Sangat menarik yang dikupas dalam buku "Merchants of Doubt" ini, yang dari uncertainty dimanfaatkan oleh kepentingan business dan politics. Di Indonesia jelas peristiwa Lumpur Lapindo, walaupun disini uncertainty-nya sangat-sangat kecil sekali, dimanfaatkan kepentingan business and politics Namun simak pula buku dari penulis science fiction terkenal Michael Creighton menulis buku "State of Fear" yang menyanggah bahwa "climate change" disebabkan "carbon emmision" (atau bahkan mungkin tidak mengakui adanya climate change sama sekali) bahkan sebaliknya dia bahwa seorang peneliti yang menemukan data yang tidak mendukung perubahan iklim, malah dalam publikasinya harus merubahnya, takut kalau dana researchnya dikebiri. Michael Creighton dapat penghargaan dari AAPG atas karangannya ini lho!, walaupun banyak anggota AAPG yang protes. AAPG suatu scientific society yg sangat bergengsi ini dikendalikan industri minyak seperti Exxon Mobil? Silahkan merenung, apakah science itu bisa netral dan objective?
Wassalam
RPK

----- Original Message ----- From: "F. Hasan Sidi" <fhs...@gmail.com>
To: <iagi-net@iagi.or.id>
Sent: Tuesday, May 07, 2013 7:17 AM
Subject: Re: [iagi-net] SCIENTIFIC TRUTH (OR FALSE) ==> Re: [iagi-net] HASIL GEOLISTRIK-GEORADAR : G.PADANG ADALAH GUNUNG API PURBA


Renungan yang menarik dan kebetulan sedang membaca buku "Merchants of
Doubt" yang banyak mengupas tentang ketidakpastian/uncertainty dalam
sejarah science (dari hubungan kanker dengan rokok, teori lubang ozon,
sampai perubahan iklim) yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan
politik atau bisnis. Strategi yang dipergunakan berulang kali semenjak
beberapa dekade silam selalu sama: mendiskreditkan science,
mempublikasikan argumentasi lain yang acap kali tidak didukung oleh
data yang seimbang, dan kemudian menghadirkan kerancuan di masyarakat
luas. Sebagai contoh adalah usaha memerangi pembatasan rokok di awal
70-an dengan membuat kabur hipotesa bahwasanya kanker paru-paru
disebabkan oleh tembakau. Dan bisa ditebak bahwasanya dunia industri
terlibat dalam usaha "membingungkan" masyarakat ini (Phillip Morris
dalam hal ini atau Exxon dalam kasus global warming).

All scientific work is incomplete, whether it be observational or
experimental. Celah ini lah yang dipergunakan untuk mengadu domba
kalangan awam. Moga-moga saja modus ini tidak ada dalam kasus Gunung
Padang.


FHS


2013/5/6 Andang Bachtiar <abacht...@cbn.net.id>

Membaca lampiran yang disertakan dalam posting-an Prof Koesoemadinata yang
membahas tentang kontroversi Gunung Padang, saya terinspirasi untuk mengajak
nikmati bersama (sharing) tulisan yang saya buat seminggu sebelumnya (28
April 2013) yang saya posting di facebook saya persis setelah munculnya
Petisi Menghentikan Penelitian Gunung Padang. Mudah-mudahan inti dan
semangat tulisan saya tersebut masih juga sejalan dengan apa yang ditulis
Prof Koesoemadinata dan juga dapat mencerahkan khalayak komunitas geosains
kita.

Tulisan tersebut saya narasikan sebagai surat kepada Gesit - yang saat ini
sedang menyelesaikan program graduate Science Journalism-nya di Canada -
supaya dapat lebih nikmat mengalirdicerna, dan juga saya edit sedikit dari
aslinya yang terpampang di dinding facebook saya, hanya sekedar untuk
menambah penekanan pada maksud beberapa pernyataan yang ada di dalamnya.

Silakan dinikmati dan diresapi.


