Memposisikan IAGI

 

Oleh: Andang Bachtiar (Ketua Umum IAGI)

 

 

 

Bermula dari surat

 

Surat dari seorang anggota ditahun 2002 yang lalu menyarankan dengan sangat kepada 
saya untuk dapat kiranya membentuk kepengurusan daerah IAGI di suatu propinsi di luar 
Jawa, karena masyarakat / pemda didaerah tersebut membutuhkan konsultan geologi untuk 
membangun daerahnya, termasuk mengeksplorasi sumberdaya buminya. Kebetulan wakil 
gubernur daerah tersebut juga adalah seorang sarjana geologi. Anggota tersebut tidak 
menyadari bahwa sebenarnya Pengda IAGI di Propinsi tersebut sudah terbentuk paling 
tidak sejak jaman kepengurusan sebelum saya,  tetapi tidak pernah terdengar kabar 
berita kegiatannya. Yang menarik untuk dikemukakan disini bukanlah fenomena 
“tertidurnya” Pengda-Pengda IAGI di hampir sebagian besar daerah luar Jawa tersebut 
-kecuali Riau dan Nusa Tenggara-, tetapi lebih pada persepsi kawan saya yang  anggota 
IAGI tadi tentang perlunya IAGI menjadi konsultan geologi bagi daerah-daerah di 
Indonesia.

 

IAGI bukan entitas bisnis

Apakah memang IAGI bisa menjadi konsultan?  Konsultan yang seperti apa? Kalau bayangan 
kawan tersebut konsultan pelaksana seperti Geoindo, Kwarsa Hexagon, Geoservices, 
Sumagud Sapta Sinar, Robertson Research, Corelab, GDA,  Eksindo Pratama, dan yang 
lain-lainnya, maka alangkah naasnya citra IAGI dimata anggotanya. Karena apa? Karena 
dengan pemikiran demikian, maka kita telah memposisikan IAGI tak lebih dari sebuah 
entitas bisnis. Padahal IAGI didirikan bukan untuk berbisnis secara komersial seperti 
itu. IAGI ada untuk jadi wadah yang meningkatkan kesejahteraan anggotanya lewat 
peningkatan ilmu, networking, diskusi dalam pertemuan-pertemuan ilmiah, penerbitan 
majalah dan prosiding; selain juga meningkatkan pengembangan ilmu geologi, dan ikut 
berperan dalam pembangunan nasional di Indonesia. IAGI ada bukan untuk berbisnis, 
apalagi sampai menyaingi bisnis konsultan-konsultan yang sudah ada yang notabene juga 
dilahirkan dan dijalankan oleh anggota IAGI. 

 

