Barangkali seperti ini yang disebut "Guru kencing berdiri, Murid 
kencing berlari". Sang murid terus mencari apa-apa yang diperlukan 
akar dan daun agar pohon dapat bertahan hidup (sampai berbunga & 
berbuah), sementara sang guru cukup menertawai mereka yang kepanasan 
karena tidak berteduh di bawah rindangnya pohon.

Memang, memanfaatkan rindangnya pohon untuk berteduh dari panas & 
hujan memang sungguh nyaman. Persoalannya, bagaimana kenyamanan ini 
bisa terus tersedia kalau pohonnya sendiri tidak diurus dengan baik?

Begitu kira-kira dua sisi dari mata uang busway. Di satu sisi membuat 
sebagian orang bahagia menikmatinya, di sisi lain membuat orang 
melihat persoalan baru yang tidak memecahkan persoalan lama. Padahal, 
yang namanya pelayanan umum haruslah memperlancar urusan masyarakat. 
Tanpa diskriminasi dan bukan untuk dukung-mendukung atau sekedar 
menertawai pihak yang tidak beruntung.

Nah, supaya tidak tersesat semakin jauh dalam perpecahan akibat ulah 
pemerintah, mari kita pertanyakan saja tujuan sebenarnya dari proyek 
busway yang juga membingungkan pemerintah sendiri. Kebingungan yang 
menjadi bukti bahwa proyek busway tidak direncanakan dengan baik.

Dalam catatan saya, setidaknya ada tiga alasan yang disebut-sebut 
Sutiyoso. Pertama, busway untuk golongan bermobil agar bisa ke kantor 
dengan naik bus ekslusif di jalur Sudirman-Thamrin. Kedua, untuk 
membersihkan udara JKT dengan bus-bus eksklusif berbahanbakar gas. 
Ketiga, untuk mengurangi kemacetan jalan di ibukota.

Untuk alasan pertama & kedua, kita belum sempat melihat "buah" dari 
proyek percontohan itu, tapi pemerintah sudah langsung menggarap 
alasan ketiga dengan memperluas proyek ke jalan-jalur lain di ibukota.

Di titik ini kita kembali melihat pola pembangunan masa lalu yang 
tumpang-tindih, tambal-sulam. Alias, "penggalakkan" proyek instruksi 
(top-down) yang cuma menguntungkan rekanan proyek - dan tetap
tidak melayani kepentingan umum.

Lalu, kasus penolakan warga Pondok Indah - yang digolongkan kaum 
berpunya - melahirkan alasan keempat. Yaitu, busway untuk kepentingan 
rakyat kecil. Alasan ini otomatis mematikan alasan pertama yang 
melegalkan mahalnya tarif, sekaligus berarti menodong rakyat kecil 
dengan tarif kaliber orang kantoran di jalur Blok M - Kota.

Jadi, apa tujuan sesungguhnya dari busway?

(pertanyaan ini barangkali sudah juga diajukan wakil-wakil kita di 
DPRD-DKI, dan bagi-bagi mobil sedan buat anggota DPRD oleh Sutiyoso 
mungkin adalah jawabannya) ...


From: "Barnabas Rahawarin" <[EMAIL PROTECTED]>

: Dear All, in particular Mas Rm. I.Wibowo,
:
: Dua kali saya membuka khusus pendapat guru saya
: I.Wibowo tentang Busway. Saya sepakat dengan sebagian
: pendapatnya. Bahwa, Busway menampakkan wajah
: "egaliter" masyarakat dan menjembatani jurang "Patas
: Public" dan "Private Mobile". Sempat disinyalir juga
: guru saya ini tentang sebuah keluarga, yang harus
: keluar dari rumah dengan lima mobil serentak misalnya.
: Hal yang tentu berbeda dengan keluarga lainnya, yang
: keluar ayah-ibu, berduaan naik sepeda motor, atau
: berduaan berjalan kaki mencari kendaraan.
:
: Tapi, kalau kita terjebak membahas HANYA kondisi
: "inequality" sedemikian, azas keadilan (justice) tidak
: otomotatis terjamin. Sebagian orang lain sudah pada
: kenyataannya menerima boleh "inequal" (tidak sama)
: tapi jangan "injustice". Inequal itu bersifat abadi
: (hirarki masyarakat hingga ideologi dalam keluarga
: batih pelbagai budaya), tetapi "injustice" terkadang
: ada dalam kuat dalam pengalaman subyektif-situasional.
: Ini bahasan umum yang sudah kita tuangkan dalam sila
: ketiga Pancasila, dan diterapkan berbeda dalam
: pemikiran sosialis-pembebasan maupun kaum kapitalis
: sekalipun.
:
: Busway kalau harus dibaca dari sisi positipnya, UNTUK
: SEMENTARA WAKTU, ia akan menjadi jembatan solidaritas.
: TETAPI, jika waktu yang berkejaran dengan cepat,
: mengubah busway makna busway bagi penduduk jakarta,
: bahkan juga pengguna busway.
:
: Saya juga sempat menggunakan busway beberapa hari
: lalu, tetapi mulai dari cara pelayanan di Busway Utama
: di Harmony (menunggu jurusan kalideres hampir satu jam
: dengan penumpak berdesakan), tampaknya mimpi kita
: membedakan busway dan metromini-PPD-Kopaja, perlahan
: mulai menipis perbedaannya. Dan mungkin saja, tinggal
: masalah waktu bahwa busway akan menjadi tidak lebih
: indah seperti idaman menggebu-gebu sebelum
: membangunnya JIKA TIDAK DIBENAHI Pengelolaannya.
:
: Shortly to say, kalau ditanya, "Setuju tidak dengan
: bus-way?" Saya ikut setuju! Tapi, haruslah dipandang
: sebagai analof "situasi ban bocor yang ditambal, dan
: segera dibenahi dengan yang lain". Monorail juga
: mungkin salah satu jalan. Tapi, kalau untuk usulan
: yang senantiasa dikatakan BANG YOS sebagai biaya
: tinggi adalah mengubah peruntukkan kota Jakarta.
: Jakarta telah menjadi Kota Pelabuhan, Ibu Kota Negara,
: Pusat Administrasi, Pusat Militer, dan semua
: dipusatkan di Jakarta, tak terkecuali pusat menjadi
: Ibu Kota Pusat Kemiskinan.
:
: Busway memang tampaknya hanyalah "tambalan ban" yang
: bersifat sementara menjadi jalan keluar (?) situasi
: hingar bingar jalanan kota jakarta. Itu pun, sementara
: membangun, terjadi kemacetan di mana-mana. So, saya
: belum dapat membayangkan bagaimana sebelum selesai
: koridor yang kesekian, koridor yang lain yang sudah
: berjalan kembali ditutup untuk dibeton. Atau, ada
: galian telepon, PAM, listrik dll, yang sebenarnya
: bergantian bersaing mengganggu jalanan di ibu kota.
:
: Ini sharing saya kepada mas Rm I.Wibowo, guru saya.
: Siapa tahu, kami bisa tidak berbeda pendapat dalam hal
: menarik masalah tidak hanya di busway an sich.
:
: ex corde totem,
:
: berthy b rahawarin

Kirim email ke