“SCIENTIFIC TRUTH (OR FALSE) IN THE MAKING & EXPLORER VERSUS MAINSTREAMER”
(SURAT UNTUK GESIT DI KANADA)

Gesit Mutiarta, coba browsing, kumpulkan, dan kemudian klippingkan
pemberitaan ttg bencana (gempa, tsunami, letusan gn.api, banjir, tanah
longsor, sampai ke "meteor impact") yg terkait dg Andi Arief Dua Staff
khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial & Bencana, termasuk pemberitaan
tentang Katastrofi Purba dan ramainya perang opini ttg riset Gn Padang
(Petisi Arkenas dll) akhir2 ini.

Perhatikan gaya komunikasi AA (Andi Arief): pernyataan2 yang
dilontarkannya, prediksi2nya, warningnya, dan sejenisnya. Itu semua bisa
jadi bahan telaahan fenomena baru: SCIENCE JOURNALISM yang skrg sdg kamu
utak-atik di sana. Gaya komunikasi AA tsb menghadapkan sains langsung kepada
masyarakat. Tidak lagi menyembunyikannya diam2 dan menunggu menggodoknya
matang sebelum hasil akhirnya nanti dilemparkan ke masyarakat. Gaya tersebut
mencoba menyuguhkan sains yang rumit menjadi "sederhana" untuk dicerna dan
-yang terpenting- BERMANFAAT untuk masyarakat, bahkan ketika masih dalam
fasa penelitian.

Prediksi ttg masih akan munculnya mega-thrust di barat Sumbar/Bengkulu
dalam waktu dekat, tentang Jakarta yang dpt sewaktu-waktu terimbas gempa dan tsunami dari Selat Sunda, mengingatkan gempa2 susulan setelah adanya gempa2
besar, banjir2, tanah longsor, aktifitas gunung berapi yang silih berganti
di Indonesia, dsb dsb. Hal2 yg dulu pra-2009 (apalagi pra-2004) tabu untuk
dibicarakan dan jarang dimuat di media massa terkait dg potensi2 bencana
tersebut, makin kesini makin hampir tiap hari tersebar lewat social-media
bahkan sampai ke media konvensional. Coba hitung berapa banyak dari berita
itu yang berasal dari kelompok Andi Arief (SKP-BSB) dan saintis2 independen
yang bukan di “main-stream” pemerintahan, dan berapa banyak yang berasal
dari otoritas “resmi” (keilmuan maupun pemerintahan).

Itu semua adalah gaya baru dalam mengkomunikasikan sains dan
"ketidakpastiannya" ke masyarakat. Coba eksplorasi lebih lanjut, mungkin dg
latar belakang geologi dan science journalism-mu kamu dapat lebih memahami
fenomena baru ini dan kalau bisa ikut andil dalam mengembangkannya lebih
lanjut untuk kepentingan yang lebih besar: partisipasi, pemahaman dan
aplikasi sains dari dan oleh masyarakat terbuka Indonesia untuk kemajuan
bangsa!!! (Hehehehe, harus selalu ada visi dan misi besar di depan supaya
kita tergetar untuk selalu bergerak mengayun tangga meraih ke level hakikat
yang lebih tinggi - ke hadapan Tuhan).

Mungkin gaya seperti itu bisa kita sebut sbg gaya era baru keterbukaan
sains yang - dalam proses penelitian pencarian kebenarannya -hasil2
(sementara)nya terus menerus dikomunikasikan ke masyarakat. Banyak
positif-nya, tp ada juga negatifnya, terutama ketika berhadapan dg
establisme otoritas keilmuan yg ortodoks dan kaku. Bahkan sampai menimbulkan
konflik2 yg sbnarnya tdk perlu terjadi kalau masing2 pihak legowo dan mau
"mendengarakan" dlm berkomuniKasi.

Menarik untuk diikuti. Scientific truth (or false) in the making -
pembuktian kebenaran (kesalahan) saintifik yg sama2 disaksikan masyarakat.
Harusnya tdk perlu ada yg sampai merasa tersinggung dg berbagai klaim yg
saling dilemparkan ke masyarakat. Bisa jadi kebenaran ilmiah dikLaim sbg
miliK segelintir dewa dan otoritas lembaga, tapi kebenaran hakiki adlh yg
paling membawa manfaat buat bangsa-masyarakat dunia akhirat sebagai proxy
untuk mendekati kebenaran mutlak yg dimiLiki Allah subhanahuwata’ala.

