Inti perkataan Anda tuh ini: "makanya saya bilang perumpamaan anda kurang tepat. Dr dr Terawan sudah anggota IDI dan punya ijin praktek (sudah punya SIM dalam perumpamaan anda), kemudian ketahuan melakukan pelanggaran kode etik." Perkataan Anda tsb di atas menekankan bahwa uji klinis ini tentang keanggotaan, lalu seenaknya memastikan saya juga bicara hal yang sama, tentang keanggotaan, dengan perumpamaan ujian SIM. Salah besar, mas. Saya mengumpamakan uji klinis dengan ujian SIM itu untuk menggambarkan sifat ujiannya. Ujian SIM dilakukan kepada orang yang memiliki kecakapan mengemudi, bukan ujian untuk bisa mengemudi apalagi untuk menjadi anggota ikatan pengemudi. Jadi, ujian ini hanya soal legalitas. Ujian SIM dilakukan untuk melegalkan kecakapan orang tsb dalam membawa kendaraan bermotor di jalan raya. Dia tak bakal kehilangan kecakapannya mengemudi sekalipun tidak mengantongi SIM. Dia hanya tidak punya izin untuk berkendara di jalan raya. Lebih kurangnya seperti itulah sifat dari uji klinis, yaitu untuk memberi legalitas / izin atas temuan obat / metode baru pengobatan. Kalau betul bermanfaat bagi kesehatan masyarakat, maka obat / metode baru pengobatan itu tak bakal hilang kemujarabannya hanya karena tak dilegalkan organisasi.
Soal penyebutan pasien sebagai 'babi' memang Anda biadab kok, ini pernyataan kalimatnya: "Apakah hal ini artinya mulai sekarang etika yg melarang pasien2 jadi babi percobaan akan dihapus?" Kelihatan sekali Anda tidak berusaha mengerti atau mencari tahu apa itu uji klinis dan malah bersemangat memamerkan kebodohan. Sebab, uji klinis adalah tahapan yang harus dilakukan terhadap pasien sungguhan, dalam hal ini terhadap manusia, bukan lagi dengan hewan yangdilakukan pada tahap uji kelayakan sebelumnya. --- jonathangoeij@... wrote: Re-posting, saya lihat dari tadi kok tidak masuk kemilis. On Wednesday, April 11, 2018, 11:58:24 AM PDT, Jonathan Goeij wrote: Inti perkataan saya adalah sudah punya SIM kok harus ujian SIM lagi, Dr dr Terawan sudah anggota IDI sudah punya ijin praktek. Uji klinis pd berita ini hanya ala kadarnya saja spy beliau tidak diskors, hanya sekedar samaran. Anda yg menyebut pasien sebagai 'babi'. Yg saya sebut "babi percobaan". Kenapa istilah babi pada kata 'babi percobaan' disebut biadab? bukankah pada kenyataannya babi banyak sekali dipakai utk uji klinis. --- ajegilelu@... wrote : Ini yang saya tulis: Kalau orang sudah punya SIM kenapa harus ujian mengambil SIM lagi? (masih ada di bawah sana) Lalu Anda pelintir jadi begini: "Bukankah sudah punya SIM, kenapa kok mesti ikut ujian SIM lagi?" Saya kira tidak ada perlunya bersikap biadab dengan menyebut pasien sebutan 'babi'. --- jonathangoeij@...wrote: Bukankah sudah punya SIM, kenapa kok mesti ikut ujian SIM lagi? Tetapi terserah anda sajalah mau pakai perumpamaan apa saja. Diantara puluhan ribu pasien apakah benar kesemuanya tahu dijadikan babi percobaan? atau karena pasiennya tentara semua ya tinggal manut sang MayJen? --- ajegilelu@... wrote : Perumpamaan yang saya buat dengan SIM itu untuk 'kecakapan' dalam mengemudi (dalam hal ini metode "cuci otak"). Anda menyelewengkannya menjadi 'keanggotaan' dalam organisasi. Jadi, pertanyaan "Sebuah kartu tanda anggotakah kedudukan SIM itu?"tetap tertuju ke Anda. --- jonathangoeij@... wrote: Yg saya baca rekomendasi IDI hanyalah men-skors selama setahun "a recommendation to suspend him for a year over an ethics violation" bukan dipecat hanya