Lim Wiss yb, Maaf, sekalipun menduga, tapi sampai sekarang masih belum yakin betul saya sedang bicara deengan seorang perempuan. Kira-kira betul, ya?!
Saya jadi mengerti sekarang, pernyataan anda beberapa hari ini hanyalah merupakan reaksi dari kenyataan hidup yang dihadapi, nenek-nya sendiri. Dan saya bisa setuju deengan kesimpulan yang dibuat kali ini. Bahwa itu hanyalah merupakan kasus khusus saja. Dan semua terjadi tergantung dari sifat/watak orang bersangkutan. Saya juga pernah ketemu seorang sahabat mengeluh dengan perlakuan ibunya, yang bukan saja cerewet tapi terlalu ikut campur urusan anak-anak yang sudah dewasa. Yaitu menghendaki anak lelaki dirumah tidak ikut campur urusan dapur dan tetek-bengek rumah-tangga, semua harus ditangani istrinya, ... lha itu dijamannya, dimana istri bisa jadi nyonya rumah yang tidak usah kerja, lalu ada pembantu-rumah tangga, ... hidup di HK kan harus suami-istri bekerja baru bisa menunjang ongkos hidup, mana bisa semua harus dikerjakan istri, yang juga sudah capek pulang dari kerja? Jadi, bagaimanapun juga sang suami harus ikut ambil bagian, bahkan bagian kerja yang lebih berat dari istri. Itu biasa dan sebaiknya begitu. Kalau putranya ikut beresin ranjang, selimut juga diomongin, lalu ngomel istrinya dibilang nggak ngerjain apa-apa, kan jadi ribut, ... dan dia nggak pikir, begitu istrinya ribut dengan ibunya, hati putranya itu saaakiiit. Menjadi lebih susah mengatur ibu macam ini, yang ternyata berpegang teguh pada tradisi TIonghoa, orang-tua harus ikut anak lelaki. Tapi, begitu juga dianak laki yang ke-2 dan ke-3, ribut melulu dengan mantu-nya, sampai mereka kewalahan. Anak perempuan yang juga mau nampung dia, ibu ini berkeras nggak mau. Baru setelah ibu ini tidak bisa jalan sendiri, 1/2 tahunan terakhir hidupnya diusia 88, meninggal deengan penuh ketenangan dirumah anak perempuan. Ya, Lim Wiss saya tetap berpendapat kasus demikian tentu harus diperlakukan secara khusus, itu hanya karena sifat/watak orang bersangkutan yang agak aneh. Saya yakin, hati ibu macam ini tetap baik-baik, hanya pengertiannya saja agak kuno, kurang memperhitungkan segi lain. Berkeras pegang pada tradisi, tanpa melihat perubahan jaman. Terimalah apa adanya, tidak perlu berbenturan sampai merusak hubungan kekeluargaan. Berilah toleransi lebih tinggi dan terimalah orang-tua macam itu sebagai orang-tua yang tetap harus dihormati. Berilah penerangan dengan lebih sabar, tanpa harus menyamber omelannya dengan marah-marah. Bisa, dong. Heheheee, ... Salam, ChanCT ----- Original Message ----- From: Lim Wiss To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Thursday, November 13, 2008 4:19 PM Subject: RE: [budaya_tionghua] Pria suku Khe Kesimpulan : Kita tidak bisa komplain atas sikap mertua terhadap mantu wanita. Yang bisa kita lakukan, hanya janganlah kita seperti mereka. Janganlah kita sebagai orang tua mendikte anak & mantu kita. Saat mereka melawan, trus kita ucapkan kata-kata "Put Hao" atau "Anak tak tahu balas budi" dan sejenisnya. Kita harus ingat dalam dunia ini ada ikatan jodoh sehingga kita bisa bertemu, berkumpul bahkan menjadi keluarga. Banyak orang tua suka mengeluh anak & mantu tidak pedul tapi mereka tidak pernah sadar jika mereka pernah melukai perasaan anak & mantu mereka. Mereka hanya tahu perasaaan mereka saat tidak seorangpun anak & mantu yang peduli dengannya. Semua orang yang baru menikah tentu senang berkumpul dengan dua belah pihak keluarga. Tapi orang tua tidak