Kelemahan lain dari science journalism model langsung2 spt digambarkan di
atas adalah: hasil2 awal – sementara dari penelitian bisa saja dipersepsikan
oleh masyarakat sebagai hasil final / hasil akhir, yang mana hal tsb dapat
menimbulkan kekecewaan nantinya apabila ternyata di hasil akhirnya tidak
sesuai dengan hipotesa. Bagi peneliti-saintis, hal tersebut tidak menjadi
masalah. Hipotesa itu dibuat untuk dibuktikan benar atau salahnya. Bagi
masyarakat yang kadung percaya bahwa hipotesa itu adalah kebenaran, maka
hasil2 awal yang mendukung hipotesa bisa memelesetkan kepercayaan mereka
kepada hasil akhir yang tidak sesuai dg hipotesa. Pasti2nya: kalau nanti
tidak terbukti bahwa Gn Padang itu tidak punya ruang bawah tanah, tidak
sebesar 10x Borobudur, hanya produk budaya seperti pengertian semula yang
2500th-an saja, maka masyarakat yang mengharapkan masa lalu Indonesia yang
gemilang akan kecewa (dan mungkin malah tidak mempedulikan hasil akhir
tersebut). Sementara masyarakat yang konon katanya lebih realistis dan
menganut konsep-teori mainstream budaya linear manusia akan merasa lega,
karena otoritas keilmuannya tidak lagi terbantahkan.

Tapi apakah hasil awal itu, dan apakah hasil akhir itu? Selama saintis
tetap berpikir kritis, selama sains terus ada dan tidak dikekang, maka semua
hasil adalah hasil awal. Dan kita semua harus secerdik2nya memanfaatkan
kesementaraan hasil sains yang selalu awal itu untuk kepentingan yang lebih
luas: kesejahteraan manusia. Jangan sampai ada hasil akhir. Jangan sampai
kita berhenti.

THE EXPLORER VS MAINSTREAMER

Coba lihat itu kasus Gn Padang, bagaimana proses aksi-reaksi yang terjadi
pada inisiatif masyarakat yang disebut sebagai Tim Terpadu Riset Mandiri Gn Padang yang sejak 2010-2011 mulai meneliti Gn Padang dengan berbagai metoda
geologi-geofisika, arsitektur dan arkeologi itu. Tim ini difasilitasi oleh
Andi Arief untuk kemudahan perijinan kerja legal-formalnya tapi tidak
sepeserpun Tim ini mendapatkan dana u/penelitian Gn Padang dari Andi Arief
atau pemerintah, semua pake biaya pribadi sendiri-sendiri ataupun dari
ngumpulin dana tidak mengikat dari penyumbang2.

Di dalam fasilitasi dan kepemimpinan AA tsb dilakukan penyiaran terus
menerus hasil2 kerja sementara Tim lewat kuatnya jaringan media yang dapat
dijangkau oleh bekas aktivis mahasiswa 98 ini. It is a science journalism
militant works indeed. Akibatnya juga “militant”: yaitu Gn Padang akhirnya
menjadi pusat perhatian masyarakat lebih dari sebelum2nya. Jumlah kunjungan
meningkat meroket tajam dalam 2 tahun terakhir ini. Pro dan kontra-pun
terjadi terus menerus. Analisis2 sementara dari data2
geologi-geofisika-arsitektur-arkeologi seringkali langsung dilemparkan
begitu saja ke masyarakat, sehingga membuat masyarakat menjadi “bergairah”,
sekaligus “resah”.

