan putrinya yang sudah keluar kerja. Melihat suasana kehangatan keluarga 
kedua anaknya juga dengan senang hati ikut memberikan tunjangan kelangsungan 
hidup orang-tuanya. Inilah teladan baik dari tradisi Tionghoa yang patut 
diteruskan oleh anak-cucu kita.

Sebaliknya juga ada contoh lain yang menyedihkan, kejadian di minggu yl. 
seorang sahabat HKSIS asal Surabaya, usia 78 juga sudah tinggal sendirian, ... 
putranya 2, yang besar di AS dan yang ke-2 di HK tidak bisa tinggal bersama 
sekalipun istrinya sudah meninggal beberapa tahun yl. Pekerjaan putranya itu 
jauh di Tun-Mun dan penghasilannya juga kurang baik untuk menampung orang 
tuanya, disamping itu istrinya yang tidak setuju terima orang-tuanya. Nah, 
kasihanlah orang tua satu ini sendirian. Kena strok terjatuh dekamar-mandi, 
tidak bisa bangun lagi, kebetulan malam itu anaknya tilpon tidak pernah ada 
yang terima. Esok paginya diperlukan kerumah orang tuanya dulu, diketok 
pintunya tidak ada yang nyahut dengan pintu terkunci dari dalam. Akhirnya dia 
dobrak pintu dan kaget melihat orang tuanya terbaring dilantai, sekalipun masih 
sadar tapi tidak bisa bicara dengan sekujur badan basah kena kencing dan 
beraknya sendiri, ... Begitunya semalam suntuk orang-tua ini berbaring dilantai 
dan sekarang harus berbaring di RS dalam keadaan lumpuh. Lambat sedikit, orang 
tuanya ini bisa membusuk mati tidak ada orang yang tau, ...

Tentu, dari pendangan orang-tua sendiri tetap harus berprinsip, jangan sampai 
kehidupannya itu membebani anak-anak, apalagi sampai mempengaruhi hari-depan 
anaknya. Sebagai orang-tua yang baik, harus berani berkorban untuk membuka 
jalan sebaik-baiknya bagi hari depan anaknya, memberikan kesempatan dan 
syarat-syarat yang diperlukan bagi anaknya yang berkembang dan itulah 
susah-payah dengan segala pengorbanan yang telah dilakukan orang-tua pada 
anaknya. Nah, disaat anak-anak sudah dewasa jadi orang, sudah selayaknya tetap 
memberikan kepedulian dan perhatian sebesar-besarnya pada orang-tuanya. Tentu 
sedapat mungkin, dan sebaik mungkin yang bisa diberikan. Ini namanya timbal 
balik, tanpa harus dituntut apalagi didikte. Semua berjalan sewajarnya dan atas 
dasar kesadaran dan sukarela. Barangkali disinilah beda pendidikan barat dan 
timur, khususnya tradisi Tionghoa, ya?

Yah, sampai sekarang saya belum pernah kenal Tuhan, ... tidak mengerti apakah 
anak itu hanya titipan Tuhan, bahkan bisa tumbuh dewasa jadi manusia diluar 
perawatan orang-tuanya sendiri. Dan oleh karenanya tidak perlu lagi memberikan 
peduli dan perhatian pada orang tua yang membesarkannya dengan penuh kasih 
sayang? Kalau memang begitu, lebih baik tidak melahirkan anak macam ini. 
Amit-amit kedua anak saya tidak bersikap begitu terhadap saya. Sekalipun saya 
sampai saat ini yakin, dengan memperhatikan gaya-hidup sederhana saya bisa 
hidup tetap sehat dan tidak usah memnggandoli apalagi sampai memeebani 
anak-anak. Saya akan tetap hidup mandiri, tetap sehat sampai ajal tiba.

Salam,
ChanCT
  ----- Original Message ----- 
  From: Lim Wiss 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Wednesday, November 12, 2008 9:34 AM
  Subject: RE: [budaya_tionghua] Pria suku khe


  Kalau menurut pendapat saya itu tergantung pada prinsip anak ybs.

   

  Ada teman saya, ia anak laki-laki satu-satunya tetapi ia mengutamakan 
keluarganya.

  Mamanya tinggal sendirian di rumahnya, sedangkan anak satu-satunya tinggal 
terpisah dari mamanya.

  Ia tinggal cukup jauh. 

  Apakah mamanya komplain? Tidak juga karena anaknya tegas, tinggal terpisah 
dari mamanya.

   

  Itu prinsip yang harus ditanamkan. 

  Anak yang sudah menikah harus tinggal terpisah dari orang tua. 

  Mengapa? Karena kita sudah dewasa berani menikah, berarti berani mandiri 
tanpa tergantung pada orang tua.

  Orang tua juga harus ingat anak itu bukan investasi kita di hari tua. 

  Anak itu hanya titipan Tuhan, ia akan menjadi orang tua bukan anak-anak lagi 
yang harus kita dikte atau kita lindungi hingga kita meninggal.

   

  Jadi kembali lagi ke prinsip anak ybs. Kita tidak boleh mendikte prinsip mana 
yang benar.

  Sekarang sudah jaman modern. 

   

  Rgds,

  Lim Wiss


------------------------------------------------------------------------------

  From: budaya_tionghua@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of 
gsuryana
  Sent: Tuesday, November 11, 2008 11:17 PM
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
  Subject: Re: [budaya_tionghua] Pria suku khe

   

  Didalam tradisi Tenglang, anak lelaki itu dianggap sebagai penerus marga, dan 
terutama untuk anak sulung pria, diutamakan membela keluarganya terlebih 
dahulu, malah kadang istri harus ikut aturan tersebut.

  Jadi tak usah heran bila menikah dengan pria Tenglang ada istilah masuk 
kekeluarga pria, dan hal ini syah syah saja, lha penerus marga masa harus 
menuruti kemauan istri yang bukan penerus marga.

   

  Itu sebabnya sebelum jatuh cinta harus sudah siap dengan risiko seperti ini.

   

  sur.

    ----- Original Message ----- 

    From: Dewi Chandra 

     

          Dear all,

           

          Rekan 2x, Thanks atas masukannya tentang "pria suku khe"

          Bagaimana, bila orang tuanya yang punya prinsip seperti itu?(kan agak 
susah yah mengubah pandangan orang 2x tua)?sampai mendiamkan menantunya ???

          Apalagi bila orang tuanya punya pengaruh kuat pada anak laki2xnya, 
bahwa setelah kawin harus utamkan keluarga pihak co.

          Dan bagaimana pendapat rekan2x sekalian apa mungkin ini ada 
hubungannya dengan agama,kebanyakan kan masih ada yang khong hucu (KTP)?

           

          Rgds

          Dewi
         

     


----------------------------------------------------------------------------

   


------------------------------------------------------------------------------



  Internal Virus Database is out of date.
  Checked by AVG - http://www.avg.com 
  Version: 8.0.173 / Virus Database: 270.8.5/1757 - Release Date: 2008/10/30 
¤U¤È 02:35

Kirim email ke