pernah sadar mengapa setelah anak & mantu mereka menikah sekian lama menjadi tidak peduli dengan mereka. Sekedar renungan... Soalnya Lim Wiss melihat nenek Lim Wiss dulu pernah memperlakukan anak laki-laki dengan perempuan secara tidak adil. Akhirnya kini nenek Lim Wiss harus tinggal sendirian. Bukan kita sebagai anak muda tidak peduli tapi coba kita renungkan jika kita dimaki & dimarahi apapun yang kita lakukan apakah kita masih mau peduli terhadap orang tsb? Dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai anak perempuan harus terima kenyataan jika orang tua kita tidak peduli pada diri kita saat kita susah, bahkan menutup pintu mereka rapat-rapat karena merasa anak perempuan setelah menikah adalah milik keluarga laki-laki atau mertua tidak peduli terhadap mantu perempuan yang sakit. Kejadian ini bukan hanya menimpa suku khe tetapi semua suku. Permasalahannya bukan pada suku tetapi pada sifat orang. Rgds, Lim Wiss ------------------------------------------------------------------------------ From: budaya_tionghua@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Dewi Chandra Sent: Thursday, November 13, 2008 2:28 PM To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Pria suku Khe Dear rekan 2x semua Saya setuju pendapat rekan Lim Wiss di bawah ini : "Tetapi yang Lim Wiss lihat dalam kehidupan sehari-hari cenderung anak laki-laki dituntut memperhatikan & membela keluarga laki-laki. Wanita yang sudah menikah, harus memperhatikan keluarga laki-laki pula. Ini yang Lim Wiss rasa tidak adil dalam kehidupan sehari-hari. Saya merasa ada ketidakadilan dalam antara laki dan perempuan, bahwa masih ada keluarga laki yang menuntut dan menanamkan "dokrin" bahwa menantu perempuan harus ikut pihak laki2x (dalam arti harus mengutamakan,memperhatikan) Bila mertua pihak laki2x nya pun care pada pihak menantu, saya pikir tidak ada masalah karena toh setelah menikah seharusnya ortu tua pihak laki atu pr adalah orang tua anak/menantunya juga.Tapi bila sebaliknya bila pihak ortu laki terkesan sikap "gila hormat" maksudnya kita harus hormat2x dengan mereka,padahal kita sebagai menantu (bila bertemu) dianggap (diajak bicara) pun tidak, bisa dibayangkan bagaimana perasaaan menantu perempuan?Dalam hal ini sebagai suami pun "tidak bisa apa2x" menuruti kehendak ortunya Saya kok melihat justru laki2x di luar suku khe tidak begitu.bhakan begitu sayang pada keluarga istrinya. Saya berusaha tidak menyamakan semua lakix suku khe begitu,(mohon maaf bila ada yg tersinggung yah)tapi begitula yang terjadi. Jadi, ungkapan lebih baik punya anak perempuan lebih baik pun dalam hal ini tidak berlaku, bagaimana bisa berlaku (jangankan untuk tinggal /dirawat) bila orang tua /saudara pihak ce datang ke rumah anak/menantunya saja tidak dianggap/tidak diajak bicara? Sedangkan bila orang tua/saudara pihak laki datang, wah, bagaikan mengadakan pesta. Bisa dibayangkan bgm perasaan pihak perempuan?? Jadi, saya masih berpikir ada budaya orang tua dulu yang masih KOLOT dan TIDAK ADIL, ini SUSAH DIUBAH,karena ini seakan sudah menjadi prinsip hidup.Terkadang saya berpikir, apa mereka yang sudah sepuh itu & KOLOT, tidak berpikir bagaimana bila anak perempuan mereka yang diperlakukan seperi itu??? Rgds Dewi ------------------------------------------------------------------------------ Internal Virus Database is out of date. Checked by AVG - http://www.avg.com Version: 8.0.173 / Virus Database: 270.8.5/1757 - Release Date: 2008/10/30 ¤U¤È 02:35