Sekedar tambahan/klarifikasi CRL terkait POD Sebetulnya CRL ini secara umum sudah diterapkan melalui FTP (First Tranch Petroleum) sebesar 20% dan depresiasi untuk asset/investasi dengan metode double decline balance. Dengan adanya FTP maka ceiling cost recovery atau CRL adalah 80%, bila ditambah cost recovery untuk barang modal/asset maka ceiling cost recovery/CRL menjadi kurang dari 80%. inilah metode yang dipakai untuk menjamin pendapatan Negara dari pengembangan lapangan minyak/gas dari sistim PSC generasi terkini. Memang ada history-nya, pada PSC generasi I ceiling cost recovery 40%, waktu itu belum banyak ahli-ahli kita dalam pengawasan PSC, sehingga untuk amannya pendapatan Negara diberlakukan 60% dari gross revenu langsung dibagi antara Pemerintah dengan Kontraktor, yang 40% merupakan ceiling cost recovery dengan yang unrecovered cost di carry forward. Dengan persaingan investasi perminyakan antar negara dan makin bertambahnya ahli-ahli kita dalam pengawasan dan pengendaliaan PSC maka ceiling cost recovery dibuka agar investasi perminyakan di Indonesia menjadi menarik (kalau tidak salah terjadi pada 1978). Untuk mengamankan pendapatan Negara mulai diterapkan depresiasi untuk barang modal/assets yang dibeli, karena investasi asing maka dibolehkan depresiasi menggunakan metode double decline balance. Instrument untuk mengontrol mana cost recovery yang akan didepresiasi (dikenal dengan biaya investasi) dan mana yang tidak (dikenal dengan biaya operas) digunakan/diterapkan AFE (Authorization For Expenditure). Trade off antara biaya investasi (depreciated) dan biaya operasi (undepreciated), biaya investasi mendapat credit/tambahan berupa investment credit tetapi pengembaliannya/recovery-nya didepresiasi, sedangkan biaya operasi tidak mendapat credit tetapi pengembaliaannya bisa diambil langsung/tanpa depresiasi. Misalnya pengembangan lapangan di offshore memerlukan floating storage, apabila floating storage ini dibeli maka Kontraktor mendapat investment credit tetapi recovery biayanya didepresiasi, bila storage ini disewa maka Kontraktor tidak mendapat investment credit tetapi cost recovery-nya tidak didepresiasi. Disinilah evaluator AFE dari BPMIGAS harus jeli apakah storage ini dibeli atau disewa dengan pertimbangan mana yang paling menguntungkan negara. PSC dengan AFE ini dikenal dengan PSC Generasi II. Dalam perjalanan PSC Generasi II, waktu pengembangan lapangan Kakap (Natuna) sampai berproduksi dengan operator Marathon, ternyata pendapatan Negara kurang terjamin, kalau tak salah ini terjadi pada awal dekade 80-an. Maka dicarilah methode untuk lebih menjamin pendapatan Negara, dan ditemukan metode FTP yang besarnya 20%, berarti CRL (Cost Rec Limit) adalah 80% dikurangi depresiasi. PSC dengan AFE + FTP ini kalau tak salah dikenal dengan PSC Generasi III.
