Date sent:              Tue, 15 Aug 2000 07:58:27 -0500 (CDT)
Send reply to:          [EMAIL PROTECTED]
From:                   "King JoJon" <[EMAIL PROTECTED]>
To:                     Multiple recipients of list <[EMAIL PROTECTED]>
Subject:                Re: Amandemen UUDS

> 
> Rasanya gue pernah bilang setuju dulu bahwa Dekrit 1959 itu tidak sah.
> Dan konsekuensinya, UUD 45 yang "dkembalikan" juga tidak sah.
> Sampai sejauh itu gua masih setuju.
> 
> Soalnya adalah apakah Majelis sejenis Dewan Konstituante itu mesti
> dipaksakan supaya ada?
> Apa bedanya dengan MPR - yang difungsikan dan ditugaskan untuk mengamandemen
> UUD45 yang sudah karatan ketinggalan jaman?
> 
> Memang kalau mau bener-beneran sih - mesti mundur ke periode sebelum Dekrit.
> Tapi apa manfaat praktisnya?
> 


    Ya, saya dulu juga (entah di diskusi-sara entah di apakabar saya
    sudah lupa)  mengingatkan akan contoh Perancis dengan de Gaule. 

    Ketika perang dunia ke II meletus dan rezim Vichy (Petain) tegak
    di Perancis, terjadi krisis legitimasi  dan de Gaule dari London
    berkata: "Saya sekarang adalah pemgemban legitimasi Perancis".

    Dan de Gaule didukung oleh Resistance (Komunis dan "nasionalis
    gaullist"). 

    Lalu  Republik ke IV Perancispun lahir kendatipun sesudah
    beberapa tahun de Gaule disingkirkan orang dan oang itu ( de
    Gaule) kembali lagi tahun 58 melahirkan Repbulikk IV sebagai
    kelanjutan krisis legitimasi yang ditimbulkan oleh Perang
    kemerdekaan Aljazair. 

    Di tiap pergantian itu ada rupture (break) legitimasi dan ada
    pengemban legitimasi baru (de Gaule). 

    Dalam bentuk lain, tahun 1945 di Indoneisa (namanya ketika itu
    Hindia Belanda) ada rupture legitimasi yang diselesaikan dengan
    amat elegant oleh KMB - dan lahirlah RIS yang menjanjikan UUD
    baru yang akan disusun oleh Konstituante. 

    Lalu ada semacam coup d'etat  (persisnya penguburan demokrasi
    dan Rechtstaat)  oleh Nasution, Soekarno dan didkung oleh PNI,
    PKI dan partai-partia lain dan yang ditolak oleh dua partai yaitu
    PSI dan Masyumi). 

    Rechstaatpun mati. 

    Ketika Soeharto dipaksa turun oleh Condemsus (dan oleh Amerika
    dan bukan terutama oleh oleh demontrasi mahasiswa) terjadi pula
    rupture legitimasi - tapi berbeda dengan Perancis tahun 45 atau
    Indonesia (Hindia Belanda) tahun 1945-1950, ketika itu tidak ada
    pengemban legitimasi baru, tidak ada tokoh, tidak ada
    'Resistance'. 

    Inilah yang saya sebut sebagai kegagalan generasi saya. (Dan
    bebeda dengan Sepanyol dan Portugal post fascsist - Franco dan
    Salazarist - di Indonesia post Soeharto tidak ada kekuatan
    demokrat yang datang sebagai alternatif. 

    Dan Indonesia jatuh kepada apa yang diebut Hendradi kepangkuan
    cross-boys atau apa yang disebut Yuwono Sudarsono sebagai
    bullshitters (tapi dia sendiri salah seorang diantaranya). Disaat
    pikiranya jernih Amien Rais - menterjemahkan situsi dengan baik -
    ketika dia bilang "Tidak ada diantara politisi Indonesia yang
    punya program,". 

    Lalu? 

    Lalu, saya kira, kita akan  berada dimasa krisis ketatanegaraan
    yang akan berlarut-larut hingga orang Indonesia pada sadar bahwa
    ada yang secara fundemenal salah dengan sistem kenegaraan
    mereka. 

    Dan akan lama kayaknya, karena siapa diantara orang Indonesia
    yang ingin keluar dari kemelut ini dan berusaha mencari jalan
    keluar dari kemelut ini dan krisis ini? 

    Nggk ada! 

    Dan ini juga kultural. 

    Semua, hampir tidak ada kecualinya, orang Indonesia itu
    menganggap  'bijaksana' untuk tidak keluar dari kemelut, orang
    Indonesia - sesuai dengan budayanya -  menganggap "bijaksana"
    untuk tambal sulam (tambal sulam dalam politik ini kalau tidak
    salah istilah Tan Malaka):mengambil langkah radikal atau memegang
    pendirian prinsipil dianggap sebagai kesalahan atau bodoh! 

