https://news.detik.com/kolom/d-4688060/papua-dan-kesenjangan-dialogis?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.224258459.1268651176.1567274234-1790672982.1567274234
Sabtu 31 Agustus 2019, 12:47 WIB
Kolom
Papua dan Kesenjangan Dialogis
Yorrys Raweyai - detikNews
<https://news.detik.com/kolom/d-4688060/papua-dan-kesenjangan-dialogis?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.224258459.1268651176.1567274234-1790672982.1567274234#>
Yorrys Raweyai
<https://news.detik.com/kolom/d-4688060/papua-dan-kesenjangan-dialogis?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.224258459.1268651176.1567274234-1790672982.1567274234#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4688060/papua-dan-kesenjangan-dialogis?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.224258459.1268651176.1567274234-1790672982.1567274234#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4688060/papua-dan-kesenjangan-dialogis?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.224258459.1268651176.1567274234-1790672982.1567274234#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4688060/papua-dan-kesenjangan-dialogis?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.224258459.1268651176.1567274234-1790672982.1567274234#>
2 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4688060/papua-dan-kesenjangan-dialogis?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.224258459.1268651176.1567274234-1790672982.1567274234#>
Papua dan Kesenjangan Dialogis Aksi damai warga Papua di Yogyakarta
(Foto: Pradito Rida Pertana)
*Jakarta* - Upaya merajut stabilitas tatanan kehidupan di Bumi
Cenderawasih kembali terusik. Persekusi sejumlah oknum terhadap
mahasiswa Papua di Surabaya memicu aksi di berbagai daerah. Bukan
sekadar ungkapan bernada rasis yang mengemuka, tapi juga reaksi
penanganan atas riak-riak persoalan acap kali mengundang respons yang
bertolak belakang.
Bara api dalam sekam seakan tidak pernah redup. Publik disuguhkan
pemandangan yang cenderung mengulang kisah dan cerita yang tidak ada
habisnya. Pada gilirannya, Papua sebagai Tanah Damai hanya slogan, manis
diucapkan, tapi begitu rumit untuk dijalankan. Hampir dua dasawarsa
pemberlakuan kebijakan Otonomi Khusus seakan tidak berbekas. Kita pun
dihantui kegagalan mengintegrasikan Papua dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
*Suara yang Terabaikan*
Tampaknya, kegalauan pemerintah belumlah usai dalam menentukan kebijakan
seperti apa yang layak diterapkan bagi kondisi Papua saat ini. Berbagai
pemikiran, sejumlah rekomendasi diajukan, pun tidak membuahkan hasil
signifikan bagi terciptanya perubahan. Selebihnya, tindakan-tindakan
represif dan reaktif justru menghiasi lembaran-lembaran kebijakan yang
justru sama sekali tidak memberikan solusi yang lebih baik.
Boleh jadi, kenyataan inilah yang membuat masyarakat Papua meradang.
Konsistensi penanganan tidak pernah sejalan dengan niat tulus dan maksud
baik pemerintah yang selama ini justru digemakan. Aksi represif dan
reaktif yang berlindung di balik ketegasan dan adagium Negara Kedaulatan
Republik Indonesia sebagai "harga mati", justru "mematikan" rasa
memiliki masyarakat Papua terhadap bangsanya sendiri.
Pada kenyataannya, kondisi Papua saat ini adalah wajah kegagalan
pemerintah dalam "meng-Indonesia-kan" Papua. Solusi damai yang bermuara
pada cita-cita untuk mengembalikan harkat dan martabat (/dignity/)
masyarakat Papua, hanya sebatas retorika yang hampa makna dan
implementasi. Sebab, di sisi lain, proses pengembalian tersebut tidak
diiringi dengan konsistensi yang melandaskan solusinya pada kebijakan
Otonomi Khusus.
Harkat dan martabat adalah taruhan kemanusiaan yang menjelaskan betapa
kebijakan sosial dan politik yang berlangsung selama ini masih sebatas
retorika. Di balik itu, kekerasan dan penindasan tak kunjung usai.
Pemerintah cenderung mengabaikan institusi-institusi sosial, politik dan
budaya yang diamanatkan oleh UU Otonomi Khusus.
Kekhususan terhadap Papua dipahami secara partikular dan sepihak, sesuai
dengan kepentingan pemerintah pusat. Karena itu, sulit untuk dinafikan,
bahwa letupan-letupan dinamika kehidupan masyarakat Papua akan selalu
berujung pada persoalan. Suara-suara keluh dan gelisah hanya akan
dimaknai sebagai "kebisingan" ketimbang ratapan anak bangsa yang sedang
menuntut harkat dan martabatnya untuk diakui.
*Stigma "Merdeka"*
Paradigma penanganan kondisi Papua masih belum beranjak dari imaji laten
tentang "kemerdekaan". Di satu sisi, imaji itu cukup relevan mengingat
sejarah integrasi Papua dalam NKRI memiliki cerita tersendiri yang
berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Di sisi lain, mengelola imaji
tersebut diselenggarakan dengan cara yang parsial dan sederhana, tidak
holisitik dan komprehensif.
