Kenapa harus komunismenya yang ditonjolkan? Sedangkan komunisme itu sudah almarhum.
Kenapa tidak dipikirkan alternative lain. Ideologi sosialisme itu bukan hanya komunisme saja. Ideologi NKRI itu adalah: Pancasila. Sila keempat/kerakyatan itu adalah demokrasi. Demokrasi Indonesia itu adalah demokrasi Pancasila. Bentuk sosialisme yang pernah didengungkan oleh Bung Karno adalah: Marhaenisme dalam prakteknya, dan ekonomi yang dijalankan disebut ekonomi kerakyatan. Kenapa bukan marhaenismenya bung Karno yang ditonjolkan? Atau bentuk2 sosialisme lainnya yang dapat menjadi alternative? Walaupun bung Karno tidak anti PKI tetapi bung Karno bukan komunis. Begitu juga Pram yang dekat dengan PKI tetapi selalu bilang dimana2 dia bukan komunis. Jadi sekali lagi ideologi NKRI itu Pancasila bukan komunisme. Jadi gak usah digede2in. Begitu juga di USA dan negara2 lainnya, ideologinya macem2: liberalisme, sosialisme, libertalisme, conservatisme dll. Komunisme itu hanya ada di beberapa negara saja: RRT, Kuba, Korea utara yang juga sedang degradasi. Yang saya tangkap dari “gebuk PKI”nya Jokowi itu adalah dia prihatin dengan keadaan bangsa dan negaranya. Seperti bung Karno dan pak Pram, Jokowi bukan komunis dan juga bukan anti komunis. “Gebuk PKI”nya itu adalah strategi utk meredam sikon Indonesia sekarang ini dimana disintegrasi sedang semarak. Coba bayangkan apa yang akan terjadi kalau Jokowi bilang: “hidup PKI”? Walaupun Jokowi bukan komunis dan tidak anti PKI, apakah dia tidak akan diganyang oleh kelompok Islam dan militer? Jadi jangan terpaku sama “gebuk PKI” nya yang hanyalah slogan saja. Slogan ini ‘kan mirip dengan “go to hell with your aid” nya bung Karno kan? Tapi kan bukan berarti bung Karno anti investasi asing. Makna retorika itu adalah: “kami bisa mengatur ekonomi kami sendiri. kalau kami perlu hutang, kami bisa cari sendiri. Tetapi kami tidak mau dicekoki/dikasih hutang yang tidak kami perlukan”. Maknanya “gebuk PKI”nya Jokowi ya kira2: wong PKI sudah gak ada, apanya yang mau digebuk?! Nesare From: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com] Sent: Friday, June 9, 2017 8:35 AM To: GELORA45@yahoogroups.com; arif.hars...@t-online.de Subject: Re: [GELORA45] FW: Saatnya Rehabilitasi Bung Karno! Bagaimana bisa dikatakan “Saatnya Rehabilitasi Bung Karno”??? Kalau pemerintah yang berkuasa, khususnya Presiden Jokowi masih saja begitu anti-KOMUNIS, sampai-sampai berulangkali dengan tegas dan keras hendak “GEBUK” PKI begitu muncul kembali?! Bukankah bung Karno digulingkan Suharto karena ketegasan dan kekerasan bung Karno tidak hendak bubarkan PKI! Karena bung Karno TIDAK bisa menerima tuduhan G30S didalangi PKI! Dan Bung Karno dalam kondisi terjepitpun tetap menunjukkan ketegasan dan konsekwen pertahankan ajaran yang dicetuskan sejak tahun 26, Persatuan NASAKOM! Kenyataan adanya 3 kekuatan NAS-A-KOM dalam masyarakat Indonesia ini yang harus dipersatukan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan nasional Indonesia, .. peran PKI dalam gerakan KEMERDEKAAN RI, jasa pejuang-pejuang komunis dalam perjuangan kemerdekaan TIDAK BISA dihilangkan dihapus begitu saja oleh Suharto! Jutaan rakyat tidak berdosa yang dibantai, dipenjarakan, dibuang kepulau Buru, ... telah menjadi korban kekejamanan jenderal Suharto naik kesinggasana kekuasaan RI-1! Salam, ChanCT From: 'arif.hars...@t-online.de' arif.hars...@t-online.de <mailto:arif.hars...