Partisipasi dalam pembangunan nasional

Mungkin ada yang berargumentasi, bahwa “menjadi konsultan bagi pemda-pemda”, merupakan 
perwujudan dari tujuan IAGI untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional. 
Menurut saya, argumentasi tersebut agak kurang benar, karena berpartisipasi dalam 
pembangunan nasional tidak harus dilakukan dengan mengorbankan prinsip-prinsip IAGI. 
Partisipasi dapat dilakukan dengan memberikan masukan ke pemda-pemda tentang geologi 
dan sumberdaya bumi pada tataran kebijakan dan strategis, bukannya pada tataran 
operasional, dimana lahan tersebut sebenarnya merupakan arena bermain dari sebagian 
anggota IAGI yang memang berprofesi sebagai konsultan ataupun di perusahan jasa. 
Lagipula, kalau IAGI harus menjadi konsultan pelaksana seperti itu, siapa yang akan 
jadi pasukannya? Pengurus IAGI? Pengurus IAGI, baik PP maupun Pengda kesemuanya 
bukanlah geologist pengangguran; mereka semua punya “title” dan “occupation” yang 
jelas. Selain menjadi pengurus PP ataupun Pengda, mereka semua adalah: pegawai 
perusahaan minyak, pegawai perusahaan tambang, dosen, peneliti, konsultan independen, 
pegawai perusahaan jasa bidang geologi, pejabat pemerintah, dan sebagainya. Mereka 
semua tidak mungkin bekerja untuk IAGI dengan mengerjakan proyek-proyek geologi 
seperti yang dikerjakan di konsultan-konsultan maupun di perusahaan jasa geologi, yang 
mendorong mereka kedalam kelompok KKN yang secara etis harus dihindarkan. Kalau mereka 
lakukan itu semua, dikhawatirkan banyak terjadi pemecatan karena aktivis-aktivis IAGI 
ternyata mempunyai konflik kepentingan dengan perusahaan dimana mereka bekerja. Jadi 
jelasnya, IAGI bukan merupakan PT atau Perusahaan Tbk atau apapun yang mempunyai 
pegawai-pegawai yang bekerja secara komersial untuknya. Mereka yang bekerja dan 
dibayar di IAGI adalah para administrator sekretariat yang bertugas melayani 
administrasi 2675 anggota IAGI demi bergulirnya roda organisasi. Mereka juga tidak 
layak dan memang tidak diperbolehkan mengatas-namakan IAGI mengerjakan proyek-proyek 
konsultansi komersial.

 

Yayasan IAGI

Bagaimana dengan Yayasan IAGI? Bukankah Yayasan didirikan untuk mendapatkan dana bagi 
bergulirnya kegiatan IAGI? Memang betul demikian; tetapi apakah itu berarti Yayasan 
juga bisa berbisnis seperti halnya badan-badan usaha komersial lainnya? Sehingga 
dengan demikian kita bisa melegitimasi permintaan kawan dari daerah yang menginginkan 
IAGI menjadi konsultan masuk ke daerah-daerah, yang dalam hal ini dapat dilakukan 
dengan memakai bendera Yayasan tersebut? Menurut saya : tidak bisa. Yayasan tidak bisa 
melakukan itu semua. Konflik akan terjadi kalau Yayasan juga terjun dalam bisnis 
seperti halnya bisnis yang dilakukan pada umumnya oleh para anggota IAGI: 
inventarisasi sumberdaya alam, mengerjakan proyek karakterisasi reservoir, pemetaan 
regional, interpretasi core, feasibility study tambang, penghitungan cadangan, dsbnya. 
Akan lebih ruwet lagi apabila Yayasan juga bergerak pada tataran kepemilikan KP, 
penambangan galian C, membeli dan menjalankan TAC, atau bahkan ikutan tender blok PSC 
di Migas. Akan terjadi banyak sekali konflik apabila memang Yayasan mengambil 
paradigma berusaha seperti paradigmanya Yayasan di jaman Orde Baru. Menurut saya, 
Yayasan semestinya ada untuk memfasilitasi sumbangan-sumbangan / donasi dari anggota 
IAGI untuk bisa dipertanggung-jawabkan dalam kaitannya dengan urusan perpajakan. 
Selain itu yayasan  juga memfasilitasi penerbitan dan penjualan buku-buku hasil 
kegiatan event-event IAGI (prosiding konvensi, seminar, workshop; reprint series, 
majalah geologi, dsbnya), yang apabila itu dilakukan langsung oleh IAGI akan 
menimbulkan masalah bagi customers karena IAGI tidak punya NPWP dan tidak bayar pajak, 
sementara Yayasan adalah institusi wajib pajak yang punya NPWP. Contoh kegiatan lain 
yang disarankan dilakukan oleh Yayasan adalah penyaluran tenaga kerja kontrak terutama 
untuk geologist anggota IAGI yang sudah pensiun tapi tetap professional dalam 
bidangnya dan tidak ingin membuat perusahaan sendiri; semacam penyelenggara jasa 
penyedia tenaga kerja geologist-lah. Jenis usaha inilah yang sekarang menjadi andalan 
utama kegiatan Yayasan IAGI. Selain itu disarankan juga untuk berkecimpung dalam 
penyelenggaraan kursus-kursus komersial, penjualan merchandise IAGI, dan yang 
konvensional adalah: menyelenggarakan koperasi simpan-pinjam, mengusahakan potongan 
dan keringanan kredit rumah, kendaraan, dan bermacam-macam kebutuhan lainnya untuk 
anggota IAGI. Tetapi, sekali lagi, bukan melakukan bisnis konsultan pelaksana geologi.

