Bukankah sudah punya SIM, kenapa kok mesti ikut ujian SIM lagi?
Tetapi terserah anda sajalah mau pakai perumpamaan apa saja.
Diantara puluhan ribu pasien apakah benar kesemuanya tahu dijadikan babi 
percobaan? atau karena pasiennya tentara semua ya tinggal manut sang MayJen?

---In GELORA45@yahoogroups.com, <ajegilelu@...> wrote :

Perumpamaan yang saya buat dengan SIM itu untuk 'kecakapan' dalam mengemudi 
(dalam hal ini metode "cuci otak"). Anda 
menyelewengkannya menjadi 'keanggotaan' dalam organisasi. 
Jadi, pertanyaan "Sebuah kartu tanda anggotakah kedudukan SIM itu?"tetap 
tertuju ke Anda.
--- jonathangoeij@... wrote:
 Yg saya baca rekomendasi IDI hanyalah men-skors selama setahun "a 
recommendation to suspend him for a year over an ethics violation" bukan 
dipecat hanya tidak bisa praktek setahun saja, dalam waktu itu bisa memfokuskan 
diri pada penelitian misalnya ataupun mengajar dan hal2 yg lain.
Anda yg ngambil perumpamaan SIM bukan saya "Nggak bedanya orang yang cakap 
mengemudi kendaraan bermotor dan tinggal ikut ujian untuk mendapatkan SIM" 
seharusnya pertanyaan anda "Sebuah kartu tanda anggotakah kedudukan SIM itu?" 
ditujukan kediri sendiri.
IDI mungkin cuma seperti "kumpulan sopir" tetapi khan sang dokter tidak bisa 
dapat rekomendasi praktek kalau tidak jadi anggota IDI (terkecuali internship 
yg cuman sementara), sedang ijin praktek dari DepKes mensyaratkan rekomendasi 
IDI.

--- ajegilelu@... wrote :

1. Sudah disinggung barang sedikit pada posting 
sebelumnya,https://groups.yahoo.com/neo/groups/GELORA45/conversations/messages/225974

2. Bagaimana Anda bisa begitu pasti kalau perumpamaan 
saya dengan SIM itu cuma tentang keanggotaan kumpulan sopir, 
dan bukan untuk kecakapan mengemudi? 
Sebuah kartu tanda anggotakah kedudukan SIM itu?

--- jonathangoeij@... wrote:
Point no 2, makanya saya bilang perumpamaan anda kurang tepat. Dr dr Terawan 
sudah anggota IDI dan punya ijin praktek (sudah punya SIM dalam perumpamaan 
anda), kemudian ketahuan melakukan pelanggaran kode etik. Kalau diumpamakan IDI 
mungkin seperti polantas yg menangkap/memergoki seorang sopir ojek yg ngebut 
misalnya, nah seharusnya khan ditilang, tetapi jadi dilema karena sang 
pengemudi anggota TNI dgn pangkat tinggi lebih parah lagi para penumpang (yg 
pejabat tinggi) membela sang pengemudi sambil beralasan tiba lebih cepat (lha 
wong ngebut).
Point no 1, ada etika pd uji klinis, setahu saya seperti para pasien harus tahu 
dan dengan kesadarannya sendiri (atau keluarga) ikut serta dalam uji klinis itu 
dan diberi penjelasan risk yg dihadapi sebelum uji klinis. Dan juga tidak bisa 
diterapkan pada semua pasien seperti yg saya baca diberita itu.
--- ajegilelu@... wrote :

1. Uji klinis itu untuk menguji keampuhan obat / pengobatan pada 
subyek sungguhan, pada pasien (setelah melewati tahap uji kelayakan 
dengan subyek hewan dsb).
2. Lalu apa perumpamaan yang tepat? Kalau orang sudah punya SIM 
kenapa harus ujian mengambil SIM lagi? Itu kan nggak logis walaupunlegal. 
Begitu juga mengaitkan persoalan ini dengan kepangkatan militer 
betul-betul paranoid sekalipun legal.
--- jonathangoeij@... wrote: Perumpamaan yg tepat bukannya "Nggak bedanya orang 
yang cakap mengemudi kendaraan bermotor dan tinggal ikut ujian untuk 
mendapatkan SIM" karena sebetulnya sudah punya SIM, tetapi apakah pengemudi yg 
melanggar rambu lalu lintas kemudian enggak ditilang hanya karena ybs TNI dan 
jendral lagi yg dibela jendral2 yg lain.

On Wednesday, April 11, 2018, 8:46:09 AM PDT, Jonathan Goeij wrote:
Apakah hal ini artinya mulai sekarang etika yg melarang pasien2 jadi babi 
percobaan akan dihapus? Atau hanya khusus dr. Terawan?Seandainya dr. Terawan 
bukan Mayjen dan/atau bukan Kepala RSPAD apakah juga akan menimbulkan kegaduhan 
seperti ini?

--- ajegilelu@... wrote :

Sekedar formalitas. Barangkali ya tinggal ini kompromi terbaik 
supaya IDI tidak kehilangan muka. Toh dalam "uji klinis" 
yang selama ini dilakukan dr. Terawan terhadap para pasiennya 
dianggap berhasil, memuaskan para pasiennya. Jadi, sekarang 
tinggal memenuhi azas legalitas saja. Nggak bedanya orang 
yang cakap mengemudi kendaraan bermotor dan tinggal ikut ujian 
untuk mendapatkan SIM.
--- SADAR@... wrote: Metode 'Cuci Otak' Dokter Terawan Akan Diuji Klinis













Dr dr Terawan Agus Putranto saat memberikan keterangan di RSPAD 
Gatot Subroto, Rabu (4/4). (Dok. JawaPos.com) JawaPos.com - Kementerian Riset 
Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) dan Kementerian Kesehatan 
(Kemenkes) akan segera melakukan mediasi terkait metode temuan yang dilakukan 
Dokter Terawan Agus Putranto. Menristekdikti, Mohamad Nasir menjelaskan, 
pertemuan mediasi akan dilakukan melalui komite bersama antar Kementerian. 
Rencananya, pertemuan ini akan membahas uji klinis metode Dokter Terawan. 
"Sudah ada (komunikasi dengan Dokter Terawan), nanti kita tinggal memanggil 
profesi kita akan cari jalan keluar yang terbaik," jelas Nasir di Jakarta, 
Selasa kemarin (10/4). Menurut Nasir, dengan pertemuan ini diharapkan lembaga 
profesi tidak semudah itu memberi hukuman. Terlebih inovasi, malah seharusnya 
hal ini diberikan pendampingan agar memberikan hasil yang terbaik. "Tujuannya 
kita tidak selalu memudahkan untuk memberikan hukuman, inovasi tidak jalan 
kalau dengan cara begitu. Kita mendorong inovasi jika itu baik," kata Nasir.

Kirim email ke