Dan, Amerika pun Menyerah

Bukan di medan pertempuran Afganistan, pun bukan di padang pasir Irak,
tapi di dalam negeri sendiri, Amerika menyerah. Bukan ditaklukkan oleh
tentara negara asing, apalagi oleh teroris, melainkan dihajar oleh
"tangan-tangan tak terlihat" yang sebenarnya dalam pandangan
kapitalisme- liberalisme dipercaya sebagai "kawan". 

Pukulan "tangan-tangan tak terlihat" itu langsung menghujam di jantung
dan simbol kapitalisme- liberalisme, Bursa Saham New York atau populer
dengan sebutan Wall Street. Indikator kekuatan harga saham-saham
unggulan (Dow Jones) terus terperosok. Pernah terpuruk 777 poin atau
kalau seluruh saham yang turun harganya itu ditotal kerugiannya
mencapai US$1,5 triliun. Tragisnya, beberapa hari setelah dana
talangan sebesar US$700 miliar (Anda susah membayangkan besarnya nilai
uang ini? Bandingkan dengan total hasil perekonomian Indonesia yang
hanya US$490 miliar)
 disetujui, harga saham-saham berkapitalisasi
besar di Wall Street justru merosot 500 poin. Dan, penurunan harga
saham itu ternyata tak bisa dibendung, terus turun, setidaknya hingga
kemarin, meski hanya 100 poin lebih. Pasar tak bereaksi, pemodal tetap
panik dan menjual portofolio mereka.

Maka, Presiden Bush pun tak lagi memiliki kepercayaan diri, seperti
yang dia perlihatkan pada awal-awal krisis. "Saya ingin melakukan
sesuatu untuk menghentikan semua ini," kata Presiden Bush, "tapi
krisis ternyata belum juga berhenti." Presiden Bush pun terpaksa
meminta bantuan kawan-kawannya di Eropa yang sebelumnya ia acuhkan,
hal mana membuat Uni Eropa terpaksa menggelar pertemuan sendiri.

Kebijakan Presiden Bush meminta bantuan itu sejalan dengan apa yang
dikatakan Gedung Putih bahwa pemerintah federal terbuka menerima
usulan yang bisa mengatasi semua kekacauan ini. Bukankah hal ini
sesuatu yang bisa ditafsirkan
 sebagai pernyataan kekalahan?

Masalahnya, siapa yang bisa dan mau membantu? Tidakkah semua negara
maju dio Eropa dan Jepang juga terkena dampak buruk krisis di Amerika
ini? Lohatlah: kejatuhan harga saham di Wall Street langsung menyebar
bagai virus ke seantero pasar modal. Tidak saja di negara-negara
industri di Eropa plus Jepang, juga di negara-negara kecil seperti
Indonesia yang terpaksa mengambil langkah tidak pupuler dengan
menghentikan sementara perdagangan sahamnya.

Apakah sebenarnya akar masalah dari kekacauan sektor finansial ini?
Banyak yang sudah menjelaskan bahwa biang masalah adalah pasar yang
minim aturan, jika tak mau mengatakan tidak ada sama sekali aturan. 
Pasar yang kelewat liberal itu, pada akhirnya memangsa pelakunya
sendiri, lewat ya... itu tadi, tangan-tangan tak terlihat. Pasar yang
minim aturan akan membiarkan pelakunya mengespresikan secara sempurna
sifat serakah manusia.
 Pernyataan ini pasti ditentang habis-habisan
oleh pendukung liberalisme. . Karena itu biarlah kita kutip pernyataan
pendukung liberalisme sendiri yakni mantan Direktur Pelaksana IMF
Michel Camdessus, `'Semua ini karena aturan yang minim." 

Lalu apakah ini akhir dari kapitalisme- liberalisme? Mungkin tidak.
Ideologi ini masih terlalu besar untuk tumbang, setidaknya untuk saat
ini. Tapi siapakah yang bisa menebak arah sejarah?


      
___________________________________________________________________________
Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru.
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

Kirim email ke