Artikel ini juga dimuat di koran lokal Jambi edisi kemarin. Apakah tidak ada cara yang lebih arif, misalnya pemboran tetap berjalan, tetapi perundingan juga berjalan sehingga tidak ada kerugian yang semestinya tidak perlu.
Sugeng ----- Original Message ----- From: "Musakti, Oki" <[EMAIL PROTECTED]> To: <iagi-net@iagi.or.id> Sent: Wednesday, April 20, 2005 4:38 PM Subject: [iagi-net-l] Cowboy Bojonegore Cowboy Bojonegoro Oleh: Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos CITRA Jatim di mata investor asing baru saja tercemar oleh tindakan Bupati Bojonegoro Santoso. Bupati mengeluarkan surat yang isinya menghentikan kegiatan pengeboran minyak di wilayahnya. Bupati juga mengerahkan pasukannya untuk memblokade lahan yang sudah dipasangi rig (alat pengeboran minyak) tersebut. Alasannya: sesuai dengan UU Migas, daerah boleh mendapatkan saham 10 persen dari setiap usaha minyak di daerah. Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23 Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000 (sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja sudah hampir Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu? Tidak! Semua biaya itu akan dicatat oleh si investor. Sesuai dengan peraturan pemerintah Indonesia, semua biaya pengeboran minyak memang harus ditanggung dulu oleh investor. Namun, kalau usaha pencarian minyaknya berhasil, biaya tersebut akan diganti oleh pemerintah. Cara penggantiannya adalah: dipotongkan dari bagian yang harus disetorkan ke pemerintah. Bukan hanya biaya itu yang diganti pemerintah, tapi masih ditambah 30 persennya lagi, sebagai semacam cost of fund. Maka, investor asingnya tenang-tenang saja. Dilarang setahun pun si investor tidak akan terlalu gelisah. Apalagi dalam kasus Bojonegoro itu sudah jelas minyaknya sudah ditemukan. Investor tinggal terus membukukan biaya selama dihentikan tersebut. Kelak, yang gigit jari pemerintah Indonesia sendiri (termasuk pemerintah Jatim dan Bojonegoro). Bagi hasil untuk pemerintah berkurang. Ini juga berarti jatah untuk Jatim dan Bojonegoro juga akan berkurang. Bupati Bojonegoro, rupanya, kurang teliti membaca UU Migas. Atau tukang kipasnya begitu hebat sehingga bisa ngompori bupati yang memang temperamental itu. Dia saya kenal dengan baik. Sejak masih berpangkat mayor, sampai menjadi kepala Dolog Jatim, ketua PSSI Jatim, dan terakhir kepala Dolog Papua. Setelah agak lama tanpa jabatan, lalu mencalonkan diri jadi bupati Sidoarjo lewat pintu PDI Perjuangan. Entah sudah berapa banyak dananya habis untuk proses itu. Gagal. Tak lama kemudian, muncul namanya sebagai calon bupati Bojonegoro lewat pintu PKB. Kali ini jadi. Jadi bupati Bojonegoro memang menggiurkan, kelihatannya. Di situlah ditemukan cadangan minyak terbesar di Jatim yang dikenal sebagai Ladang Cepu. Meski namanya "Ladang Cepu", sebenarnya wilayah itu masuk Bojonegoro. Ladang tersebut dulu diberikan kepada Tommy Soeharto. Tapi setelah dilakukan pengeboran dan memakan biaya besar, tidak ditemukan minyak yang memadai. Tommy rugi besar sekali di sini. Termasuk proyek pengilangan minyaknya yang sudah telanjur dibeli tidak jadi beroperasi. Tidak cukup ada minyak di situ. Lalu, Pertamina mengerjasamakan ladang tersebut dengan Exxon Mobil dari AS. Dicobalah oleh perusahaan AS tersebut untuk dibor lebih dalam. Ternyata ditemukan cadangan minyak sekitar 700 juta barel. Luar biasa besarnya. Dengan harga minyak mentah Indonesia saat ini (sekitar USD 44 per barel), nilai kekayaan di bawah Bojonegoro itu Rp 280 triliun). Tapi, untuk mengambil kekayaan tersebut, harus ada modal Rp 40 triliunan. Gambaran yang serba triliunan itulah, yang kini membuat Pertamina dan Exxon bersitegang. Pertamina minta pembayaran di depan Rp 4 triliun dulu, tapi Exxon masih menawar separonya. Sudah lima tahun dan sudah tiga presiden naik singgasana di Indonesia, tapi belum ada yang bisa membuat keputusan. Exxon, rupanya, tahu tiga