Pak Luthfi, POD itu kan 'plan'-nya. Nah bagaimana dengan realitas setelah 30 tahun berjalan. Apakah kita juga sudah tahu berapa realitasnya ? Berapa keuntungannya. Tentunya juga perlu dilihat "risk" pada saat dahulu diajukan PODnya. Kan tidak semua POD berjalan semulus realitasnya. Nah kalau saja PSC-2 lama ini diketahui seberapa besar keuntungan dan kerugiannya tentunya sebuah pembelajaran yang sangat bagus. Siapa tahu investor2 Indonesia menjadi tertarik utk bisnis migas scr benar. Jadi selain ada POD evaluation juga perlu ada Post-POD evaluation. Dan yg lebih penting lagi sesuai dengan semangat keterbukaan, hasil perhitungan ini transparan dan terbuka.
Evaluasi daya tarik investasi selama ini hanya dilihat sebelum melakukannya. Saya yakin pengusahaan migas dan pertambangan di Indonesia ini tetap menarik setelah dihitung realitasnya. Rdp On Friday, October 5, 2012, <aluthfi...@gmail.com> wrote: > > Menghitungnya sederhana dan sudah dibuat software-nya, yang sering membuat POD ribet itu karakter KKKS. Kalau cadangannya ekonomis, cost development-nya dibesarkan agar diatas kertas terlihat lapangan itu marginal, dan KKKS minta insentive. Kalau cadangannya kecil maka cost development-nya dikecilkan agar terkesan ekonomis dan treshold yg 30% tadi dapat tercapai. Biasanya kalau sudah disetujui POD-nya, KKKS mengajukan revisi budget dengan berbagai alasan, harga pasaran jasa konstruksi dan baja naik, dsb. Kalau ini dituruti pendapatan negara yg 30% tsb bisa turun ke 26% atau lebih rendah. > Ngadepin karakter KKKS yg demikian, Ya bppka/Dit MPS/bpmigas juga gak bodo, lha kasus2 seperti ini diskusinya a lot dan makan waktu. Kalau sudah begini KKKS teriak melalui IPA/media masa, proses persetujuan POD birokratis dan berbelit, ya namanye usahe (KKKS). Ya inilah trade off karakter KKKS dengan prudensial bppka/Dit MPS/bpmigas. > > Sent from my BlackBerry® > powered by Sinyal Kuat INDOSAT > ________________________________ > From: Rovicky Dwi Putrohari <rovi...@gmail.com> > Date: Thu, 4 Oct 2012 18:25:23 +0700 > To: iagi-net@iagi.or.id<iagi-net@iagi.or.id> > ReplyTo: <iagi-net@iagi.or.id> > Subject: Re: [iagi-net-l] Government entitlement apakah minimal harus 35 % > Semestinya dapat dihitung balik. Berapa realitas penerimaan negara dan kontraktor (kps) setelah satu periode kontrak. Tidak sulit utk menghitungnya. Produksi setahun berapa, ongkos berapa, harga rata2 dalam tahun berjalan berapa, split berapa, invest berapa dan realitas rvenue utk negara dan kontrakstor bisa dihitung. Dengan dasar ini semestinya bisa ditarik pelajaran. Realitas keuntungan perusahaan dan negara itu bisa dijadikan patokan utk kontrak2 selanjutnya. > > Banyak blok2 yg sudah selesai masa satu periode kontrak. Mestinya kalau mau dilakukan semua memungkinkan. > > Kalau enggan menghitung balik, asalkan diberi datanya, saya yakin IAGIpun mampu melakukannya. > > Salam > > Rdp > > On Friday, October 5, 2012, <aluthfi...@gmail.com> wrote: >> >> Abah YRS, keekonomian lapangan dalam POD dulu, pendapatan pemerintah terhadap gross revenu minimal 35%, kemudian diturunkan menjadi 30% untuk bisa disetujuinya suatu POD. >> Sent from my BlackBerry® >> powered by Sinyal Kuat INDOSAT >> ________________________________ >> From: "Yanto R. Sumantri" <yrs_...@yahoo.com> >> Date: Thu, 4 Oct 2012 01:37:27 -0700 (PDT) >> To: iagi-net@iagi.or.id<iagi-net@iagi.or.id> >> ReplyTo: <iagi-net@iagi.or.id> >> Subject: [iagi-net-l] Government entitlement apakah minimal harus 35 % >> >> >> Rekan rekan IAGI >> Dalam berbagai kasus serinmg terjadi adanya penemuan ,setelah dihitung ke-ekomomiannya ternyata tidak mencapai 35 %.. >> Beberapa contoh lama (pada saat Indonesia masih menjadi eksportir migas) umpamanya penemuan gas di Lariang , minyak di Sekala Timur dsb. >> Apakah saat ini , dimana Indonesia telah menjadi net oil importer ada kondisi khusus yang dapat diaplikasikan agar penemuan spt ini TETAP dapat dilanjutkan oleh KKKS penemunya ? >> si Abah > > -- > "Sejarah itu tidak pernah usang untuk terus dipelajari" > -- *"Sejarah itu tidak pernah usang untuk terus dipelajari"*