Thanks bung Smara.  Surat anda menyentuh hati saya sebab ayah saya seorang
perwira TNI dan oleh sebab itulah saya tahu persis bagaimana cara berpikir
dan bertindak seorang militer.  Sepandai-pandainya seorang perwira, dia
harus tetap menyatakan "siap melaksanakan tugas" apabila dikomando dari
atas, walaupun isi komando itu bertentangan dengan hati nuraninya.  
    
Nah, dengan sanggahan-sanggahan dan artikel saya, sebenarnya saya berharap
agar kita sebagai civilians tidak terjebak dalam sikap militeristik dan
propaganda TNI yang nampaknya ingin tetap bermain di bidang-bidang
legislatif, yudikatif dan bahkan jabatan-jabatan eksekutif sipil serta
terus menghina manusia Indonesia lainnya yang tidak bersenjata dan lemah.    

Semmy
On Wed, 15 Sep 1999, smara wrote:

> 
> --------------CB24684A6A3A39E32623A4B5
> Content-Type: text/plain; charset=us-ascii
> Content-Transfer-Encoding: 7bit
> 
> Saya sepakat dengan bung Semuel. Tapi saya melihat sikap 'main otot daripada
> otak'-nya ABRI lebih disebabkan kompensasi ketidakmampuan dan ketidak
> berdayaan sebagian anggota ABRI secara intelektual, dari level tamtama sampai
> perwira. Kemampuan intelektual mereka relatif terbatas dan harus diakui, toh
> di sekolah kemiliteran mereka tidak akan dididik untuk jadi orang intelek.
> Percuma, karena sekolah militer kan mendidik mereka jadi pasukan yang kudu
> nurutin perintah komandan. Kalo mau jadi orang intelek, ya be a civilian.
> 
> Tapi ini jadi senjata makan tuan setelah mereka di'karya'kan di
> jabatan-jabatan sipil yang nota bene butuh kecerdasan, yang anda sendiri sudah
> pasti tau akibatnya. Ibarat nyuruh ikan balapan lari di darat lawan kancil
> ... heheh, konyol memang. Tapi justru dengan keterbatasan intelektual itulah
> mereka yakin kekonyolannya itu adalah benar. Jadi, kalau di dalam konteks
> keilmuan, ABRI itu 'tidak tahu kalau tidak tahu', jauh lebih buruk daripada '
> tahu kalau tidak tahu'. Kasian sekali, dan saya jadi ikut sedih. Semoga Tuhan
> mengampuni mereka.
> 
> Nah, belajar dari hujatan dan cemoohan masyarakat, maka pelan-pelan mereka
> mulai 'tahu kalau tidak tahu', dan ini akibatnya, mereka jadi minder, rendah
> diri dan merasa tidak berharga di dalam masyarakat, tidak diakui - which is an
> essential part for being a human and human being. Kalo udah begini mereka
> mulai deh cari-cari kompensasi sana-sini dengan berlaku sok kuat, sok kuasa
> .. (tapi nggak pernah sok pinter). Mulai deh mereka main tembak sana sini,
> culik sana sini, gaplok kiri-kanan, sikat sini dan situ ... yang tentunya
> orang sipil-lah yang jadi sasaran. Dan mereka (khususnya warga tamtama dan
> bintara) paling seneng nembakin mahasiwa yang dianggap seteru mereka. Nah,
> puas 'kan? Belon puas juga, level atasannya ngembatin jabatan-jabatan sipil
> .. mulai dari lurah sampe presiden, tukang jagal dan backing level tanah
> abang sampe level kawasan bisnis, pengedar dan penyelundup level lokal sampe
> nasional. Dan seterusnya ... dan kalo mau tau, mereka bangga dengan hal itu.
> Hanya dengan pasang otot saja, mereka bisa hidup berlebihan. Tapi itulah
> esensi kemanusiaan : perolehan pengakuan dari masyarakat sekitarnya. What a
> pitty !
> 
> Begitulah, pada akhirnya rakyat juga yang kena akibatnya, dan toh generasi
> kita juga yang nanggung kerusakan lahir dan bathin sebagai akibat keterbatasan
> intelektual mereka, dan masih banyak lagi kegagalan-kegagalan mereka dalan
> menangani persoalan kenegaraan yang mereka create sendiri, lagi-lagi karena
> perbuatan mereka. Ujung-ujungnya semua persoalan diselesaikan dengan gaya khas
> mereka : ya kekerasan, penembakan, pembunuhan, penculikan, teror, dan
> seterusnya.
> 
> I personally feel sorry about that. Really sorry, ya kasian, malu, marah dan
> geram. Saya pribadi hanya berharap Tuhan Yang Maha Kuasa mengampuni mereka.
> Yang saya ingat hanya satu: kehidupan generasi selanjutnya - semoga nggak
> perlu meniru mereka -apalagi bangga. Setidak-tidaknya bagi anak-anak mereka
> sendiri.
> 
> 
> Semuel Littik wrote:
> 
> >        Sistem TNI : Terorisme, Neokolonialisme dan Idiokrasi
> >
> >            Oleh : Semmy Littik - Townsville, Australia
> >
> > Krisis Timor Timur yang menarik perhatian seluruh dunia memasuki babak
> > baru dengan pengakuan pemerintah Indonesia bahwa militer dan polisi
> > Indonesia tidak berhasil menciptakan keamanan sipil di Timtim pada periode
> > pasca-referendum.  Kegagalan tersebut sebenarnya sudah disuarakan oleh
> > banyak kalangan dalam seminggu terakhir, termasuk pihak PBB dan bahkan
> > politisi dan rakyat biasa di Indonesia.  Fenomena pengakuan kegagalan
> > tersebut nampaknya patut disimak sebagai sikap putus asa pemerintah