@t-online.de> [GELORA45] Sent: Friday, June 9, 2017 12:55 PM http://www.bergelora.com/opini-wawancara/artikel/2069-saatnya-rehabilitasi-bung-karno.html Saatnya Rehabilitasi Bung Karno! Oleh : Nursjahbani Katjasungkana, SH *) Ditengah Penjajahan Kolonialisme Belanda pada 6 Juni 1900, seorang perempuan, Ida Ayu Nyoman Rai, yang sehari-hari dipanggil Nyoman, melahirkan seorang putra bernama Soekarno. Pada 1 Juni 1945, dihadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Soekarno, pertama kali berpidato tentang Pancasila yang selanjutnya menjadi dasar Ideologi Negara Republik Indonesia. Sehingga Setiap 1 Juni dikenal sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Ia menjadi menjadi Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang berdiri pada 17 Agustus 1945. Pada 22 Juni 1966 Soekarno dipaksa meletakkan jabatan lewat penolakan oleh MPRS atas Pidato Pertanggung Jawaban Presiden Soekarno,--setelah sebuah kudeta militer yang didukung Amerika Serikat pada 30 September 1965. Presiden Soekarno meninggal dunia di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta pada 21 Juni 1970. Sebagai penghormatan terhadap Bulan Bung Karno, selama sebulan Bergelora.com akan menurunkan berbagai tulisan tentang Bung Karno. Oleh : Nursjahbani Katjasungkana, SH Tanggal 6 Juni tahun ini, kita merayakan kelahiran Bung Karno yang ke 114 dan 21 Juni nanti tepat 46 tahun wafatnya. Bung Karno adalah salah satu pendiri Republik Indonesia, penggagas dasar negara Pancasila dan pernah dijuluki sebagai Pemimpin Besar Revolusi serta salah satu penggagas Konperensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, sebuah konfrensi yang diselenggarakan untuk melawan kekuatan baru kapitalisme global yang dikuasai blok Barat. Setelah absen selama 32 tahun dibawah pemerintahan Jendral Soeharto, sejak reformasi, kelahiran Pancasila kembali dirayakan secara resmi dalam upacara kenegaraan. Pada peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni yang lalu, puja-puji kepada sang Penggagas dikemukan pula oleh Presiden Jokowi yang mengakui bahwa Bung Karno merupakan inspiratornya yang utama. Pada tingkat dunia, namanya sangat harum baik karena pidato-pidatonya yang membangkitkan semangat perjuangan melawan kolonialisme dan kapitalisme mapun sebagai salah satu penggagas gerakan non-blok. Negerinya yang ketika itu baru berumur 10 tahun berhasil menggerakkan negara-negara Asia Afrika dan menegaskan posisi politiknya ditengah Perang Dingin yang sedang berlangsung antara blok Barat dibawah Amerika Serikat dengan sekutunya dan blok Timur dibawah Rusia dan kawan-kawannya. Kedua blok itu saling berebut pengaruh dan di beberapa negara menimbulkan perang. Sebuah konferensi akbar diselenggarakan di Bandung pada bulan April 1955 dan dikenal dengan Konferensi Asia-Afria (KAA) Bandung. Setelah sukses menjadi tuan rumah peringatan 50 tahun KAA pada tahun 2005 yang lalu, Indonesia berhasil menghidupkan kembali semangat KAA Bandung. Sebuah deklarasi bernama Kemitraan Strategis Asia Afrika Baru (the New Asia-Africa Strategic Partnership/NAASP) diluncurkan. Bulan April tahun ini bersama dengan Afrika Selatan, menjadi tuan rumah merayakan 60 tahun Konferensi Asia Afrika, sekaligus memperingati 10 tahun NAASP. Kebangkitan spirit KAA Bandung itu kembali diperkuat ketika saat ini gelombang baru ketegangan internasional mengancam perdamaian dunia. Situasi politik global saat ini tidak kalah tegangnya dengan situasi politik global ketika KAA 1955 dilangsungkan . Deklarasi NAASP menekankan multilateralisme, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan promosi perdamaian dan keamanan global. Salah satu poin utama yang ditekankan dalam Deklarasi NAASP tersebut didasarkan pada Deklarasi KAA Bandung 1955. Deklarasi ini menekankan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan untuk tujuan menegakkannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam piagam PBB. Sementara KAA 1955 yang digagas oleh Bung Karno, Nehru, Tito dan Nkrumah dipandang sebagai langkah