yth, bapak BIK...

hasilnya ada saya sdh share...silahkan di unduh ya, dan jgn lupa minta komen 
nya...

btw, soal TUTUHIYA karena MOHIHIYA sebenarnya bukan cuma ada di gorontalo 
saja...hampir di smua daerah/wilayah juga ada. jangankan dlm wilayah yg lebih 
luas, dlm lingkungan yg lbh kecil (keluarga) saja ada yg sperti itu. 
TAPI....mungkin saja untuk gorontalo, kondisinya sudah "lumayan" PARAH 
kondisinya hehehe....(atiolo hulondalo'u)...

jujur, secara dewasa saya baru 2 tahun terakhir konsrn memperhatikan dan 
memikirkan hingga bertindak (dengan menjadi koord.POKJA advokasi Pluralism untk 
gtlo) untuk kondisi gorontalo, karena baru 2 tahun hijrah ke gtlo. selama 15thn 
sebelumnya di makassar saya bahkan tidak pernah memperhatikan apapun soal 
gorontalo krn memang "kurang" tertarik.

sebenarnya : SEBENARNYA lhoo...orang gorontalo adalah orang yang paling ramah 
(itu menurut hampir smua orang "bukan gorontalo" yang saya tanya tentang 
tipikal org gtlo)...tman2 juga pastinya tau dan sadar to...kalo torang emang 
bener ramah, apalagi sama orang baru...hanya saja, keramahan itu berlaku di 
depan, ga berlaku di blakang, dalam artian kita ramah dan baek sama orang itu, 
tapi d blakangnya kita srasa mo nikam dia dr blakang, artinya lagi, suka 
ceritain orang di blakang, artinya lagi, suka ba karlota...(hhmmm delo o'tutu 
utiye...?..)

kalopun pengen ada survey tentang budaya itu (TUTUHIYA karena MOHIHIYA)...knapa 
tidak..???


salam

yola








________________________________
Dari: Batara Indra Krisna <bataraindrakri...@yahoo.com>
Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Terkirim: Rab, 19 Mei, 2010 12:21:00
Judul: Re: [GM2020] share advokasi pluralisme : Kota Gorontalo Potensi Konflik 
Terbuka

  
Mbak Yolanda yg baik, thanks atas sharing info yg menarik & sangat baik jika 
hasilnya beserta metode pengumpulan data & analisanya disajikan.

Akan tetapi meskipun tanpa penelitian kita sdh bisa mengetahui bahwa potensi 
konflik itu sangat besar sebab bukankah suku Gtlo yg menghuni daerah kita 
terkenal dgn budaya2 buruk spt TUTUHIYA karena MOHIHIYA, budaya saling sikut, 
saling sikat, saling gasak, saling tendang, saling menjatuhkan yg berasal dr 
watak irìhati. Zaman dulu ketika kami masih tinggal di Gtlo konflik itu sudah 
ada antar sesama masyarakat suku asli Gtlo yaitu perang fitnah, perang hasutan 
dan perang black magic atau baku bage dgn pedi.
Nah, bagaimana Gtlo dizaman skrg? Zaman ketika Gtlo berhasil menjadi sebuah 
propinsi sendiri? Perang TUTUHIYA ini makin berkembang & terorganisir melalui 
partai2 & ormas2. Hiruk pikuk #konflik terbuka# Perebutan tahta, kekuasaan dan 
kekayaan terjadi dimana mana. Akhirnya yg menjadi korban adalah masyarakat suku 
asli Gtlo sendiri. Masyarakat suku asli gtlo yg miskin menjadi smakin miskin, 
yg bodoh menjadi smakin bodoh, yg licik menjadi smakin licik, yg gengsian 
menjadi smakin gengsian, yg menge menjadi smakin menge, yg sok-sokan menjadi 
semakin sok-sokan, yg kaya menjadi smakin kaya. Akhirnya yg keluar sbagai 
pemenang perang TUTUHIYA di Gtlo adalah masyarakat pendatang atau suku lain yg 
menetap di Gtlo karena mereka lebih suka menggunakan budaya TUTUHIYA utk 
bekerja keras dan menghargai usaha keras mereka utk memperoleh kehidupan yg 
lebih baik ketimbang terlibat dlm budaya TUTUHIYA karena MOHIHIYA.

Harapan saya, agar dilakukan penelitian pengaruh budaya TUTUHIYA terhadap 
kemajuan positif daerah & masyarakat suku asli Gtlo.

Regards
BIK

On Tue May 18th, 2010 10:46 PM EDT Yolanda Octavia wrote:

>Ass..
>hanya sekedar share info, hasil replikasi Kartu Penilaian Masyarakat Sipil 
>untuk mendeteksi potensi konflik di kota gorontalo yg dilakukan sekitar 
>sebulan yg lalu oleh Pokja HIMBUNGA (pelaksana prog. Advokasi Pluralisme untuk 
>Gorontalo Damai) di Kelurahan Biawao,bekerjasama dengan KAPAL Perempuan JKT, 
>NZAID lembaga donor New Zeland dan Mitra Japesda Gtlo, menyimpulkan bahwa 
>kondisi masyarakat yang "di permukaan" tampak adem ayem, ternyata di dalamnya 
>menyimpan potensi konflik terbuka yang besar. dari hasil uji coba kartu dengan 
>metode FGD yg terdiri dari 4 klpk yaitu klpk perempuan, klpk masy pendatang, 
>klpk penduduk asli, dan klpk tokoh (masy&agama), menggambarkan bahwa konflik 
>laten yang ada di kelurahan ini akibat penguatan identitas dari kelompok 
>penduduk asli yang di sebabkan oleh tingginya perbedaan penghasilan antara 
>penduduk asli dan pend. pendatang (tionghoa), meski secara kasat mata mereka 
>kelihata rukun. kesenjangan ekonomi antara penduduk
> asli dan pendatangan dirasakan "sangat" jauh berbeda, hingga penguatan 
> identitas ke-gorontalo-an pun membatasi, bahwa yang disebut orang gorontalo 
> asli adalah "yang lahir, besar, tinggal, kedua orang tua juga asli gorontalo 
> dan ISLAM" (versi masy. dr klpk penduduk asli di ke 3 kelurahan yg telah di 
> lakukan uji coba kartu). 
>
>hal serupa pernah dilakukan di Kelurahan Tenda (alasan;heterogen, multi etnis) 
>dan kelurahan Limba B (alasan;lbh homogen,kelurahan dgn 3 skolah islam) pada 
>Tahun 2009, dan hasil yang peroleh juga menggambarkan bahwa memang sejak 
>Gorontalo terpisah dengan sulawesi Utara, penguatan Identitas Keislaman yang 
>di kembali berhasil di "pegang" semakin menunjukkan jati diri "keislaman" 
>Gorontalo yang sebnarnya.
>
>pokok2 yang di nilai pd kartu tersebut adalah; mengukur jarak sosial, mengukur 
>potensi konflik terbuka yg disebabkan oleh suku, agama, suku/agama, mengukur 
>penguatan identitas, kebijakan pemerintah yang mendiskriminasi satu pihak 
>(pendatang atau perempuan).
>
>untuk hasil lengkapnya nanti diposting jika ada yang berminat...ini hanya 
>gambaran umum saja, atau sekedar informasi...untuk warning buat kita smua...
>
>thank's untuk kesediaan membacanya
>
>
>
>salam
>
>
>yola
>
>


 

Kirim email ke