 

Permintaan masyarakat

Pada kesempatan yang lain, saya pernah diminta oleh seorang Bupati untuk atas nama 
IAGI mengerjakan proyek-proyek pemetaan / inventarisasi sumberdaya bumi di daerahnya. 
Menurut persepsi pak Bupati, dengan memberikan proyek untuk dikerjakan oleh IAGI - 
yang merupakan kumpulan dari para ahli geologi seluruh Indonesia - maka dijamin akan 
diperoleh hasil yang maksimal karena toh IAGI pasti akan mengerahkan ahli-ahli 
terbaiknya untuk mengerjakan proyek tersebut. Pelan-pelan saya jelaskan ke pak Bupati 
bahwa IAGI bukan PT atau konsultan pelaksana macam begitu. Tidak ada kekuatan apapun 
dari PP-IAGI dalam memerintahkan anggota IAGI yang ahli-ahli dari berbagai instansi, 
institusi, dan perusahaan untuk mengerjakan proyek secara bersama-sama atas dasar 
perhitungan komersial, karena memang mereka semua bukan pegawai IAGI. Para ahli itu 
adalah anggota IAGI yang masuk menjadi anggota karena ingin meningkatkan pengetahuan 
dan networking professionalnya, bukan karena ingin bekerja di IAGI. Akhirnya pak 
Bupati mengerti juga dan sesuai dengan saran saya, mentenderkan proyek itu ke 
masyarakat. Dalam pelaporan-pelaporan proyeknya saya sarankan ke pak Bupati untuk 
mengundang IAGI (PP maupun Pengda terdekat) datang menjadi pihak ketiga yang ikut 
mendengarkan dan meng-QC pekerjaan tersebut membantu expertize Dinas Pertambangan 
maupun Bappeda mereka. Tentunya IAGI akan mengirimkan anggotanya yang bebas dari 
kepentingan pengerjaan proyek tersebut. Saya juga sarankan expert IAGI tersebut cukup 
ditanggung transport, penginapan, dan uang makannya selama dia hadir di 
presentasi-presentasi laporan proyek. Tidak perlu ada professional fee, tidak perlu 
ada kontrak khusus, cukup diambilkan dari dana penerimaan tamu biasa saja. Pak Bupati 
sangat suka dan setuju dengan skenario tersebut, dan alhamdulillah tahun 2002 kemarin 
PemKab yang bersangkutan berhasil melaksanakan proyeknya dengan baik dengan prosedur 
seperti yang saya sarankan.

 

Bencana longsor di Jawa Timur

Terjadinya bencana longsor di Pacet 12 Desember tahun lalu, serta rangkaian bencana 
sesudahnya diberbagai tempat, baik di Jawa Timur sendiri maupun di propinsi lainnya, 
telah membangkitkan lagi diskusi tentang “positioning IAGI” dalam membantu masyarakat 
di daerah-daerah. Dengan koordinasi yang baik antar pakar geologi, IAGI (Jawa Timur) 
telah dapat mengurangi inefisiensi yang biasanya terjadi karena tumpang-tindihnya 
wewenang dan expertize pribadi geologist  maupun kelembagaan yang terlibat dalam upaya 
rehabilitasi dan mitigasi pasca bencana Pacet. Untuk menindaklanjuti masalah 
koordinasi dan positioning tersebut maka IAGI mengumpulkan para pakar GTL dan Bencana 
Geologi pada 4 Januari 2003 di Bandung dalam satu RAKOR longsor IAGI. Para pakar dari 
Yogja, Jakarta, Surabaya, dan tentunya Bandung sendiri hadir untuk urun rembug masalah 
koordinasi dan positioning IAGI dalam kaitannya dengan Bencana Longsor baik di Jawa 
Timur maupun di Indonesia. Laporan sekilas rapatnya bisa dibaca di halaman lain dari 
Berita IAGI edisi ini.