Merebut hati memang bukanlah perkara mudah. Bukan sekedar melepas dahaga
masyarakat Papua yang sedang tertinggal dan terbelakang. Tapi juga
memberi oase harapan yang mampu menjembatani kegelisahan masa lalu.
Kegelisahan yang sesungguhnya bukan lagi kegelisahan Papua itu sendiri,
tapi telah menjadi kegelisahan bersama, kegelisahan yang bahkan telah
menjadi konsumsi global.
Upaya terakhir inilah yang sesungguhnya pernah diajukan sebagai solusi
jangka pendek di awal masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan
memberi Harapan Baru melalui 3 (tiga) strategi. Pertama, meningkatkan
frekuensi kunjungan ke Papua; memberi grasi, membuka akses pada
jurnalisme luar negeri, pembangunan infrastruktur, kebijakan satu harga
bahan bakar.
Kedua, meningkatkan koordinasi tingkat kementerian politik dan keamanan
terkait, perubahan paradigma tentang Papua, identifikasi pelanggaran
HAM, diplomasi dengan MSG. Ketiga, menghindari internasionalisasi
persoalan Papua, menyelesaikan persoalan HAM, serta pembangunan yang
berdasarkan kultur.
Meski demikian, ketiga strategi tersebut belum sepenuhnya berjalan
dengan baik. Salah satu persoalan utama yang belum terakomodasi adalah
persamaan visi dan misi tentang bagaimana merespons kompleksitas
persoalan. Belum lagi ukuran kinerja tentang membangun Papua yang belum
tertakar dengan jelas dan tegas.
Di balik itu, persepsi tentang "merdeka" masih menjadi isu laten.
Respons terhadap upaya menjembatani kegelisahan seringkali lebih
diwarnai sebagai upaya meredam keinginan untuk "merdeka". Tidak bisa
dipungkiri, paradigma separatisme menjadi jalan pintas untuk mengurai
sebuah aksi dan peristiwa. Saling sahut kekerasan pun tidak bisa dihindari.
Persoalan Papua lebih identik dengan kekerasan, ketimbang upaya merajut
kembali kehidupan yang lebih baik. Stigma separatisme mengurai jalan
pintas di tengah "keputusasaan" kedua belah pihak. Stigma itu pula yang
semakin mengaburkan sejarah kelam yang tak pernah terkuak dan
terluruskan selama puluhan tahun.
Politik sekuritas sudah terlanjur memposisikan masyarakat Papua sebagai
"musuh". Logika ke-kita-an berangsur hilang tak berbekas, digerus oleh
pragmatisme penanganan yang tidak pernah ingin mematangkan kesabaran
dalam menghadapi riak-riak dan dinamika yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat Papua. Kondisi ini terasa sulit diterima, mengingat kebijakan
Otonomi Khusus telah menyajikan jalan yang manusiawi dalam
meng-Indonesia-kan masyarakat Papua.
Otonomi Khusus bukan semata pemberian, namun hak yang secara inheren
terkandung dalam rahim sosial masyarakat Papua. Substansi Otonomi Khusus
menegaskan bahwa masyarakat Papua adalah bagian integral NKRI. Mereka
berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan setara sebagai warga negara.
Perlakuan adil dan setara adalah tuntutan utama, sebab bangsa ini tidak
bisa menutup mata, bahwa Papua memiliki konteks historisnya sendiri.
Bukanlah sikap arif dan bijak, jika historitas Papua diabaikan dengan
mengatasnamakan nasionalisme yang sempit.
Logika ke-kita-an sebagai dasar nasionalisme universal seharusnya tidak
boleh tergerus oleh nasionalisme sempit. Nasionalisme yang sebatas
memandang persamaan nasib dan sejarah untuk membangun komunitas. Di sisi
lain, sejarah masa lalu terkadang dikubur atas nama persatuan dan
kesatuan. Sementara nasib selalu tidak seiring, tidak sama dan sebanding
dengan cita-cita yang hendak digapai. Oleh karena itu, nasionalisme
universal menggiring opini terbuka tentang kerelaan, persamaan nasib,
cita-cita dan harapan akan nilai rasa keadilan dan persamaan dalam
segala hal.
Pola penanganan yang represif dan reaktif telah terbukti tidak mampu
menyelesaikan persoalan, namun hanya menjadikan adagium "harga mati"
NKRI sejalan dengan kemerdekaan yang juga mati. Seringkali aktivitas
politik masyarakat Papua hanya menghasilkan tumbal yang justru
mencederai tekad dan niat tulus untuk merangkul semua pihak.
Siklus kekerasan dan penindasan inilah yang membuat bangsa ini terus
mewarisi beban sejarah yang makin perih dan berat, sarat dengan dendam
dan kebencian. Rakyat Papua selalu menjadi objek yang dipersalahkan,
sementara kekuasaan berdiri dengan kebenaran yang dilegitimasi sendiri.