besar perjuangan bangsa-bangsa Asia Afrika dan khususnya negara Indonesia yang masih sangat muda. Sampai saat ini spirit KAA Bandung tetap menginspirasi bangsa-bangsa dari dunia ketiga ini untuk melawan segala bentuk penindasan karena kolonialisme, kapitalisme dan globalisasi. Tentu, semua itu tak lepas dari peranan Soekarno sebagai penggas KAA Bandung Karenanya, adalah penting bagi pemimin-pemimpin negara Asia Afrika utamanya bagi bangsa Indonesia sendiri untuk merefleksikan dan merenungkan nasib Bung Karno, yang gagasan dan visinya tentang Pancasila yang menjadi dasar negara kita serta semangat anti kolonialisme dan kapitalisme menjadi spirit bangsa-bangsa Asia-Afrika. Mencopot Bung Karno Tragis, bahwa Bung Karno telah menjadi korban perang dingin yang terjadi pada waktu itu. Karena melakukan perlawanan yang sangat keras, akibatnya Bung Karno menjadi lawan utama bagi kekuatan kapitalisme dan akhirnya tersingkir secara brutal sebagai presiden RI oleh agen mereka yang dipimpin oleh Jendral Soeharto meski secara piawai diberhentikan lewat proses politik melalui Sidang istimewa MPRS tahun 1967. Sebelumnya yakni pada 11 Maret 1966 Bung Karno dipaksa untuk menandatangani sebuah dokumen yang disebut Supersemar, yang menugaskan Soeharto untuk "mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketenangan dan stabilitas pemerintah dan revolusi dan untuk menjamin keamanan dan otoritas pribadi Sukarno sebagai Presiden". Alih-alih mengamankan Bung Karno, Soeharto menyusun segala kekuatan untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dan jabatan Bung Karno sebagai Presiden secara dramatis dicopot dalam sidang istimewa MPRS pada tanggal 12 Maret 1967. Bung Karno kemudian dikenakan status sebagai tahanan rumah di istana Bogor. Kesehatannya terus memburuk karena ia menolak perawatan medis dan akhirnya wafat karena gagal ginjal di Rumah Sakit Angkatan Darat Jakarta pada tanggal 21 Juni 1970 pada usia 69 tahun. Bersenjatakan Supersemar, Soeharto menetapkan kebijakan untuk melakukan pembubaran dan pembantaian terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan para pendukungnya. Mereka yang dianggap berfaham komunis baik dikalangan masyarakat luas, pejabat sipil dan militer dan kelompok-kelompok yang dianggap akan mengganggu kekuasaannya dibersihkan. Istilah Gerakan 30 September (G-30S) berubah menjadi G-30S/PKI karena PKI dianggap dibalik G-30S tersebut. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto itu sejak awal telah menegaskan keberpihakannya pada blok Barat. Indonesia dengan kekayaan alamnya yang melimpah segera saja menjadi rayahan para agen kapitalis seraya memperkuat Soeharto dengan berbagai alat kekuasaan dan mendiamkan semua pelanggaran hak asasi manusuia yang terjadi. Korupsi merajalela sementara utang negara kepada badan-badan keuangan dunia melangit sehingga kehidupan rakyat sangat tertindas dan hanya segelintir orang atau kelompok yang dekat dengan kekuasaan yang menikmati “kue pembangunan”. Banyak aspek dari kudeta di atas yang harus kita pelajari kembali. Namun yang jelas, setelah terjadinya G-30S pada dinihari 1 Oktober 1965 itu, Soeharto berhasil menumpas G-30S. Sesudahnya, propaganda penghinaan seksual terhadap Gerwani yang dituduh memutilasi para jendral yang terbunuh dalam aksi G-30S tersebut. Faham komunisme yang dianggap atheis, telah menggerakkan sekelompok masyarakat khususnya kelompok organisasi keagamaan untuk melakukan pembunuhan massal, exterminasi, penyiksaan dan penghilangan paksa serta perbuatan-perbuatan kejam lainnya, kekerasan seksual, pemenjaraan, perbudakan dan penahanan sewenang-wenang. Diduga, 500 ribu sampai sejuta orang mati dibunuh dan jutaan lainnya menjadi korban kejahatan-kejahatan