Sekitar tahun 2005, dari IPA ribut memasalahkan AFE yang bertele-tele. IPA diwakili oleh mereka yang menamakan kelompok delapan terdiri dari delapan orang, kalau boleh saya sebut namanya: Sami Hamzah (Unocal), Wahyudin Yudiana (CPI), Dudung (Conoco), Cecep (Total), Budiman Parhusip (Arco/bp), Maman (Exxon), kalau tidak salah Sugiarto (Maxus/CNOOC), dan Lukman Machfoudz (Medco). Saya presantasikan mewakili BPMIGAS dihadapan kelompok delapan di Hotel Sheraton Bandara tentang milestone PSC Indonesia. Yang kami tawarkan tetap menggunakan AFE atau AFE ditiadakan tetapi kembali ke PSC Generasi I dengan Cost Recovery Limit 40%. kalau pilih yang kedua, kami akan ajukan ke Pemerintah untuk kembali menerapkan PSC Generasi I. Ternyata mereka kelompok delapan yang mewakili IPA masih memilih PSC Generasi III. Terima kasih Pak Ong atas sharingnya. Salam hormat saya dari San Antonio, sedang mengikuti SPE Annual Conference 2012. On Sunday, October 7, 2012, <aloysuna...@yahoo.com> wrote: > Pendapat pak Ong benar,perlu dilengkapi pengertian bahwa sesungguhnya besaran cost recovery tercontrol dg approval WP&B yearly and multy year dan dipotongkan dari produksi oil/gas (inkind) bukan brp uang APBN. Terkait dg reserve/recoverable oil/gas juga depend on technical production yg otomatis berpengaruh thd cost. Maaf kalo nambah bingung .Aloy > Sent from my BlackBerry® > powered by Sinyal Kuat INDOSAT > ________________________________ > From: Ong Han Ling <hl...@geoservices.co.id> > Date: Sun, 7 Oct 2012 08:51:38 +0700 > To: <iagi-net@iagi.or.id> > ReplyTo: <iagi-net@iagi.or.id> > Subject: RE: [iagi-net-l] Government entitlement apakah minimal harus 35 % > > Saya ikut nimbrung perihal POD dan solutionnya supaya kita tidak diakali terus. > > > > Umumnya K3S mengajukan POD pertama dengan minimum 3 wells. Sebetulnya untuk menentukan “proven reserve” jumlah well yang harus dibor lebih dari 3. Namun, sistim PSC Indonesia dimana cost recovery tidak dibatasi, menyebabkan K3S ingin produksi secepatnya supaya uangnya cepat kembali (NPV). Adanya sunk cost juga merupakan penyebab percepatan produksi oleh K3S. Hal ini sejalan dengan kepentingan Pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak bumi mengurangi subsidi (at any cost). > > > > POD pertama tsb. adalah khusus dan memerlukan persetujuan Menteri ESDM karena disinilah masuknya 10% Indonesian participation (IP). Padahal dengan tiga well pada umumnya tidak bisa menjamin besarnya cadangan. Kesalahan masih besar. Memang probability of success yang tadinya wildcat hanya 10% sekarang menjadi 50%. Jadi IP masih banyak risikonya, tetapi memang kalau dibandingkan dengan wildcat risikonya sudah jauh lebih kecil, dan probably of success untuk POD pertama telah naik 5X. Namun karena risiko relatip masih besar, kalau dibandingkan industri non-migas, dikemudian hari akan menjadi persoalan dengan daerah, yang sekarang menjagakan IP sebagai income daerah. Nantinya kalau hasil tidak sesuai dengan POD pertama yang diajukan K3S, pasti timbul kericuhan. Indonesia Participation akan merupakan bom waktu karena kurangnya pemahaman Pemerintah Daerah dalam bidang perminyakan. > > > > POD pertama tidak bisa menjamin penerimaan Negara dengan pasti karena memang ini jangka panjang, sampai 20 tahun atau lebih. Jadi kalau banyak pengeluarannnya atau cost recovery membengkak, pendapatan negara mengecil. Untuk menjamin pendapatan negara, maka saya selalu mengusulkan pada waktu mengajukan POD dikenakan rambu-rambu apa yang disebut Cost Recovery Limit atau CRL. Ini diterapakan case by case sebagai requirement POD disetujui. Hal serupa juga selalu diminta oleh K3S waktu minta persetujuan POD. K3S selalu minta diberikan “favors” supaya IRR-nya masuk sesuai patokan yang diberikan oleh Head office. Kalau K3S bisa punya patokan, kenapa kita tidak? Memang kalau kita yang minta, K3S teriak “sanctity of the contract”. Kalau K3S yang minta “favors” dianggap biasa dan lumprah. > > > > CRL menjamin penerimaan Negara dengan kepastian. CRL adalah ciri suatu PSC. CRL dikenakan pada waktu mengajukan POD dan besarnya ditetapkan case by case. Tidak perlu diundang-undangkan tetapi merupakan patokan Pemerintah untuk memberikan POD. Ingat bahwa CRL bukan kita mau ngemplang K3S. Semua CR yang diminta oleh K3S termasuk sunk cost akan dibayar, tetapi pembayarannya disesuaikan dan diproporsikan dengan penerimaan revenue tiap tahun. > > > > Maaf jika tidak berkenan, > > > > HL Ong > > > > From: aluthfi...@gmail.com [mailto:aluthfi...@gmail.com] > Sent: Friday, October 05, 2012 9:22 AM > To