Semestinya dapat dihitung balik. Berapa realitas penerimaan negara dan
kontraktor (kps) setelah satu periode kontrak. Tidak sulit utk
menghitungnya. Produksi setahun berapa, ongkos berapa, harga rata2 dalam
tahun berjalan berapa, split berapa, invest berapa dan realitas rvenue utk
negara dan kontrakstor bisa dihitung. Dengan dasar ini semestinya bisa
ditarik pelajaran. Realitas keuntungan perusahaan dan negara itu bisa
dijadikan patokan utk kontrak2 selanjutnya.

Banyak blok2 yg sudah selesai masa satu periode kontrak. Mestinya kalau mau
dilakukan semua memungkinkan.

Kalau enggan menghitung balik, asalkan diberi datanya, saya yakin IAGIpun
mampu melakukannya.

Salam

Rdp

On Friday, October 5, 2012,  <aluthfi...@gmail.com> wrote:
>
> Abah YRS, keekonomian lapangan dalam POD dulu, pendapatan pemerintah
terhadap gross revenu minimal 35%, kemudian diturunkan menjadi 30% untuk
bisa disetujuinya suatu POD.
> Sent from my BlackBerry®
> powered by Sinyal Kuat INDOSAT
> ________________________________
> From: "Yanto R. Sumantri" <yrs_...@yahoo.com>
> Date: Thu, 4 Oct 2012 01:37:27 -0700 (PDT)
> To: iagi-net@iagi.or.id<iagi-net@iagi.or.id>
> ReplyTo: <iagi-net@iagi.or.id>
> Subject: [iagi-net-l] Government entitlement apakah minimal harus 35 %
>
>
> Rekan rekan IAGI
> Dalam berbagai kasus serinmg terjadi adanya penemuan  ,setelah dihitung
ke-ekomomiannya ternyata tidak mencapai 35 %..
> Beberapa contoh lama (pada saat Indonesia masih menjadi eksportir migas)
umpamanya penemuan gas di Lariang , minyak di Sekala Timur dsb.
> Apakah saat ini , dimana Indonesia telah menjadi net oil importer ada
kondisi khusus yang dapat diaplikasikan agar penemuan spt ini TETAP dapat
dilanjutkan oleh KKKS penemunya ?
> si Abah

-- 
*"Sejarah itu tidak pernah usang untuk terus dipelajari"*

Reply via email to