Vick

Cuma kalau salah salah bisa terjerumus ke "pdat karya".
Memang sistim kapitalis itu akan berdampak buruk , tetapi disisi lain sistim 
ini akan menumbuhkan "siapa yang terbaik itulah yng akan tetap hidup".
Berlawanan dengan "menumbuhkan lapangan kerja se-banyak2nya" .

Jadi baiknya bagaimana ya ?

Kapitalis atau sosialis .............mungkin jawabnya demokrasi pancasila.

si Abah
(tapi UUD saja sudah di-acak2 ndak karuan , jadi kita ini sosialisTIS apa 
kapitalistis , ndak jelas bagi saya , belum lagi ada istilah baru buatan DPD 
yo. Empat Pilar.).

________________________________
 From: Rovicky Dwi Putrohari <rovi...@gmail.com>
To: IAGI <iagi-net@iagi.or.id> 
Sent: Monday, April 8, 2013 8:11 AM
Subject: Re: [iagi-net] MASALAH KLASIK: EXPAT vs NATIONAL
 

2013/4/8 Franciscus B Sinartio <fbsinar...@yahoo.com>

Hallo juga,
>Petronas dan Sonangol memakai expat karena tidak punya tenaga  yang cukup 
>untuk melakukan operasi nya.
>Kalau Pertamina, Medco dan EMP ngak ada yang pake expat setahu saya, entah 
>perusahaan nasional yang lainnya.

Dalam han tenaga kerja, Indonesia tidak tepat dibandingkan dengan Petronas 
maupun Senagol. Barangkali Indonesia lebih tepat dibandingkan dengan China.

China memiliki tenaga manusia yang suangat banyak sehingga China memiliki 
beberapa perusahaan migas nasional Multi National Companies (State owned 
companies). Perushaan China milik pemerintah di China itu tidak hanya migas, 
tetapi juga pertambangan dan perindustrian. Lihat disini  
http://en.wikipedia.org/wiki/Category:Metal_companies_of_China (banyak perush 
metal yg juga beroperasi di Indonesia (misal CITIC).   

Multi BUMN ini lebih tepat untuk Indonesia yang juga memiliki tenaga kerja 
banyak. 

"Overflow" dari pekerja Indonesia itu yang akhirnya banyak expat Indonesia di 
LN (braindrain), Mengubah Brain Drain menjadi Brain Gain, bukanlah perkara 
mudah. Malesa juga sudah beberapa tahun lalu mencobanya juga gagal. Akhirnya 
lebih mudah mendapatkan TKI (Intelek) dari Indonesia yang "relatif lebih murah" 
ketimbang dari Eropa dan Amrik, dng kapasitas yang sepadan tentunya. 

Untuk Indonesia. menurut saya, lebih baik mencegah 'overflow' ketimbang 
mengharapkan 'back flow' (brain gain). Perbaikan struktur remunerasi di dalam 
negeri akan lebih bermanfaat dan berdampak lebih positip. Jadi jangan harap 
yang di LN mendapatkan apa yang diinginkan, karena sudah tidak sebanding. 
Usaha-usaha "recuitment" ke ME ataupun Malesa cukup dibakai sebagai pembanding 
saja untuk memperbaiki strutur remunerasi di dalam negeri. 


BPR (Bussiness Proccess Reingineering yang berbuntut pada outsourcing adalah 
cara kapitalis dalam meningkatkan efisiensi modalnya. Namun jelas cara ini 
pasti berbenturan dengan Indonesia yang "socio-democrate". Jumlah tenaga kerja 
yang terlalu melimpah dengan lapangan kerja masih terbatas tentunya cara 
outsourcing bukanlah yang ideal, karena dalam outsourcing terdapat "pemerasan" 
tenaga dimana pencari kerja "diadu" supaya mendapat harga terendah. Sepertinya 
ini penjajahan tenaga manusia bentuk baru yang seolah "mengikuti pasar". Oleh 
sebab itu salah satu cara paling baik untuk Indonesia adalah meningkatkan 
lapangan kerja. Menyediakan sumberdaya alam dan sumber bahan baku (bahan 
dasar), juga bahan bakar atau energi sebagai tenaga untuk terus berkarya. 


Tentusaja saya akan selalu mengkapanyekan Demografi Bonus 2020-2030 sebagai 
sebuah momentum yang tidak boleh diabaikan dalam setiap program jangka panjang, 
dan juga future outlook of Indonesia. Baik kebutuhan energi, bahan baku, 
mitigasi kebencanaan dan lingkungan serta pengembangan wilayah dll.


Salam senin !


RDP 



-- 
"Good idea is important key to success, "working on it" will make it real." 

Kirim email ke