Yang repot dengan perumpamaan SIM itu kan Anda. Saya sih 
cuma menjelaskan dan meluruskan arah 'perasaan' Anda yang 
menyasar ke mana-mana. Ya sudah seharusnyalah Anda KO 
karena hal sesederhana dan sejelas itu saja tak mampu menangkap 
dan malah dipelintir-pelintir seenak perasaan.
Ini satu contoh lagi, Anda masih meributkan / mempertahankan /merasa benar 
dengan penggunaan kata 'babi' pada uji klinis ini lalu 
dengan polos bertanya, seandainya kata 'babi' diganti 'kelinci' apa 
masih tetap biadab? 

Nah, sambil mengunyah jadah bakar sekarang saya jawab: 
Ya, masih. Dan pertanyaan itu semakin mempertontonkan kebodohanmu 
karena kemarin sudah saya peringatkan: "Kelihatan sekali Anda tidak berusaha 
mengerti atau mencari tahu 
apa itu uji klinis dan malah bersemangat memamerkan kebodohan."

Jelas Anda bodoh, karena selain merupakan pengetahuan umum, uji 
klinis ini sudah juga saya singgung sedikit pada posting sebelumnya. 
Salah sendiri kalau Anda sampai tidak tahu. Salah sendiri kalau Anda 
merasa jadi gembala yang selalu merasa benar dan harus dituruti. 
Merasa ini, merasa itu, tanpa mikir.
Sekian, terimakasih. 

...ah, masih ada potongan jadah terakhir, 

nyam..nyam...
--- jonathangoeij@... wrote:
Saya tidak begitu tertarik permainan kata2 istilah SIM yg anda gunakan itu, 
terserah sajalah.

Seandainya kata 'babi' pada kalimat "Apakah hal ini artinya mulai sekarang 
etika yg melarang pasien2 jadi babi percobaan akan dihapus?" diganti kelinci, 
apakah masih tetap biadab? kalau sudah tidak lagi biadab kenapa kok babi biadab 
tetapi kelinci tidak?

Uji klinis memang diterapkan pada manusia, tetapi dalam melakukan uji klinis 
pertama harus ada ijin terlebih dahulu, kemudian harus disclose, pasien juga 
voluntary dan aware kalau jadi percobaan dan tahu risk yang dihadapi, dan 
mungkin hal2 yg lain.
--- ajegilelu@... wrote :
Inti perkataan Anda tuh ini:
"makanya saya bilang perumpamaan anda kurang tepat. Dr dr Terawan sudah anggota 
IDI dan punya ijin praktek (sudah punya SIM dalam perumpamaan anda), kemudian 
ketahuan melakukan pelanggaran kode etik."
Perkataan Anda tsb di atas menekankan bahwa uji klinis ini tentang 
keanggotaan, lalu seenaknya memastikan saya juga bicara hal 
yang sama, tentang keanggotaan, dengan perumpamaan ujian SIM.
Salah besar, mas. Saya mengumpamakan uji klinis dengan ujian SIM 
itu untuk menggambarkan sifat ujiannya. Ujian SIM dilakukan kepada 
orang yang memiliki kecakapan mengemudi, bukan ujian untuk bisa 
mengemudi apalagi untuk menjadi anggota ikatan pengemudi. Jadi, 
ujian ini hanya soal legalitas. Ujian SIM dilakukan untuk melegalkan 
kecakapan orang tsb dalam membawa kendaraan bermotor di jalan raya. 
Dia tak bakal kehilangan kecakapannya mengemudi sekalipun tidak 
mengantongi SIM. Dia hanya tidak punya izin untuk berkendara di 
jalan raya. Lebih kurangnya seperti itulah sifat dari uji klinis, yaitu 
untuk memberi legalitas / izin  atas temuan obat / metode baru pengobatan. 
Kalau betul bermanfaat bagi kesehatan masyarakat, maka obat / 
metode baru pengobatan itu tak bakal hilang kemujarabannya hanya 
karena tak dilegalkan organisasi. 

Soal penyebutan pasien sebagai 'babi' memang Anda biadab kok, 
ini pernyataan kalimatnya: 

"Apakah hal ini artinya mulai sekarang etika yg melarang pasien2 jadi 
babi percobaan akan dihapus?"
Kelihatan sekali Anda tidak berusaha mengerti atau mencari tahu 
apa itu uji klinis dan malah bersemangat memamerkan kebodohan. 
Sebab, uji klinis adalah tahapan yang harus dilakukan terhadap pasien 
sungguhan, dalam hal ini terhadap manusia, bukan lagi dengan hewan 
yangdilakukan pada tahap uji kelayakan sebelumnya. 

