Warning: Mungkin sedikit out of topic. Sorry about that.
Yg tidak berkenan, silakan delete langsung.
;-)
Semalam, saking indahnya pidato Habib pake i di belakangnya,
saya sampe ketiduran; nggak tuntas. Luar biasa, pidato yang
bagus sekali (eh, wong ketiduran, kok mengambil kesimpulan.
Biarin aja, soalnya yg gini-gini lagi trendy... Buktinya,
kemarin itu orang-orang yg protes UU-PKB banyakan juga
nggak pernah baca tuntas what the hell UU-PPKB is).
Sampe mana tadi...
Oh, ya, soal pidato:
Pidato Habibi itu benar-benar digarap secara piawai...
Cermat, tidak ada salahnya barang sedikit pun; dan sempat
dipuji-puji penuh kegembiraan oleh para pengamat ekonomi,
sosial, politik, dan bahkan oleh pengamat pertandingan
sepakbola, dan bulutangkis.
Demikian pula, saking sukanya dengan pidato itu, para
demonstran, mahasiswa, dan sebagainya menyambut suka cita
dengan pesta kembang api dan bedug bertalu-talu. Ini
harus disyukuri dengan sebaik-baiknya.
Habibie tampil dengan penuh rasa rendah hati.
Semua orang juga tahu, presiden itu manusia, dan tentu
ada kelebihan dan kekurangannya; dan Habibie sebagai
negarawan yg berjiwa besar segede gajah, tampil sangat
rendah hati.
Di Indonesia ini, yg arogan-arogan biasanya terpinggirkan.
Dulu Amien Rais agak arogan, akhirnya pemilu cuma dapet dikit,...
terus introspeksi, jadi lebih rendah hati, bisa jadi ketua MPR.
PDIP dulu agak arogan, mentang-mentang menang pemilu, eh, terus
voting kalah terus. Terus introspeksi, dan akhirnya dagangan
sapinya laku... (ketua DPR terpilih sesuai skenario mereka ;-).
Lha, rupanya Habibie menyadari hal itu. Di pidatonya dia
tidak menyombong barang sedikit pun. Dengan lapang dada,
dia mau mengakui segala kekurangan dan kegagalannya. Demikian
pula, recovery ekonomi, inflasi rendah, rupiah terstabilisasi,
dan sebagainya, yang jelas-jelas merupakan jasanya secara
pribadi, dan rakyat Indonesia yang lain tidak ada yang
ikut berkontribusi aktif... sama sekali tidak diakuinya
sebagai kesuksesannya.
Sebaliknya, untuk kasus Bank Bali, dimana tidak ada seorang
pun anak buahnya yang terlibat, malah secara legawa diakuinya
sebagai kesalahannya, dan munduk-munduk meminta maaf kepada
rakyat. Mengharukan.
Mungkin untuk pidato sekualitas ini, rakyat Indonesia
perlu tampil bahu membahu, kalo perlu membawa bambu runcing
di kedua tangan, dan mengacungkan jempol untuk presidennya.
(Sedikit catatan teknis: karena kedua tangan sudah memegang
bambu runcing, perlu dipikirkan jempol yang mana yang harus
diacungkan).
Dengan pidato yang sebaik itu, mungkin agenda reformasi
berikutnya bisa berjalan dengan mulus. ;-)
;-)