From: P.Rahardjo <[EMAIL PROTECTED]>
To: Multiple recipients of list <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Tuesday, December 21, 1999 10:06 PM
Subject: Re: Textbook vs Journal (Re: Warning untuk Mahasiswa Kita di
karena wawasan kita tidak hanya ajar mengajar, tetapi pula meliputi 'gegar'
pengembangan iptek dan daya saing.
juga pengertian antara textbook dan journal yang baku menurut kaidah
ilmuwan, bukan debat kusir.
===========================
Kebesaran ilmuwan tidak tergantung pada seberapa besar warisan kaidah yang
diperolehnya, tetapi bagaimana ilmuwan itu sendiri meningkatkan
perbendaharaan yang sudah ada.
Paradigma "ilmuwan" di Indonesia itu perlu segera dirubah untuk
kemudian disosialisasikan, disesuaikan dengan produk pemikiran yang akan
menjadi pasaran pada era globalisasi dalam rangka mengantisipasi persaingan
bebas. Mereka harus dirangsang untuk mencapai prestasi kelas dunia untuk
bidangnya masing-masing.
Sosok ilmuwan seperti itu lain dengan yang masyarakat intepretasikan
atau gambarkan sekarang, yang sering hanya bergulat pada beragam referensi
asing, tanpa tindak lanjut yang berujung temuan baru yang orisinil.
Namanya juga kelas global. Berarti harus menelorkan ilmu yang tidak,
kurang, atau belum terpikirkan oleh masyarakat di berbagai pelosok dunia.
Jangankan itu. Untuk kelas nasional pun adakalanya masih diragukan.
Ada juga kalangan akademik merasa dirinya ilmuwan. Tetapi kalau
berbicara sifatnya penuh kutipan. Terlebih kalau nara sumbernya berasal dari
negara maju.
Itu sih bukan ilmuwan, meskipun memori ilmu dalam otaknya sudah
melimpah. Lebih tepat disebut "mediator ilmu" atau "public relation". Bisa
juga dianggap sebagai "kolektor ilmu". Apalagi untuk dikatakan ilmuwan kelas
global.
Tentu saja kalau dikatakan langsung, "Loe bukan ilmuwan", mereka akan
merasa tidak enak, malah mungkin tersudutkan atau tersinggung.
Yang lucunya lagi, ada di antara ilmuwan di Indonesia yang tidak lebih
dari sosok selebritis. Ia dibesarkan oleh media massa melalui berbagai
statemennya ketimbang pemikiran kritis/kreatif secara utuh sebagai kajian
dalamnya.
Terlebih mereka yang berpenampilan wah, kemudian diwawancarai media
massa terkenal. Opini selebritis yang melekat pada mereka membuat publik
mempredikatkan ilmuwan padanya.
Padahal publikasi mereka hanya merupakan kumpulan kliping koran atau
makalah seminar. Sangat jarang ia menulis karya dalam artian hasil riset/
eksperimen secara utuh. Tesis doktornya pun hanya menjadi monumen akademis
terakhir.
Apakah semua itu bisa dijadikan indikasi sosok ilmuwan para Doktor kita?
Yang jelas jurnal akademis skop internasional dari para pakar kita nyatanya
sangat minim. Malah masih kalah oleh Malaysia, Thailand, dan Pilipina.
Salam,
Nasrullah Idris