Resah???!!! Tentu saja! Karena hasil-hasil sementara itu seringkali
bertentangan dengan kesimpulan2 lama tentang budaya – kebudayaan – teknologi
– arkeologi mainstream yang dianut-diyakini oleh sebagian besar saintis2
“pemerintah” dan individu2 swasta mainstream lainnya. Itulah yang membuat
para saintis mainstream merasa tertantang. Maka setelah dengan segala cara
dilakukan counter-argument, counter-berita, maupun lewat pertemuan2 -
diskusi2 yang difasilitasi ternyata masih juga Tim Terpadu tersebut tidak
bisa dicegah pengaruhnya (karena yang mengcounter hanya mengandalkan data2
lama, atau analogi2 belaka dan waktu itu belum melakukan survey tandingan ke
Gn Padang), maka dilakukanlah penelitian resmi yang dibiayai pemerintah
memakai uang Negara pada akhir 2012 (Oct-Nov 2012) oleh lembaga pemerintah
yang berwenang dg tujuan membuktikan bahwa klaim Tim Terpadu tersebut tidak
benar. Dan sesuai dengan tujuannya, riset tandingan itupun akhirnya
menyimpulkan bahwa klaim Tim Terpadu ttg umur yang tua, luas, tinggi dan
besar yang jauh melebihi aslinya, teknologi canggih yang membangunnya,
kemungkinan ada rongga/ruang di bawah situs puncaknya: semua itu TIDAK
BENAR. Meskipun Tim verifikasi tsb tidak memakai alat dan metode geofisika
yang sama, tidak melakukan pemboran, tidak melakukan karbon dating, dan
berbagai metodologi seperti yang dipakai oleh Tim Terpadu. Dan parahnya:
kedua tim tersebut (Tim Terpadu Mandiri dan Tim Pemerintah) tidak pernah
bertemu untuk membahas satu persatu pokok bahasan, temuan, konsep,
perhitungan, dan analisis yang masing2 mereka lakukan.

Kemudian di akhir 2012 dan triwulan pertama 2013 ini, Tim Terpadu-pun
terus melakukan kerja risetnya. Kali itu mereka tidak lagi meneliti daerah
SITUS yang benar2 sudah dianggap sebagai situs yang dilindungi oleh Undang2, yaitu di bagian atas yang sdh dipagari sesuai dg SK Mendikbud No. 139/M/1998
tertanggal 16 Juni 1998. Tetapi Tim Terpadu justru ingin membuktikan
kemenerusan situs itu ke timur, barat, dan utaranya, dan secara lebih khusus melakukan ekskavasi di tanah masyarakat (yang tidak dianggap sebagai situs,
karena di luar pagar dan tidak masuk dalam penetapan SK Mendikbud).
Ekskavasi itupun RESMI MENDAPATKAN IJIN dari Bupati Cianjur (karena belum
ditetapkan sebagai daerah situs maka ijinnya dari Bupati).

Apa yang ditemukan dan kemudian di-lab-analyses dan direkonstruksi-kan
oleh Tim Terpadu dari hasil “ekskavasi” sesi terakhir mereka itu ternyata
semakin menambah keyakinan bahwa luasan – besaran – dimensi Gn Padang jauh
lebih besar dari apa yang menyembul muncul di permukaannya yang terlihat di
puncak sebagai situs 900m2 itu. Masih ada puluhan meter”badan situs” yang
menerus ke arah lereng timur, dan selain itu dari hasil ekskavasi 4,5
meteran di luar situs resmi, didapatkan “semen-purba”, slag-besi, alat
potong besi, dan fenomena2 pecahan batu yang tersusun tidak alamiah.

Ditambah dengan puluhan data akuisisi bawah permukaan baru yang lebih
rinci, maka fakta2 baru di atas mendorong Tim Terpadu untuk memformalkan
proses “pengulitan” lereng timur Gn Padang melalui program “Ekskavasi
Bersama Masyarakat” yang sebenarnya adalah usaha untuk membersihkan bangunan luar lereng timur Gn Padang dari tanah penutup 50cm – 2meteran tebalnya. Dan
itupun adalah daerah yang selama ini bukan dianggap sebagai situs. Justru
dengan pembukaan atau pengulitan atau “ekskavasi” inilah maka bentuk luar
dari bangunan lereng timur Gn Padang itu akan menampakkan dirinya. Barulah
setelah itu akan dilakukan penelitian lebih lanjut KE DALAM – menjajaki
kemungkinan adanya rongga-ruangan seperti yang diindikasikan dari
interpretasi geofisika-geologi bawah permukaan, sambil diusulkan – diproses untuk menjadi daerah situs yang dilundungi. Tentu saja proses ekskavasi yang melibatkan masyarakat di daerah non-situs itu akan dikawal oleh tenaga2 ahli
arkeologi dan kelengkapan profesi yang mengiringinya: geologi, geofisika,
lingkungan dsb. Bukan sembarangan ekskavasi.