    Ada berapa orang Indonesia yang bisa se prinsipiil George
    Aditjondro atau Saleh Abdullah? 

    Masaalahnya juga sosiologis:  Indonesia tidak punya kelas
    borjuis yang kuat (sosiologi Amerika menyebutnya kelas menengah). 

    Persisnya, Indonesia skarnag ini mirip Perancis dipertengahan
    abad ke XIX seperti yang digambarkan oleh Marx dalam bukunya 18
    Brumaire. 

    Disitulah kita berada, ditengah nightmare yang digambarkan oleh
    Marx itu. 


> Toh, masyarakat berjalan menuju kedepan, tidak mundur kebelakang.
> Perubahan sosial selalu terjadi di dunia manapun secara periodik dan sejalan
> dengan waktu yang maju terus.  Ini tidak bisa dihindari.
> 
> Soekarno sudah mati. Soeharto sudah lengser, bentar lagi juga koit :-(
> Yang menentukan Indonesia sekarang adalah generasi yang dominan berusia
> muda. Yang sering tiak peduli apa itu Dekrit.
> 
> Yang duduk di MPR/DPR sekarang adalah mereka yang terpilih lewat pemilu yang
> relatif OK.
> Sekalipun masih ada pemain lama, tapi yang gaek-gaek ini lama kelamaan juga
> minggir.
> Kalah sama zaman.  Realitas politik sekarang di Indonesia adalah seperti
> itu.
> Sekarang masih campuran, tapi 1 atau 2 periode lagi yang muda akan perkasa.
> Jadi  biarlah mereka-mereka yang tua dan yang muda ini berinteraksi.
> Saling adu thesis dengan antithesis untuk menghasilkan suatu sintesis dimasa
> datang.
> Itu kan yang dicanangkan oleh metode dialektik Hegel.
> Selama masa transisi ini biarlah mereka berproses.
> 
> Dimasa Soeharto, UUD 45 merupakan barang suci yang tidak boleh diutak-atik.
> Sekarang, UUD 45 itu sudah menjadi barang mainan yang diutak-atik sana sini.
> "Tidak ada yang tidak bisa diubah, selama itu buatan manusia" kata mereka.
> 
> Jadi biarlah para legislatur ini - yang dipilih lewat pemilu yang sah dan
> diterima oleh semua orang - diberikan kebebasan untuk merubah-rubah UUD 45
> yang kata anda adalah produk cacat agar bisa menjadi produk yang lebih baik.
> Kalau masih kurang baik, yah perbaiki lagi. Begitu seterusnya.
> 
> Kembali ke pertanyaan anda di awal diskusi : Siapakah yang memberi wewenang
> kepada MPR untuk merubah UUD 45?
> Gue sudah jawab dan sudah berikan penjelasan yaitu: UUD 45 sendiri yang
> memberikan wewenang di pasal 37.
> 
> Soal UUD 45 nya sendiri itu sah apa tidak, itu tidak dipertanyakan dan
> rasanya sudah tidak relevan lagi untuk ditanya di jaman sekarang.
>


    Orang yang prinsipil akan mempetanyakannya, tapi seperti saya
    katakan: sikap prinsipil itu bukan ciri budaya orang
    Indonesia.Ciri budaya Indoneia adalah "bijaksana", jual pantat,
    jual prinsip: adalah bijaksana bagi gereja untuk
    menggadaikanpantata kepada diktator, adalah bijaksana bagi orang
    Indonesia untuk tidak mempertanyakan legal atau tidaknya UUD45
    yang sekara,g dianggap berlaku. 

    Kita bijaksana, kita tidak mau keluar dari kemelut. 

    Kita masochist semua! 
 
> 
> 
> Salam,
> KJJ
> 
> 
> 
> >
> > Jusfiq:
> >
> >     Benernya diskusi ketatanegaraan kudu dimulai  dengan Dekrit 5
> >     Juli:1959: Dekrit itu nggak sah.
> >
> >     Ini pendirian PSI dan Masyumi dulu, dan pendirian itu betul.
> >
> >     Jadi, dari segi hukum ketatagaraan rezim yang lahir dari Dekrit
> >     5 Juli itu, termasuk rezim yang sekarang nggak sah.
> >
> >     Lalu timbul pertanyaan: lantas gimana mensyahkan rezim di
> >     Indonesia kembali?
> >
> >     Romo Mangun punya usul dulu - saya juga di apakabar - : bikin
> >     lagi Konstituante!
> >
> >     Tapi siapa yang berani mikir begitu sekarang?
> 
> 
> 
> 


Jusfiq Hadjar gelar Sutan Maradjo Lelo
=====================================

* Ijtihad untuk mencerdaskan ajaran Islam yang sekarang ini penuh ketololan, 
kedunguan, kegoblokan dan kebodohan

* Ijtihad untuk memanusiawikan ajaran Islam yang sekarang ini biadab, keji dan nista


Kirim email ke