 

Positioning IAGI dalam bencana longsor JATIM

Khusus mengenai positioning, RAKOR tersebut menyarankan supaya IAGI (Jatim) bermain 
pada level ADVOKASI, ASISTENSI, dan PENGAWASAN langsung di tingkat Gubernur. Meskipun 
IAGI telah berhasil meyakinkan Gubernur sebagai Ketua Satkorlak PBA untuk melaksanakan 
beberapa program mitigasi maupun rehabilitasi (tentunya dengan implikasi budget 
tertentu), tetapi tidak perlu IAGI yang mengerjakan atau melaksanakan proyek tersebut. 
Malah sebenarnya sangatlah tidak memungkinkan bagi IAGI untuk memakai bendera IAGI 
(ataupun Yayasan) dalam mengerjakan proyek-proyek tersebut, karena faktor 
kredibilitas, professionalisme, dan kesiapan organisasi secara internal. Dari segi 
kredibilitas, akan sangat tidak etis apabila IAGI menjadi 
rekanan/kontraktor/konsultannya Dinas Pertambangan ataupun Bappeda, karena memang 
seperti disebutkan di awal-awal tulisan ini, hal itu sangatlah tidak elegan, selain 
juga penuh dengan konflik kepentingan. Dari segi professionalisme, kalau IAGI sendiri 
sudah bermain di tataran pelaksana seperti itu, siapa yang akan mengawasi, meng-QC, 
dan menjadi penge-set standard professionalnya? Tidak mungkin wasit/pengawas sekaligus 
menjadi pemain. Dari segi kesiapan internal, seperti juga disebutkan di 
paragraph-paragraph awal, tidak mungkin bagi IAGI (Jatim) memobilisir  expert-expert 
dari berbagai instansi untuk bekerja bersama-sama, sementara mereka masing-masing 
sudah terbiasa dengan tim di lembaga mereka sendiri-sendiri.

 

Jadi, siapa yang akan mengerjakan proyek usulan dari IAGI tersebut? Tenderkan saja, 
serahkan saja ke mekanisme / prosedur pelelangan proyek, dimana IAGI sebagai konsultan 
Gubernur akan membantu dengan TOR dan pengawasan proyeknya. Repotnya adalah: dalam era 
reformasi seperti sekarangpun, proses tender – pelelangan proyek juga masih bisa 
diatur seperti jaman dulu. Mereka yang punya akses kuat dan dekat ke IAGI tentunya 
akan punya first class information yang bisa mengalahkan pihak-pihak lainnya dalam 
pelelangan. Apalagi bila pengurus IAGI-nya sendiri (seperti Ketua Umum) juga mempunyai 
biro konsultan yang berminat ikutan dalam tender tersebut. Hal ini masih bisa diatasi 
dengan menggugah kesadaran moral dari para aktivis IAGI untuk tidak memainkan kartu 
bisnis dalam kegiatan advokasi dan asistensi atas nama IAGI di daerah-daerah. Biarlah 
pihak lain saja yang memetik hasil dan ikut berpartisipasi dalam tender proyek yang 
TORnya dibikinkan oleh activist IAGI tersebut. Apakah itu mungkin terjadi??? 

