Sistem TNI : Terorisme, Neokolonialisme dan Idiokrasi

           Oleh : Semmy Littik - Townsville, Australia


Krisis Timor Timur yang menarik perhatian seluruh dunia memasuki babak
baru dengan pengakuan pemerintah Indonesia bahwa militer dan polisi
Indonesia tidak berhasil menciptakan keamanan sipil di Timtim pada periode
pasca-referendum.  Kegagalan tersebut sebenarnya sudah disuarakan oleh
banyak kalangan dalam seminggu terakhir, termasuk pihak PBB dan bahkan
politisi dan rakyat biasa di Indonesia.  Fenomena pengakuan kegagalan
tersebut nampaknya patut disimak sebagai sikap putus asa pemerintah
Indonesia menghadapi tekanan dari luar dan dalam negeri, daripada
perubahan moral dan paradigma politik elit Indonesia.

                                *******

Suatu kenyataan yang tidak dapat ditutupi selama 33 tahun terakhir, rakyat
Indonesia dibiasakan dengan sikap politik yang militeristik.  Sikap
politik ini ditandai dengan penyeragaman ide dan/atau penampilan,
intimidasi dan kekerasan, dan sistem kekuasaan politik yang sentralistik
dan hirarkis (komando).  Pada level praktis sangat nyata adanya pendekatan
TEROR terhadap kelompok atau perorangan yang memperjuangkan keadilan dan
demokrasi bagi rakyat banyak.  Di lain pihak, kemerdekaan yang dijamin
oleh UUD 1945 sering dibarengi  dengan penipuan-penipuan legalistik yang
merupakan perwujudan  NEOKOLINIALISME negara (baca: pemerintah) atas
rakyatnya.  Baik pendekatan TEROR dan sikap NEOKOLONIALISME di atas bisa
tetap terpelihara baik apabila rakyat dapat terus dininabobokan dengan
slogan-slogan dan simbol-simbol yang lekat dengan emosi.  Untuk itu,
diperlukan suatu masyarakat yang tidak kritis atau kalau mungkin mendekati
IDIOT sehingga terciptalah kultur IDIOKRASI (dari idiot, untuk idiot dan
oleh idiot).  

                                *******

Syukurlah, sejak Mei 1998 lalu, lapisan mahasiswa Indonesia dengan sikap
solidaritas yang luar biasa dan gagah berani serta pengorbanan jiwa
patriot-patriot kampus, menggelar aksi REFORMASI untuk menghancurkan
sistem militeristik yang dibangun dengan cara-cara TERORISME,
NEOKOLONIALISME dan IDIOKRASI.  Fenomena tersebut sangat signifikan dalam
sejarah bangsa Indonesia sebab kemurnian perjuangan mahasiswa Indonesia
tersebut jelas lahir dari kesadaran hati nurani mereka sendiri atau tidak
direkayasa oleh pihak-pihak lain.  Mahasiswa yang tidak bersenjata
ternyata dilawan dengan kekuatan senjata oleh pihak militer dan polisi
sebagai tulang punggung sistem TNI yang dikembangkan selama Orde Baru
rejim Soeharto.  Dengan demikian jelas bahwa militer dan polisi Indonesia
tidak ingin sistem TNI tersebut diperbaharui dan dihapus dari bumi
Pertiwi.  Mereka ingin mempertahankan sistem yang mereka anggap paling
cocok dengan cara berpikir dan bertindak militer, padahal masyarakat
Indonesia baru sudah berubah dari masyarakat agraris subsisten menuju
masyarakat informasi, rasionalis, kritis dan menghargai demokrasi
(terlepas dari bentuk demokrasi itu sendiri).    

                                ************            

Dalam masalah Timtim jelas terlihat bahwa sistem TNI sudah usang dan tidak
mempan menghadapi tekanan politik yang mengandalkan dalih-dalih
kemanusiaan (sebagai lawan TERORISME), kebebasan dan keadilan (sebagai
lawan NEOKOLONIALISME) dan demokrasi (sebagai lawan IDIOKRASI).  Sekiranya
pemerintah sipil, yang masih didominasi sikap militeristik, ingin
mempertahankan sistem TNI tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwa
seluruh rakyat Indonesia akan mengalami degradasi parah dalam kehidupan
ekonomi, politik, moral dan pergaulan internasional.  Kekacauan di dalam
negeri jelas akan timbul apabila degradasi tersebut terjadi. Resiko
tersebut sangat berat apabila hanya demi gengsi Indonesia di Timtim.
Oleh sebab itu, persetujuan Indonesia untuk menerima pasukan penjaga
(baca: pemulihan) keamanan di Timtim merupakan langkah maju dari suatu
pemerintah yang dikendalikan oleh sejumlah jenderal yang suka
mempertahankan sistem TNI di Indonesia.  

                                *********

Dari Timtim, mudah-mudahan bangsa Indonesia belajar untuk tidak terjerumus
hasutan elit politik Indonesia yang suka mengandalkan taktik-taktik dan
propaganda militeristik guna membenarkan sikap Terorisme, Neokolinialisme 
dan Idiokrasi mereka.  Jika rakyat Indonesia termakan hasutan tersebut,
maka sia-sialah perjuangan dan pengorbanan mahasiswa dan rakyat Indonesia
umumnya untuk menegakkan keadilan, demokrasi dan kedaulatan rakyat yang
sudah memakan korban jiwa para pejuang reformasi tersebut.  Tetaplah
berjuang untuk menolak dominasi militer dalam kehidupan bangsa kita, entah
dominasi secara legalistik (misalnya, lewat UU Keamanan dan Keselamatan 
Negara, UU Rakyat Terlatih, dlsb., maupun melalui rekayasa konflik seperti
di Jakarta, Banyuwangi, Situbondo, Ambon, Aceh, Irian Jaya, Kupang, dll.). 

Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati bangsa Indonesia dengan akal budi
dan kebijakan untuk membedakan siapa dan mana cara yang baik dan yang
tidak baik bagi kehidupan dan masa depan bangsa. 

Townsville, 13 September 1999

Kirim email ke