Lalu, kenapa sampai ada petisi yang menolak segala acara untuk
membersihkan – menguliti – mengekskavasi lereng timur Gn Padang yang tidak
termasuk ke dalam situs resmi itu? Kenapa usaha untuk membuktikan kebesaran
monumen teknologi tinggi bangsa kita jaman ribuan tahun lalu itu pake
dipetisi-petisi disuruh berhenti? Salah persepsi? Kurang komunikasi?

Entahlah. Sit.
Coba kamu analisis, kenapa ini semua terjadi.

ADB – geologist merdeka (bapaknya Gesit Mutiarta)

Quoting "R.P.Koesoemadinata" <koeso...@melsa.net.id>:

Saya sudah beberapa tahun tidak masuk mailing list ini, dan waktu saya
mendapatkan akses kembali ternyata perdebatan G. Padang masih berlanjut.
Beberapa hari ini saya termenung apakah yang terjadi dengan ilmu geologi di Indonesia ini? Ini menjadi pikiran, sayapun merenungkan masalah ini terutama
menjelang tidur. Akhirna saya tuangkan renungan itu dalam bentuk tulisan
terlampir yang cukup panjang, dengan harapan bahwa dengan selesainya
renungan ini saya dapat tidur dengan pulas.
Wassalam
R.P.Koesoemadinata



----- Original Message ----- From: "Sujatmiko" <m...@cbn.net.id>
To: <iagi-net@iagi.or.id>
Cc: "MGEI" <economicgeol...@yahoogroups.com>
Sent: Sunday, May 05, 2013 6:11 PM
Subject: [iagi-net] HASIL GEOLISTRIK-GEORADAR : G.PADANG ADALAH GUNUNG
API
PURBA


Rekan-rekan IAGI yang budiman,

Di postingan mang Okim tanggal 2 Mei 2013  berjudul  Petisi 34 : Situs
Gunung Padang Terselamatkan , disebutkan bahwa dari hasil peninjauan ke
lokasi lobang ekskavasi di tebing timur Teras III ( mang Okim salah,
yang
benar Teras I ), mang Okim dkk menyimpulkan bahwa beberapa balok andesit
yang terlihat di lokasi tersebut adalah fenomena alamiah, bukan produk
budaya. Selanjutnya diinterpretasikan bahwa batuan andesit penyusun
Gunung
Padang hanya nongol di permukaan Teras I , Teras II, dan  Teras III,
sedangkan  Teras IV dan V  tertutup oleh produk klastik gunung api yang
telah lapuk.  Dari  tulisan Pak Danny Hilman di VIVAnews Senin 1 April
2013,
interpretasi mang Okim dkk tersebut ternyata tidak berbeda dengan hasil
interpretasi geolistrik -georadar di lintasan sekitar lobang ekskavasi
Teras
I.



Cobalah rekan-rekan simak dengan seksama sebagian dari  tulisan Pak
Danny
Hilman di bawah ini . Seandainya Tim Mandiri tidak tergesa-gesa
menganggap
bahwa balok-balok andesit di lobang ekskavasi adalah struktur bangunan (
gara-gara susunannya yang dianggap bikinan orang dan ada bahan pengisi
yang
diyakini sebagai semen purba ), maka hasil interpretasi
geolistrik-georadar
sudah sangat sesuai dengan kenyataan di lapangan yaitu  bukit Gunung
Padang
adalah lapisan batuan ( andesit ) dengan ketebalan 30-50 meter. Analisa
petrologi oleh Dr. Andri Subandrio demikian juga, sangat aneh bahwa
retakan-retakan mikroskopik pada sayatan tipis batu kolom andesit
diduga
non-alamiah. Kalau non-alamiah, apakah retakan mikroskopik tersebut
hasil
kerjaan manusia prasejarah ???



