IAGI dan Lingkungan
 

 

 

Dimanakah posisi IAGI dalam isu-isu industri ekstraktif kebumian versus kerusakan 
lingkungan? Sampai saat ini, menurut pengetahuan saya, tidak ada satu dokumenpun di 
IAGI yang secara eksplisit mendeklarasikannya. Hal ini bukan berarti bahwa IAGI (dan 
para anggotanya) tidak "concern" dengan masalah tersebut. 

 

Untuk rekan-rekan yang bergerak di posisi Public Relation, HupMas, maupun Manajer 
Eksplorasi dari perusahaan-perusahaan migas dan tambang, isu tersebut malahan sudah 
jadi makanan sehari-hari yang harus dikunyah, dicerna, dan disikapi. Apa yang saya 
tangkap dari sikap, tindakan, dan pembicaraan kawan-kawan tersebut adalah rasa 
keterdesakan (kepepet) dalam menjustifikasi kegiatan industri ekstraktif kebumian 
dimata para environmentalis, sehingga kadang-kadang nampak naif dan ekstrim. Kesabaran 
dan ketekunan yang menjadi salah satu ciri intelektual, seringkali termakan oleh emosi 
dan rasa frustasi. 

 

Seperti kita tahu, pada umumnya kaum enviromentalis (termasuk juga didalamnya ada 
banyak ahli geologi) mempunyai basis ideologis dan militansi yang kuat, dan seringkali 
juga dukungan dana yang kontinyu (dari berbagai LSM dan Lembaga-Lembaga lainnya dalam 
dan luar negeri). Sementara itu, kawan-kawan yang bergerak di industri ekstraktif, 
walaupun dukungan dananya lebih kuat, namun tidak se-militan para environmentalis. 
Apakah yang menyebabkannya??? Apakah karena kawan-kawan environmentalis mempunyai satu 
isu sentral dan mengglobal, sedangkan rekan-rekan dari industri ekstraktif  seringkali 
bermain pada tataran mikro, untuk kepentingan project dan perusahaannya saja. Atau 
mungkin karakter industri ekstraktif kebumian yang banyak didominasi oleh teknologi 
padat modal telah mengalineasikan kita dari permasalahan "padat karya", yaitu sesuatu 
yang secara langsung berguna bagi kepentingan rakyat banyak. 

 

Saya katakan LANGSUNG, yang artinya benar-benar langsung, yaitu rakyat benar-benar 
sejahtera didaerah yang kaya migas, emas, dan batubara. Tidak ada yang harus 
mengais-ngais sampah buangan makanan dari mess-hall perusahaan hanya untuk menyambung 
hidup; tidak ada yang harus mengemis-ngemis minta pekerjaan ke perusahaan; tidak ada 
yang harus demo meminta ganti rugi yang wajar dari tanah yang dibebaskan; dsbnya, 
dsbnya....(sound like LSM jargons: isn't it??). Kalaupun toh contoh-contoh yang saya 
kemukakan diatas terlalu ekstrim (sehingga kenyataannya sering jadi kontroversi), pada 
dasarnya kita harus akui, bahwa kebiasaan kita "bekerja" pada pemodal bisnis resiko 
tinggi ini, seringkali membuat kita jadi kurang militan dibanding teman-teman kita 
kaum environmentalis di LSM-LSM. Padahal kita tahu dan sangat menyadari bahwa tanpa 
mengembangkan industri ektraktif kebumian, kita akan kembali ke titik nol, ke jaman 
batu!!(¿?) 

 

Menjadi tantangan kita mengajak kebijakan industri ekstraktif kebumian di Indonesia 
ini in-line terhadap problema Lingkungan, tidak hanya sekedar bersifat lip-service 
saja. IAGI selayaknya mendorong pada basis utamanya : tumbuh bersama dalam lingkungan 
kita. Apakah kita akan menunggu munculnya Moratorium Penambangan Minyak, untuk 
kemudian kelabakan. Kita tidak berharap munculnya banyak moratorium untuk industri 
ekstraktif kebumian, namun pada sisi lain kita juga perlu mencari terobosan yang adil 
untuk dapat mewadahi semua kepentingan. 

 

Wacana bahwa industri ekstraktif kebumian memerlukan pendekatan dengan ekonomi 
lingkungan yang mempertimbangkan social cost, dll-nya sudah selayaknya menjadi 
parameter dalam industi ini, "militansi" kawan-kawan dari industri ekstraktif lah yang 
akan mampu mendorong tidak terjadinya moratorium-moratorium ini.

 

Hanya saja, saya merasa cara kita menerangkan, bernegosiasi, berasimilasi, dan 
sosialisasi,.... pada saat ini kurang pas dan tidak efektif. Apalagi ditengah suasana 
otonomi daerah yang gegap gempita penuh euphoria. Mungkin kita perlu meniru jejak 
rekan Ikhsyat (Sby), Eko Teguh Paripurno (Yogjakarta), Ester (KLH), Hanang Samodra 
(Bandung) dan rekan-rekan enviromentalis lainnya yang tidak dapat saya sebutkan 
namanya satu-persatu, untuk lebih mendekat ke lingkungan, ke alam, ke teman-teman 
enviromentalis.

 

 

Dalam semangat komunitas seperti yang ditunjukkan rekan-rekan itulah, IAGI berkutat 
(dalam sepi) mendorong pelaksanaan program-program sosialisasi geologi untuk LSM, 
Pecinta Alam, Guru-guru SMA, Wartawan, dan berbagai kalangan Pemerintahan Daerah.

 

 

 

Lalu,..... bagaimanakah posisi anda, para ahli geologi Indonesia, menanggapi semua isu 
tersebut diatas???

 

 

 

(renungan dari hasil sosialisasi geologi di Palu, di Gn. Bromo, di Bogor, di 
Balikpapan, di Surabaya, di Mataram, di Sumbawa, di Citeureup, di Lebak, di 
Banyuwangi, di Lampung, di Kebon Nanas, dimana-mana, di dalam hati.)

 

 

 

 

 

Jakarta, 8 September 2003.

 

 

 

Andang Bachtiar

Ketua Umum IAGI

Kirim email ke