 

Bagian paling krusial

Kalaupun himbauan tersebut tidak mengena karena untuk melakukannya dibutuhkan 
aktivis-aktivis IAGI yang benar-benar mau berkorban habis tanpa reserve (dan ini 
jarang terjadi dalam sejarah manusia), maka cara lainnya adalah membiarkan proyek itu 
jatuh ke tangan para aktivis IAGI tersebut dengan memakai bendera lembaganya 
masing-masing. Ini adalah bagian paling krusial dari keseluruhan gerak memposisikan 
IAGI. Kalau demikian halnya, maka sebenarnyalah bahwa para pengurus / aktivis IAGI 
mengambil untung/manfaat pribadi atas jabatan mereka dalam organisasi. Kalau itu yang 
terjadi maka kepengurusan IAGI bisa dicap menjadi ajang KKN nomer satu di komunitas 
geologi kita.

Untuk mengurangi rasa sakit karena cap KKN tersebut, beberapa jalan keluar (dan 
excuses) perlu dipertimbangkan.

1.      Jangan memilih Ketua atau Pengurus IAGI yang berasal dari kalangan konsultan 
ataupun kontraktor ataupun lembaga penelitian/pemerintah maupun perguruan tinggi yang 
dalam 5 tahun terakhir inipun ternyata punya interest untuk mencari dananya sendiri ke 
masyarakat. Apakah ini mungkin??

2.      Sepengetahuan saya, di IPA, orang-orang yang bekerja di Divisi 
Professional-nya diusahakan berasal dari Oil&Gas Producing Companies, dan bukan dari 
konsultan, kontraktor maupun vendor; untuk menghilangkan kemungkinan konflik 
kepentingan. Sekali lagi, apakah ini bisa kita terapkan di IAGI?

3.      Supaya tidak ruwet, dalam sosialisasi geologi ke daerah-daerah harus selalu 
kita ungkapkan dengan lantang: “kita hanya bisa menceritakan dan mengusulkan, tapi 
kita tidak bisa melaksanakan karena kita takut dianggap KKN”. Pertanyaannya adalah: 
“Lha ya apa bisa efektif to,… kampanye model begini??”

4.      Atau alternatif yang pahit adalah: mempersilakan para anggota IAGI yang masuk 
tim sosialisasi, dan mampu dan merasa perlu, untuk berlomba menyambut tantangan proyek 
di daerah-daerah atas nama lembaganya. Hanya saja PP atau Pengda harus jeli dalam 
membentuk tim advokasi, asistensi, dan pengawasan yang akan menggantikan 
aktivis-aktivis tersebut (karena mereka sudah harus jadi pemain pelaksana). Tim 
advokasi, asistensi dan pengawasan yang baru ini harus beranggotakan mereka yang sama 
sekali tidak terlibat dalam proyek tersebut tapi mempunyai ekspertize yang minimal 
sama dengan para pelaksana proyek

 

Terus,…..IAGI dapat apa kalau polanya seperti itu???

IAGI akan mendapatkan nama, IAGI akan menjadi makin dibutuhkan anggotanya, karena IAGI 
makin dibutuhkan masyarakat Indonesia. Dari segi finansiil, meskipun tidak diharuskan, 
tetapi saya yakin anggota IAGI ataupun activist IAGI yang lembaganya mendapatkan 
keuntungan dari pengerjaan proyek-proyek yang di-inisiasi dari usulan-usulan IAGI akan 
tidak segan-segan menyumbang, memberikan sponsor, dan mendukung semua kegiatan 
profesional IAGI secara sukarela. Karena apa? Karena mereka akan makin berkepentingan 
supaya IAGI terus maju dan berkembang dengan kegiatan-kegiatannya. Mereka makin 
membutuhkan IAGI.

Tapi, ya itu tadi,……. bagi pemikir-pemikir yang kritis, IAGI akan terkesan menjadi 
ajang KKN. Jadi, tolong berikan pemikiran anda, kalau memang peduli terhadap 
“positioning” IAGI.

 

Bandung, 29 Januari 2003.

Kirim email ke