--- jonathangoeij@... wrote:

Re-posting, saya lihat dari tadi kok tidak masuk kemilis.
On Wednesday, April 11, 2018, 11:58:24 AM PDT, Jonathan Goeij wrote:
Inti perkataan saya adalah sudah punya SIM kok harus ujian SIM lagi, Dr dr 
Terawan sudah anggota IDI sudah punya ijin praktek. Uji klinis pd berita ini 
hanya ala kadarnya saja spy beliau tidak diskors, hanya sekedar samaran.

Anda yg menyebut pasien sebagai 'babi'.
Yg saya sebut "babi percobaan". Kenapa istilah babi pada kata 'babi percobaan' 
disebut biadab? bukankah pada kenyataannya babi banyak sekali dipakai utk uji 
klinis.

--- ajegilelu@... wrote :

Ini yang saya tulis: 

Kalau orang sudah punya SIM 
kenapa harus ujian mengambil SIM lagi?
(masih ada di bawah sana)
Lalu Anda pelintir jadi begini: 
"Bukankah sudah punya SIM, kenapa kok mesti ikut ujian SIM lagi?"
Saya kira tidak ada perlunya bersikap biadab dengan menyebut 
pasien sebutan 'babi'.
--- jonathangoeij@...wrote: 
 Bukankah sudah punya SIM, kenapa kok mesti ikut ujian SIM lagi?
Tetapi terserah anda sajalah mau pakai perumpamaan apa saja.
Diantara puluhan ribu pasien apakah benar kesemuanya tahu dijadikan babi 
percobaan? atau karena pasiennya tentara semua ya tinggal manut sang MayJen?

--- ajegilelu@... wrote :

Perumpamaan yang saya buat dengan SIM itu untuk 'kecakapan' dalam mengemudi 
(dalam hal ini metode "cuci otak"). Anda 
menyelewengkannya menjadi 'keanggotaan' dalam organisasi. 
Jadi, pertanyaan "Sebuah kartu tanda anggotakah kedudukan SIM itu?"tetap 
tertuju ke Anda.
--- jonathangoeij@... wrote:
 Yg saya baca rekomendasi IDI hanyalah men-skors selama setahun "a 
recommendation to suspend him for a year over an ethics violation" bukan 
dipecat hanya tidak bisa praktek setahun saja, dalam waktu itu bisa memfokuskan 
diri pada penelitian misalnya ataupun mengajar dan hal2 yg lain.
Anda yg ngambil perumpamaan SIM bukan saya "Nggak bedanya orang yang cakap 
mengemudi kendaraan bermotor dan tinggal ikut ujian untuk mendapatkan SIM" 
seharusnya pertanyaan anda "Sebuah kartu tanda anggotakah kedudukan SIM itu?" 
ditujukan kediri sendiri.
IDI mungkin cuma seperti "kumpulan sopir" tetapi khan sang dokter tidak bisa 
dapat rekomendasi praktek kalau tidak jadi anggota IDI (terkecuali internship 
yg cuman sementara), sedang ijin praktek dari DepKes mensyaratkan rekomendasi 
IDI.

--- ajegilelu@... wrote :

1. Sudah disinggung barang sedikit pada posting 
sebelumnya,https://groups.yahoo.com/neo/groups/GELORA45/conversations/messages/225974

2. Bagaimana Anda bisa begitu pasti kalau perumpamaan 
saya dengan SIM itu cuma tentang keanggotaan kumpulan sopir, 
dan bukan untuk kecakapan mengemudi? 
Sebuah kartu tanda anggotakah kedudukan SIM itu?

--- jonathangoeij@... wrote:
Point no 2, makanya saya bilang perumpamaan anda kurang tepat. Dr dr Terawan 
sudah anggota IDI dan punya ijin praktek (sudah punya SIM dalam perumpamaan 
anda), kemudian ketahuan melakukan pelanggaran kode etik. Kalau diumpamakan IDI 
mungkin seperti polantas yg menangkap/memergoki seorang sopir ojek yg ngebut 
misalnya, nah seharusnya khan ditilang, tetapi jadi dilema karena sang 
pengemudi anggota TNI dgn pangkat tinggi lebih parah lagi para penumpang (yg 
pejabat tinggi) membela sang pengemudi sambil beralasan tiba lebih cepat (lha 
wong ngebut).
Point no 1, ada etika pd uji klinis, setahu saya seperti para pasien harus tahu 
dan dengan kesadarannya sendiri (atau keluarga) ikut serta dalam uji klinis itu 
dan diberi penjelasan risk yg dihadapi sebelum uji klinis. Dan juga tidak bisa 
diterapkan pada semua pasien seperti yg saya baca diberita itu.
--- ajegilelu@... wrote :

1. Uji klinis itu untuk menguji keampuhan obat / pengobatan pada 
subyek sungguhan, pada pasien (setelah melewati tahap uji kelayakan 
dengan subyek hewan dsb).

   

Kirim email ke