> > Indonesia menghadapi tekanan dari luar dan dalam negeri, daripada
> > perubahan moral dan paradigma politik elit Indonesia.
> >
> >               -didelete-
> 
> --------------CB24684A6A3A39E32623A4B5
> Content-Type: text/html; charset=us-ascii
> Content-Transfer-Encoding: 7bit
> 
> <!doctype html public "-//w3c//dtd html 4.0 transitional//en">
> <html>
> Saya sepakat dengan bung Semuel. Tapi saya melihat sikap 'main otot daripada
> otak'-nya ABRI lebih disebabkan kompensasi ketidakmampuan dan ketidak berdayaan
> sebagian anggota ABRI secara intelektual, dari level tamtama sampai perwira.
> Kemampuan intelektual mereka relatif terbatas dan harus diakui, toh di
> sekolah kemiliteran mereka tidak akan dididik untuk jadi orang intelek.
> Percuma, karena sekolah militer kan mendidik mereka jadi pasukan yang kudu
> nurutin perintah komandan. Kalo mau jadi orang intelek, ya <i>be a civilian</i>.
> <p>Tapi ini jadi senjata makan tuan setelah mereka di'karya'kan di jabatan-jabatan
> sipil yang nota bene butuh kecerdasan, yang anda sendiri sudah pasti tau
> akibatnya. Ibarat nyuruh ikan balapan lari di darat lawan kancil .... heheh,
> konyol memang. Tapi justru dengan keterbatasan intelektual itulah mereka
> yakin kekonyolannya itu adalah benar. Jadi, kalau di dalam konteks keilmuan,
> ABRI itu <b>'tidak tahu kalau tidak tahu'</b>, jauh lebih buruk daripada
> ' tahu kalau tidak tahu'. Kasian sekali, dan saya jadi ikut sedih. Semoga
> Tuhan mengampuni mereka.
> <p>Nah, belajar dari hujatan dan cemoohan masyarakat, maka pelan-pelan
> mereka mulai 'tahu kalau tidak tahu', dan ini akibatnya, mereka jadi minder,
> rendah diri dan merasa tidak berharga di dalam masyarakat, tidak diakui
> - <i>which is an essential part for being a human and human being</i>.
> Kalo udah begini mereka mulai deh cari-cari kompensasi sana-sini dengan
> berlaku sok kuat, sok kuasa ... (tapi nggak pernah sok pinter). Mulai deh
> mereka main tembak sana sini, culik sana sini, gaplok kiri-kanan, sikat
> sini dan situ ... yang tentunya orang sipil-lah yang jadi sasaran. Dan
> mereka (khususnya warga tamtama dan bintara) paling seneng nembakin mahasiwa
> yang dianggap seteru mereka. Nah, puas 'kan? Belon puas juga, level atasannya
> ngembatin jabatan-jabatan sipil ... mulai dari lurah sampe presiden, tukang
> jagal dan <i>backing </i>level tanah abang sampe level kawasan bisnis,
> pengedar dan penyelundup level lokal sampe nasional. Dan seterusnya ...
> dan kalo mau tau, mereka bangga dengan hal itu. Hanya dengan pasang otot
> saja, mereka bisa hidup berlebihan. Tapi itulah esensi kemanusiaan : perolehan
> pengakuan dari masyarakat sekitarnya. <i>What a pitty !</i>
> <p>Begitulah, pada akhirnya rakyat juga yang kena akibatnya, dan toh generasi
> kita juga yang nanggung kerusakan lahir dan bathin sebagai akibat keterbatasan
> intelektual mereka, dan masih banyak lagi kegagalan-kegagalan mereka dalan
> menangani persoalan kenegaraan yang mereka
> <i>create
> </i>sendiri, lagi-lagi
> karena perbuatan mereka. Ujung-ujungnya semua persoalan diselesaikan dengan
> gaya khas mereka : ya kekerasan, penembakan, pembunuhan, penculikan, teror,
> dan seterusnya.
> <p><i>I personally feel sorry about that. Really sorry, </i>ya kasian,
> malu, marah dan geram. Saya pribadi hanya berharap Tuhan Yang Maha Kuasa
> mengampuni mereka. Yang saya ingat hanya satu: kehidupan generasi selanjutnya
> - semoga nggak perlu meniru mereka -apalagi bangga. Setidak-tidaknya bagi
> anak-anak mereka sendiri.
> <br>&nbsp;
> <p>Semuel Littik wrote:
> <blockquote TYPE=CITE>&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; Sistem TNI :
> Terorisme, Neokolonialisme dan Idiokrasi
> <p>&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; Oleh :
> Semmy Littik - Townsville, Australia
> <p>Krisis Timor Timur yang menarik perhatian seluruh dunia memasuki babak
> <br>baru dengan pengakuan pemerintah Indonesia bahwa militer dan polisi
> <br>Indonesia tidak berhasil menciptakan keamanan sipil di Timtim pada
> periode
> <br>pasca-referendum.&nbsp; Kegagalan tersebut sebenarnya sudah disuarakan
> oleh
> <br>banyak kalangan dalam seminggu terakhir, termasuk pihak PBB dan bahkan
> <br>politisi dan rakyat biasa di Indonesia.&nbsp; Fenomena pengakuan kegagalan
> <br>tersebut nampaknya patut disimak sebagai sikap putus asa pemerintah
> <br>Indonesia menghadapi tekanan dari luar dan dalam negeri, daripada
> <br>perubahan moral dan paradigma politik elit Indonesia.
> <p>&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;
> -<i>didelete</i>-</blockquote>
> </html>
> 
> --------------CB24684A6A3A39E32623A4B5--
> 
> 

Kirim email ke