Ini ada satu tulisan, Gregory Clark, mantan Diplomat Australia di Jepang yang 
mengkisahkan apa yang dinamakan “PEMBANTAIAN” di Tian AN Men, 4 Juni 1989 itu, 
itu sesungguhnya TIDAK TERJADI! Justru sebaliknya, kekejaman kemanusiaan itu 
terjadi sehari sebelumnya, saat sepasukan tanpa senjata hendak masuk kota 
Beijing, dihadang bahkan belasan tentara dibakar hidup-hidup! Sayang tidak 
semua foto-foto yang bisa membuktikan kekejaman ini, seperti penggantungan 
mayat hangus dijembatan viadruk, tidak berani dikeluarkan oleh barat sendiri!



Begitu juga dengan kisah malam 4 Juni dilapangan Tian An Men, dikatakan tentara 
memberondong senapan mesin menggusur demonstran, dari seorang mahasiswa yang 
berhasil “melarikan diri” ke HK, ternyata juga TIDAK ada orang nya! Hanya 
merupakan isu yang digunakan untuk menghitamkan pemerintah Tiongkok dan 
“MEMBENARKAN” aksi-aksi demonstrasi di Tian An Men yang sudah menjurus ke 
anarkis dan merusak!



Kesimpulan Chai Ling, salah satu tokoh-utama Gerakan aksi demokrat Tian An Men 
itu, dalam wawancara dengan BBC dalam rangka memperingati 25Th Peristiwa Tian 
An Men, karena sudah bertobat atas KEKEJAMAN nya dan menjadi Kristiani-taat 
sudah bisa menyimpulkan, “Seandainya saja saya ketika itu sudah mengenal Tuhan, 
tentu saya tidak akan memerintahkan BERTAHAN!” BETUUUUL, perintah “BERTAHAN!” 
itulah KESALAHAN FATAL kaum demokrat ketika itu dalam melancarkan aksi demo nya 
di lapangan Tian An Men! Bahkan Chai Ling jauh sebelumnya, dalam video yang 
viral di youtube, dengan menangis menyatakan penyesalannya mempunyai pemikiran 
jahat dan sangat kejam, hendak menggunakan DARAH MEMBANJIRI lapangan Tian An 
Men menggulingkan pemerintah yang berkuasa! Satu pemikiran jiwa IBLIS yang 
keluar dari kepala Chai Ling, tega-teganya menjadikan belasan ribu massa 
demonstran sebagai TUMBAL untuk mewujudkan tujuan menggulingkan pemerintah yang 
berkuasa!



Sayangnya tokoh-tokoh-utama gerakan demokrat 4 Juni 1989 itu, sampai sekarang 
sudah hampir 30 tahun, belum juga berhasil membuat KESIMPULAN perjuangan mereka 
dengan sebaik-baiknya, masih saja tenggelam pada target menggulingkan kekuasaan 
PKT yang menjadi tujuan majikan mereka, ... AS dengan CIA!



Masih saja hendak menyudutkan RRT telah melakukan kekejaman kemanusiaan, 
membanjiri lapangan Tian An Men dengan darah massa demonstran, ... Padahal 
kenyataan yang ada, pemerintah sudah dengan resmi menyatakan malam itu ada 241 
korban jiwa, termasuk korban-jiwa pihak TPRT, dan 7000 orang luka-luka. Melihat 
aksi demo yang sudah dilancarkan lebih sebulan dengan jumlah massa demonstran 
yang dinyatakan lebih 10 bahkan belasan ribu peserta itu, aksi penggusuran 
dengan jatuhnya 241 korban jiwa tentu saja bisa dinyatakan cukiup BESAR! Kedua 
belah pihak yang berbenturan HARUS bisa membuat kesimpulan dimana 
kekurangan/kesalahan yang terjadi, agar tidak lagi terulang! 



Dengan kata lain, tokoh-tokoh yang berani menamakan diri pejuang-pejuang 
gerakan tentu harus pandai-p-andai membuat strategi-taktik yang tepat untuk 
mencapai tujuan! Tidak asal seruduk dengan tidak memperhitungkan dengan baik 
kekuatan lawan dan kekuatan diri sendiri! Lalu, ... pada saat KEPALA bocor 
terbentur BATU, hanya bisa memaki-maki, memfitnah dengan menyalahkan batu yang 
keras itu tidak manusiawi! Masih juga TIDAK mengerti saat kekuatan diri sendiri 
masih sangat lemah, yaa, ... HARUS MUNDUR DULU, susun kekuatan lebih baik dan 
mencari kesempatan dengan kondisi yang lebih menguntungkan untuk menggerogoti 
lawan sedikit demi sedikit! Jangan keras lawan keras, jangan lakukan “bunuh 
diri” main seruduk dan benturkan kepala pada batu yang jauh lebih keras!