tidak bisa praktek setahun saja, dalam waktu itu bisa memfokuskan diri pada penelitian misalnya ataupun mengajar dan hal2 yg lain. Anda yg ngambil perumpamaan SIM bukan saya "Nggak bedanya orang yang cakap mengemudi kendaraan bermotor dan tinggal ikut ujian untuk mendapatkan SIM" seharusnya pertanyaan anda "Sebuah kartu tanda anggotakah kedudukan SIM itu?" ditujukan kediri sendiri. IDI mungkin cuma seperti "kumpulan sopir" tetapi khan sang dokter tidak bisa dapat rekomendasi praktek kalau tidak jadi anggota IDI (terkecuali internship yg cuman sementara), sedang ijin praktek dari DepKes mensyaratkan rekomendasi IDI. --- ajegilelu@... wrote : 1. Sudah disinggung barang sedikit pada posting sebelumnya,https://groups.yahoo.com/neo/groups/GELORA45/conversations/messages/225974 2. Bagaimana Anda bisa begitu pasti kalau perumpamaan saya dengan SIM itu cuma tentang keanggotaan kumpulan sopir, dan bukan untuk kecakapan mengemudi? Sebuah kartu tanda anggotakah kedudukan SIM itu? --- jonathangoeij@... wrote: Point no 2, makanya saya bilang perumpamaan anda kurang tepat. Dr dr Terawan sudah anggota IDI dan punya ijin praktek (sudah punya SIM dalam perumpamaan anda), kemudian ketahuan melakukan pelanggaran kode etik. Kalau diumpamakan IDI mungkin seperti polantas yg menangkap/memergoki seorang sopir ojek yg ngebut misalnya, nah seharusnya khan ditilang, tetapi jadi dilema karena sang pengemudi anggota TNI dgn pangkat tinggi lebih parah lagi para penumpang (yg pejabat tinggi) membela sang pengemudi sambil beralasan tiba lebih cepat (lha wong ngebut). Point no 1, ada etika pd uji klinis, setahu saya seperti para pasien harus tahu dan dengan kesadarannya sendiri (atau keluarga) ikut serta dalam uji klinis itu dan diberi penjelasan risk yg dihadapi sebelum uji klinis. Dan juga tidak bisa diterapkan pada semua pasien seperti yg saya baca diberita itu. --- ajegilelu@... wrote : 1. Uji klinis itu untuk menguji keampuhan obat / pengobatan pada subyek sungguhan, pada pasien (setelah melewati tahap uji kelayakan dengan subyek hewan dsb). 2. Lalu apa perumpamaan yang tepat? Kalau orang sudah punya SIM kenapa harus ujian mengambil SIM lagi? Itu kan nggak logis walaupunlegal. Begitu juga mengaitkan persoalan ini dengan kepangkatan militer betul-betul paranoid sekalipun legal. --- jonathangoeij@... wrote: Perumpamaan yg tepat bukannya "Nggak bedanya orang yang cakap mengemudi kendaraan bermotor dan tinggal ikut ujian untuk mendapatkan SIM" karena sebetulnya sudah punya SIM, tetapi apakah pengemudi yg melanggar rambu lalu lintas kemudian enggak ditilang hanya karena ybs TNI dan jendral lagi yg dibela jendral2 yg lain. On Wednesday, April 11, 2018, 8:46:09 AM PDT, Jonathan Goeij wrote: Apakah hal ini artinya mulai sekarang etika yg melarang pasien2 jadi babi percobaan akan dihapus? Atau hanya khusus dr. Terawan?Seandainya dr. Terawan bukan Mayjen dan/atau bukan Kepala RSPAD apakah juga akan menimbulkan kegaduhan seperti ini? --- ajegilelu@... wrote : Sekedar formalitas. Barangkali ya tinggal ini kompromi terbaik supaya IDI tidak kehilangan muka. Toh dalam "uji klinis" yang selama ini dilakukan dr. Terawan terhadap para pasiennya dianggap berhasil, memuaskan para pasiennya. Jadi, sekarang tinggal memenuhi azas legalitas saja. Nggak bedanya orang yang cakap mengemudi kendaraan bermotor dan tinggal ikut ujian untuk mendapatkan SIM. --- SADAR@... wrote: Metode 'Cuci Otak' Dokter Terawan Akan Diuji Klinis