kekuatan dia yang sekaligus tiga kelemahan Indonesia: kontrak harus dihormati, modal untuk menggali minyak tersebut sangat besar, dan Indonesia sangat memerlukan minyak tersebut segera diambil. Kalau tidak, pada 2009, kekurangan minyak Indonesia semakin kritis. Di tengah-tengah dua gajah itu ada semut yang dapat angin: Pemda Bojonegoro. Lewat UU Migas yang baru, juga UU Otonomi Daerah, bupati merasa pemda juga punya hak 10 persen. Selain cadangan minyak yang besar itu, di Bojonegoro juga ditemukan beberapa cadangan minyak kecil-kecil. Inilah yang diusahakan oleh Petro China dengan Medco-nya Arifin Panigoro. Dan, ladang inilah yang distop oleh bupati. Bupati sungguh kurang teliti dan hati-hati. Hak 10 persen tersebut baru berlaku untuk kontrak baru setelah UU itu lahir. Yang dia persoalkan itu kontrak lama. Mungkin secara hukum memang masih bisa dipersoalkan, lepas akhirnya kalah atau menang. Tapi, cacat citra Jatim di mata investor asing sudah terjadi. Dulu ketika terjadi masalah pengelolaan minyak di Kabupaten Siak, Riau, hebohnya bukan main. Yang terjadi di Bojonegoro ini lebih berat daripada itu. Tidak berlebihan kalau lantas ada yang menyebutnya sebagai cowboy Bojonegoro. Kita bisa bayangkan, apa yang dibicarakan di forum-forum investor internasional mengenai kasus Bojonegoro itu. Bupati atau wali kota di era transisi demokrasi seperti ini memang rawan. Banyak kasus bupati atau wali kota ditunggangi pihak lain karena yang ditunggangi tidak tahu bahwa dia lagi ditunggangi. Kasus-kasus pembelian kapal oleh bupati di banyak daerah, insenerator sampah, dan pembangunan listrik, yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan pihak tertentu, umumnya terjadi karena minimnya latar belakang pengetahuan bisnis para kepala daerah. Ini juga yang terjadi ketika para profesor, doktor, aktivis yang tiba-tiba harus mengurusi alumunium, pulp, gramatur, tinta, dan seterusnya. Apalagi untuk urusan minyak yang ada 2.000 meter di bawah tanah sana. Gubernur Jatim sudah lama membayangkan jangan-jangan ada masalah seperti di Riau di Jatim kelak. Karena itu, sejak tiga tahun lalu, Pemda Jatim menugasi PT PWU, miliknya, untuk membuat anak perusahaan di bidang minyak dan gas: PT Petrogas Wira Jatim. Meski komisaris utamanya saya sendiri (yang tidak tahu bisnis minyak), tim manajemennya para profesional di bidang perminyakan. Para bupati di Jatim bisa memanfaatkan jasa PT Petrogas agar bisa dapat pandangan yang lebih luas. Kalau perlu, PT Petrogas tidak usah dapat apa-apa (karena punya usaha sendiri di bidang itu). Yang penting, jangan sampai ada bupati atau wali kota yang kebablasan seperti di Bojonegoro. Reputasi, nama baik, track record sangat penting dalam dunia bisnis. Saya sendiri setuju dengan kesertaan 10 persen pemda di usaha minyak dan harus diperjuangkan terus pelaksanaannya. Tapi, pendekatan business to business adalah yang paling baik. Modalnya: kita tidak boleh kalah pintar di bidang itu dengan para investor tersebut. Sudah waktunya para bupati penghasil minyak di Jatim selalu bertemu dan berkonsultasi di bawah koordinasi gubernur. Berjuang bersama-sama secara benar akan lebih baik hasilnya.*** Santos Ltd A.B.N. 80 007 550 923 Disclaimer: The information contained in this email is intended only for the use of the person(s) to whom it is addressed and may be confidential or contain privileged information. If you are not the intended recipient you are hereby notified that any perusal, use, distribution, copying or disclosure is strictly prohibited. If you have received this email in error please immediately advise us by return email and delete the email without making a copy. --------------------------------------------------------------------- To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy Sebayang([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) ---------------------------------------------------------------------