APA YANG SEBENARNYA TERJADI DI TIANANMEN?

Oleh: Gregory Clark / Mantan Diplomat Australia di Jepang.

Diterjemahan oleh: Anthony Hocktong Tjio / Diaspora Indonesia.



Bertahun-tahun “penerangan hitam” dari pemerintah Amerika dan Inggris telah 
berhasil menggelarkan mitos seperti: Perang Vietnam merupakan perlakuan Beijing 
untuk membonekakan Hanoi dalam tujuan perluasannya di Asia, seperti juga Iraq 
memiliki senjata pembinasaan massa, juga yang dianggap pembersihan etnis 
Serbian oleh Kosovars tetapi sesungguhnya adalah kebalikannya, d an sekarang 
menganggap Moskow adalah dalang pro-Russia di Ukreina Timur. Dari semuanya yang 
paling hebat masih itu mitos yang mengatakan bahwa ratusan bahkan ribuan 
mahasiswa dibrondong atau dibantai oleh tentara di Lapangan Tiananmen pada 
tanggal 4 Juni 1989.



Pada achir-achir ini, hikayat pembantaian di Tiananmen malam itu telah 
ditantang kebenarannya, seperti yang disiarkan oleh TV Spanyol, dari pencerahan 
rakyat setempat yang mengungkapkan bahwa pembantaian itu sesungguhnya tidak 
terjadi, yang mereka saksikan hanya adanya pasukan yang memasuki lapangan dan 
meminta supaya para mahasiswa dengan tenang meninggalkan lapangan pada petang 
itu. Demikianlah dijadikan “pembantaian” dijalan-jalan sekitar lapangan 
tersebut, maka menjelang peringatan ke-25 tahun ini, cerita “pembantaian tak 
beralasan” tersebut bakal membara kembali dalam rangka mereka melecehkan 
Beijing.



Untungnya, kenyataan cerita yang sesungguhnya telah dilaporkan secara 
terperinci oleh pihak Kedutaan Besar Amerika di Beijing, ini bisa ditelusuri di 
internet.



Memang, ada terjadi sesuatu yang serupa pembantaian dijalanan-jalanan itu oleh 
satuan yang mula-mula dikirim kesana untuk membubarkan mahasiswa yang 
menghalang-halangi mereka. Namun untuk mencari sebab mengapa pasukan sampai 
melaksanakan kekejian itu, boleh dimengerti dari foto-foto media yang 
menayangkan deretan bus militer yang dibakar oleh massa demonstrasi tersebut.



Sampai sekarang dunia masih mengira bahwa pembakaran bus-bus tersebut akibat 
setelah pasukan mendahului melepaskan tembakan kepada massa. Kenyataannya 
adalah sebaliknya, massa yang menyerang iring-iringan bus yang memasuki 
Beijing, mengakibatkan beberapa belasan tentara terbakar didalam bus, dan 
karena itulah tembakan dimulai. Disini juga tidak perlu jauh-jauh mencari 
buktinya, ada foto-foto yang tidak diterbitkan dimana serdadu yang terbakar 
payah berlarian mencari perlindungan dirumah rakyat disekitarnya, dan 
dilaporkan bahwa ada penggantungan mayat hangus dijembatan viaduk.



Betul, massa mempunyai alasan-alasan mereka untuk protes. Dipermulaan tahun 
1970an, tidak lama setelah dimulainya Revolusi Budaya-nya Mao Ze-dong, saya 
pernah mengelilingi Tiongkok kemana-mana. 



Saya menyaksikan dengan mata sendiri perlakuan kejam yang tidak masuk akal dan 
gila telah melanda seluruh bangsa negara. Saya mungkin bisa ikut-ikutan 
diantara pemrotes, bilamana saya juga seorang mahasiswa atau warga negara 
diwaktu itu maupun sekarang ini, ditahun 1989.



Hal tersebut semestinya disadari oleh pemerintah, maka itu meski protes 
mahasiswa dilapangan tersebut sangat memalukan dan mengganggu, masih juga 
dibiarkan sampai 6 minggu. Malah sekretaris jendral partai juga berupaya 
mengadakan perundingan. Hanya setelah perembukan gagal dan mahasiswa sudah 
memulai bubar maka baru mengambil tindakan untuk menguasai lapangan kembali.



Pada saat itu massa disekitar lapangan sangat besar dan juga tidak beres. Dalam 
catatan kedutaan (Amerika) mengatakan bahwa tindakan semula dari pemerintah 
adalah mengirimkan pasukan yang tidak bersenjata dengan kereta metro, dan ini 
diblok oleh massa dengan mudah. Kemudian mengirimkan pasukan yang dipersenjatai 
maka akibatnya seperti yang telah kita ketahui. Meskipun begitu hanya sebagian 
kesatuan saja yang mengamuk (serdadu layak bersikap begitu bilamana kawan 
seperjuangannya dipanggang: coba tanyakan pada rakyat di-Fallujah, Iraq). 
Sedangkan kesatuan lainnya berusaha mengendalikan mereka. Semua itu terjadi 
diluar, tetapi bukan, didala m lapangan (Tiananmen).