Hal lainnya yang membuat mang Okim bersorak gembira adalah interpretasi
Pak
Danny Hilman tentang adanya lidah lava dengan leher intrusinya  di area
selatan Situs Gunung Padang. Nah, kalau sudah demikian, mengapa Tim
Mandiri
masih keukeuh menyatakan bahwa Gunung Padang adalah Bangunan Mahakarya
Peradaban yang Hilang ta' iya !!! Bukankah yang dijelaskan Pak Danny
Hilman
tersebut , yang didasarkan pada hasil interpretasi geolistrik-georadar ,
adalah fenomena geologi dari sebuah gunung api purba ???  Sehubungan
dengan
itu, marilah kita tinggalkan imaginasi yang tidak-tidak tentang isi
perut
Gunung Padang. Bangunan Megalitik Punden Berundak yang ada di atasnya
sudah
berstatus terbesar dan termegah di kawasan Asia Tenggara.  Janganlah
kita
merindukan burung di langit, sementara burung di tangan dilepaskan.



Salam Cinta Geo-Arkeologi



Mang Okim




----------------------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------

Gunung Padang, Mahakarya Peradaban yang Hilang

( Dr Danny Hilman ,VIVAnews 1 April 2013 ) :

Sampai saat ini penggalian dilakukan baru sampai kedalaman 4 meteran
saja,
namun survei geolistrik memperlihatkan di bawahnya masih ada kenampakan
struktur bangunan dengan geometri yang terlihat menakjubkan sampai
kedalaman
lebih dari 10 meter. Hasil survei geolistrik, dan georadar juga sudah
dapat
memperlihatkan struktur (geologi) bawah permukaan yang membentuk
morfologi
bukit Gunung Padang adalah lapisan batuan dengan ketebalan 30-50 meter
yang
mempunyai nilai tahanan listrik (resistivitas) sangat tinggi (ribuan
Ohm-Meter) berbentuk seperti lidah dengan posisi hampir horisontal,
selaras
dengan bukit memanjang utara-selatan, dan miring landai ke arah utara.
Jadi
selaras juga dengan undak-undak teras yang dibangun di atasnya. Lapisan
batu
berbentuk seperli lidah ini juga mempunyai bidang miring yang rata ke
arah
barat dan timur bukit selaras dengan kemiringan lerengnya. Lapisan lava
ini
berada pada kedalaman lebih dari 10 meter di bawah permukaan.

Dari data pemboran yang dilakukan oleh DR. Andang Bachtiar dan juga
analisis
mikroskopik batuan dari sampel inti bor yang dilakukan oleh DR. Andri
Subandrio, ahli geologi batuan gunung api dari Lab. Petrologi ITB, dapat
dipastikan tubuh batuan dengan resistivitas tinggi ini adalah batuan
lava
andesit, sama seperti tipe batu kolom dari situs Gunung Padang. Hal lain
cukup menarik dari analisa petrologi adalah temuan banyaknya
retakan-retakan
mikroskopik pada sayatan tipis batu kolom andesit yang diduga
non-alamiah.
Soalnya, retakan itu memotong kristal-kristal mineral penyusunnya.

Dari banyak penampang geolistrik, terlihat lidah lava andesit ini
mempunyai
leher intrusi (sumber terobosan batuan vulkanis dari bawah) berlokasi di
area lereng selatan dari situs Gunung Padang. Jadi setelah cairan panas
intrusi magma mencapai permukaan kemudian mengalir ke utara, dan setelah
mendingin membentuk lidah lava tersebut. Yang masih menjadi teka-teki
besar
adalah apakah tubuh batuan lava di perut Gunung Padang ini adalah sumber
dari batu-batu kolom andesit yang dipakai untuk menyusun situs?







Reply via email to