tersebut. Kejahatan-kejahatan tersebut dilakukan secara sistimatis dan meluas hampir diseluruh wilayah NKRI. Sesungguhnya, karena alasan paling menonjol dari semua kejahatan itu dilakukan atas dasar identitas politik yakni komunis atau partai politik yang merupakan sekelompok orang yang bertujuan politik sama. Banyak ahli hukum Internasional memasukkan peristiwa pembantaian 1965 tersebut sebagai genosida. Tujuan pemusnahan atas dasar pandangan politik ini bahkan berlangsung sampai sekarang dengan adanya stigma dan kekerasan terhadap para korban dan penyintas. Sampai saat ini sistim impunitas tetap berlangsung, para pelaku utama sebagiannya telah tiada dan pemerintah tak mengeluarkan sepatah kata maaf apalagi memberikan keadilan dan rehabilitasi serta reparasi bagi korban Seperti halnya para korban dan penyintas ini, Bung Karno juga tak pernah mendapatkan rehabilitasi. Padahal tanpa bukti yang kuat, Bung Karno dituduh telah memberikan 'toleransi' kepada "gerakan G-30S ". Sementara itu karena PKI yang dianggap dalang G-30S dan menyebabkan terbunuhnya 6 orang jendral dan satu perwira Angkatan Darat, partai ini bersama seluruh simpatisan dan pengikutnya benar-benar “dihapuskan” dari bumi Nusantara. Pemimpin dan para pengikut PKI benar dimusnahkan atau dipenjarakan atau dimasukkan kamp tahanan tanpa pernah diadili, meski mungkin hanya satu atau pemimpin tertingginya yang terlibat dalam G-30S itu. Kabarnya Bung Karno melakukan protes keras atas pemusnahan ini, tapi tak digubris oleh Soeharto. Penolakan negara sampai sekarang masih terjadi dan karenanya akuntabilitas dan sistim impunitas masih saja berlangsung. Menanggapi peluncuran laporan Komnas HAM (2012) tentang kejahatan kemanusiaan 1965/1966 ini, Djoko Suyanto, Menteri Polhukham pada waktu itu bahkan menyatakan bahwa pembantaian itu perlu dilakukan untuk menyelamatkan bangsa. Rehabilitasi Korban Sekarang setelah diluncurkan kembali Deklarasi NAASP yang menegaskan kembali pentingnya prinsip-prinsip hak asasi manusia yang sudah ditegaskan dalam KAA Bandung, sudah saatnya arsitek berdirinya negara Indonesia berdasarkan Pancasila serta arsitek Deklarasi Bandung itu direhabilitasi. Status tahanan rumah yang disandangnya sampai Bung Karno wafat, adalah pelanggaran HAM yang harus dipertanggungjawabkan oleh Negara. Pandangan politik bahwa Bung Karno terlibat dalam G-30S juga harus diselidiki dengan benar karena bangsa Indonesia berharap mengetahui sejarah pengambilalihan kekuasaan yang terjadi pada waktu itu. Pemerintahan Jokowi, yang baru-baru ini berniat untuk menyelesaikan masalah HAM masa lalu dapat membentuk sebuah komite untuk menyelidiki kondisi pengambilihan kekuasaan itu oleh Soeharto berikut pembantaian dan bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi sesudahnya. Rehabilitasi terhadap Bung Karno dan juga para korban kejahatan politik 1965, sebenarnya dapat diakukan oleh Jokowi dengan mengeluarkan Peraturan Presiden berdasarkan pasal 14 UUD 1945 yang berbunyi : “Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung”. Pada tahun 2003, sebetulnya Mahkamah Agung (MA) sudah mengirimkan pertimbangannya kepada Presiden agar “mengambl langkah-langkah konkrit ke arah penyelesaian yang sangat diharapkan oleh korban-korban Orde Baru”. Dalam surat pertimbangannya itu MA juga menyatakan bahwa pertimbangan ini dilandasi oleh keinginan MA untuk memberikan penyelesaian dan kepastian hukum yang dapat memulihkan status dan harkat mereka sebagai warga negara yang sama serta didorong oleh semangat rekonsiliasi bangsa. *) Penulis adalah, Koordinator International People's Tribunal (IPT) 1965. *** Gesendet mit Telekom Mail <https://t-online.de/email-kostenlos> - kostenlos und sicher für alle!