Maka darimanakah tuntutan senapan mesin itu? Inipun kita tidak perlu jauh-jauh 
mencarinya, adalah dari sebuah cerita yang diterbitkan seminggu setelahnya 
dalam surat kabar berbahasa Inggris yang pro-Inggris di Hong Kong, katanya 
dituturkan oleh seorang mahasiswa demonstran yang telah melarikan diri dari 
Tiongkok, tetapi siapakah dia itu tidak ada yang bisa menemukannya. Cerita ini 
dengan pesat menyebar keseluruh dunia dan terbit dihalaman pertama The New York 
Times pada tanggal 12 Juni, maka sejak itu cerita ini telah menyelubungi kita. 
Tiada seorangpun dari wartawan Barat di Beijing yang sudi memeriksa kebenaran 
apa yang telah terjadi pada malam itu, boleh jadi cerita yang penuh perdarahan 
dan mengerikan itu lebih laris.



Syukurlah selain laporan dari Kedutaan Besar Amerka tersebut, sekarang juga ada 
pengamatan tahun 1998 yang teliti dari majalah Columbia Journalism Review yang 
judulnya “ Melaporkan Mitos Tiananmen dan Hadiahnya Pers Pasif” yang mengusut 
“laporan dramatis yang menunjang mitos pembantaian mahasiswa” tersebut.



Sejak semula kita sudah semestinya mencurigai cerita pembantaian tersebut.



Apakah masuk akal pimpinan pemerintah di Beijing seperti Deng Xiao-ping yang 
unggulan dalam upaya reformasi dalam banyak bidang kemasyarakatan Tionghoa bisa 
sengaja menganiaya mahasiswa yang tidak membahayakan, yang menurut tradisi 
mereka merupakan penggerak reformasi di Tiongkok, yang dulunya banyak diikuti 
juga oleh pemimpin pro-komunis.



Bilamana pimpinan pemerintah harus disalahkan, itu terletak dikegagalan melatih 
tentara dalam bidang penertipan massa, suatu kesalahan yang juga telah diakui 
oleh anggauta pemerintah yang sialan. Ironis sekali akibat laporan hitam 
pembantaian khayalan dengan senjata mesin yang dibuat-buat oleh pihak Inggris 
tersebut telah menimbulkan embargo pemasukan senjata Barat yang melarang 
(Tiongkok) untuk mendatangkan perlengkapan untuk memperbaiki tindakan 
penertipan massa yang diperlukan.



Lebih aneh lagi ada berita yang kemudian menyusul bahwa kantor berita Inggris, 
Reuters, menolak untuk menerbitkan itu foto penggantungan mayat hangus 
di-viaduk yang mana semestinya bisa mencerahkan kejadian yang sesungguhnya. Dan 
sekarang telah diketahui dengan jelas bahwa foto Tankman yang tersohor itu, 
dimana seorang mahasiswa mencegat didepan barisan tank-tank tentara yang 
diterbitkan sebagai lambang kenekadan menantang rezim yang kejam, kenyataannya 
terjadi sehari setelah pristiwa Tiananmen, dan tank-tank tersebut sedang 
meninggalkan, tetapi bukan menuju, Lapangan Tiananmen.



Telah jelas bahwa protes di lapangan yang berlarut-larut bakal berachir tanpa 
hasil itu mengakibatkan frustrasi pimpinan mahasiswa untuk mengambil tindakan 
perdarahan dijalanan tersebut. Lagi pula bisa dipersoalkan bagaimana massa 
protes sampai bisa menggunakan bom bensin kepada tentara, suatu senjata yang 
tidak pada umumnya digunakan oleh perusuh di Tiongkok, sehingga sangat banyak 
kendaraan yang dihancurkan. Inilah yang bikin pemerintah jadi marah, sehingga 
mengambil tindakan keras untuk menghukum para pimpinan mahasiswa. Meskipun 
tanpa perincian yang panjang lebar, telah jelas bahwa Peristiwa Pembantaian 
Lapangan Tiananmen tersebut tidak sedurjana seperti yang dibayangkan oleh Barat.



Referensi:



Gregory Clark:

http://www.japantimes.co.jp/opinion/2014/06/03/commentary/world-commentary/really-happened-tiananmen/#.U485whZRSnt



Brian Becker: 

http://www.globalresearch.ca/what-really-happened-in-tiananmen-square-25-years-ago/5385528


Kirim email ke