Sungguh disayangkan, keran aspirasi dipandang sebagai bagian dari
perlawanan. Pemerintah mengabaikan institusi-institusi sosial, politik,
dan budaya yang diamanatkan oleh UU Otonomi Khusus itu sendiri.
Pendekatan ini cukup ironis, mengingat hingga saat ini Papua tidak
berada dalam situasi darurat militer. Keterlibatan peran TNI yang cukup
berlebihan menunjukkan bahwa dinamika dan riak-riak kehidupan yang
terjadi di Papua selalu dipandang sebagai ancaman yang cukup sederhana
untuk sekedar dinilai sebagai tindakan separatis.
Dominasi paradigma ini menempatkan pemerintah sebagai pihak yang selalu
merasa benar sendiri, justru dengan kekerasan yang mereka lakukan secara
terus-menerus. Akibatnya, akar persoalan di Papua semakin tergerus dan
tereduksi dalam bingkai keamanan dan ketertiban.
*Solusi Dialogis
*
Mencermati kondisi saat ini, cukuplah kiranya kita menempatkan persoalan
Papua dalam proses penyelesaian yang lebih komprehensif. Penyelesaian
komprehensif akan menafikan aksi-aksi parsial, seperti yang berlangsung
saat ini. Salah satu proses yang mengarah pada komprehensivitas tersebut
adalah mengedepankan suasana dialogis. Dialog membuka ruang rekonsiliasi
kedua belah pihak. Dinamika sosial, politik, ekonomi dan budaya akan
direspons sebagai tawaran awal mengkompromikan sejumlah konsesi politik.
Hal itulah yang tidak terjadi saat ini.
Kegagalan demi kegagalan dalam menerapkan kebijakan adalah imbas dari
menyiutnya potensi dialogis. Sementara harapan bagi kehidupan masyarakat
yang lebih baik hanya bisa diselesaikan dengan cara itu. Sebab logika
persatuan dan kesatuan tidak akan pernah terjalin tanpa adanya
kesepahaman visi, misi, tujuan dan cita-cita.
UU Otonomi Khusus telah mengamanatkan peran institusional yang bertindak
sebagai perwakilan suara rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat Papua adalah
lembaga legislatif yang berperan menjembatani dialog. Sementara Majelis
Rakyat Papua sebagai lembaga representasi kultural produk Otonomi Khusus
memberi /input/ pertimbangan isi dialog yang hendak disepakati.
Maksimalisasi peran kedua lembaga tersebut akan menghasilkan kebijakan
yang bersumber dari kepentingan rakyat (/bottom-up/), bukan tafsiran
sepihak.
Dalam suasana dialogis, semua pihak berdiri sama tinggi dan duduk sama
rendah. Tidak ada pihak yang lebih dominan atas yang lainnya, sebab
suasana dialog mengandaikan kesetaraan dan kesamaan kesempatan untuk
mengemukakan pendapat. Hasil dari serangkaian dialog tersebut adalah
hasil kesepakatan bersama. Sehingga simpang-siur opini tentang kondisi
objektif Papua tidak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk semakin
memperkeruh suasana.
Sudah saatnya juga segala persoalan dan riak-riak parsial terkait dengan
isu Papua dikanalisasi secara institusional yang merepresentasikan
kepentingan Papua di satu sisi dan pemerintah di sisi lain. Pemerintah
perlu melembagakan suara-suara dan opini liar tentang Papua dan
mendudukkannya secara proporsional.
Baik masyarakat Papua maupun pemerintah tentu tidak ingin isu-isu laten
dan kejadian yang berulang tidak terselesaikan dengan baik. Karena itu,
institusi-institusi perwakilan sudah seharusnya memiliki porsi yang
besar untuk didengar, bukan sekedar dijadikan bahan pertimbangan untuk
kemudian pemerintah melakukan tindakan sepihak.
Berharap pada bangunan dialogis, berarti memberi secercah sinar terang
bagi kehidupan rakyat Papua. Stigma separatisme akan terkikis saat
dialog menjadi metode penyelesaian persoalan. Pada akhirnya, tidak ada
persoalan yang tak bisa diurai dan diselesaikan dengan baik, selama niat
dan kehendak tulus masih bersarang dalam logika akal sehat.
Dua dasawarsa operasi kebijakan Otonomi Khusus tidaklah sebanding dengan
puluhan tahun masa kelam penderitaan rakyat Papua. Sementara itu, 25
tahun masa pemberlakuan Otonom Khusus seharusnya memantik tidur lelap
panjang kita untuk terbangun dan menyadari betapa rentang batas masa itu
semakin dekat. Karena itu, tanpa suasana kultural-dialogis, pendekatan
komprehensif, maka retorika tidak cukup mampu mengurai substansial
persoalan hingga terselesaikan dengan baik.
*Yorrys Raweyai* /anggota DPD Terpilih 2019-2024 Dapil Papua/
*(mmu/mmu)
*
**